Nick Oliver and the Soul of Terror

Mario Ekaputta
Chapter #6

Investigasi Lanjutan

Waktu menunjukan tepat pukul delapan, kami hendak pulang ke unit kami setelah pertemuan singkat kami dengan bu Hanna Simangunsong. Nick masih memakan bakmienya, sedangkan aku masih merenungkan kisah dari bu Hanna tadi itu. Harus kuakui, ceritanya sangat menarik dan menyentuh hatiku, tetapi muncul beberapa keraguan dipikiranku. Dari awal, aku melihat pernikahannya dengan pak Burhan adalah sebuah kejanggalan, belum lagi ketika ia semalam memilih pulang kerumah orang tuanya disaat kami sudah menunggu dirumahnya. Kini, setelah mendengarkan cerita panjangnya dan terlepas dari segala ekspresi emosionalnya, aku justru berpikir mungkin dia bisa saja terlibat dalam kasus ini.

           Wanita ini menikahi seorang pria bukan karena cintanya kepada pria tersebut, melainkan karena cinta dan kasih sayangnya kepada keluarganya saat itu. Memang itu adalah tujuan yang mulia dan tidak egois, tapi kalau kita berpikir dari sudut pandang lain, tetap saja wanita itu hanya mengincar harta pak Burhan ketika memutuskan untuk menikah dengannya. Disaat kehidupannya kini membaik, dia ingin berpisah dengan suaminya tetapi tetap menjaga kehormatannya dan reputasinya. Satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah ia mencari cara agar bisa berpisah dengan suaminya selamanya. Tak bermaksud untuk menggurui Nick, tetapi aku ingin menguji hipotesisku kepadanya. Siapa yang tahu? Mungkin aku mempunyai bakat sebagai detektif.

“Hipotesis yang menarik, Vin,” komentar Nick setelah mendengar penuturan hipotesisku. “Sayangnya motif yang lu utarakan tadi kurang kuat dan justru bertolak belakang dengan cerita yang disampaikan bu Hanna.”

“Kenapa begitu?” protesku. “Dia jelas gak bahagia dengan pernikahannya, bukankah itu bisa jadi motif yang kuat?”

“Hmm, sayangnya gua gak berpikir demikian ya. Bu Hanna tentunya tau, pembunuhan adalah dosa yang besar. Jika ia tidak bahagia dan tidak tahan lagi, ia akan lebih memilih menceraikan pria tua itu daripada harus membunuhnya,” tutur Nick sambil menghabiskan bakmienya.

“Tapi Nick, reputasinya bakal jelek dong?” tanyaku agak jengkel. “Lagipula, siapa tau kalau religiusnya dia itu cuma gimik?”

“Gak, Vin. Dia punya bukti yang sangat kuat untuk dibawa ke pengadilan. Seperti yang lu lihat, ada luka-luka yang membuktikan kalau dia teraniyaya. Banyak saksi juga yang tau kalau di pak Burhan itu adalah pemabuk parah, meskipun saksi itu bisa aja di sogok sih. Jika bu Hanna itu sepintar seperti dalang dari semua masalah ini, dia mungkin akan merekam kekasaran suaminya tersebut dan menjadikannya bukti di pengadilan. Itu jelas lebih masuk akal ketimbang ia harus mengakhiri nyawa suaminya dengan tragis. Soal sisi religiusnya gua gak berani berkomentar.”

“Jadi lu yakin kalau dia gak terlibat?”

“Gua gak bilang kalau bu Hanna gak mungkin terlibat sih ya. Saat ini, gua enggak mengeliminasi segala orang yang menjadi tersangka. Tadi itu gua berbicara motif, dan ini menentukan pola dari kasus ini. Jika seseorang melakukan pembunuhan secara berencana serapi ini, dia tentunya sudah lama merencanakan ini dan mungkin mengincar sesuatu. Harta, cinta, dendam, politik banyak sekali yang bisa menjadi motif dari pembunuhan ini, tapi rangkaian kejadian yang menimbulkan motifnya gak mungkin spele, Vin. Masalah bu Hanna tadi itu menurut gua masih spele, dan agak berlebihan kalau itu menjadi motif sebuah pembunuhan. Jika bu Hanna memang terlibat, ada konflik lain yang bisa menjadi motif yang lebih kuat dalam kasus ini. Ketika kita bisa melihat motif dari kasus ini, kita dapat dengan mudah menyelsaikan masalah ini. Mengerti?”

“Ya, gua mengerti,” jawabku dengan puas. “Apa sih yang ada dipikiranlu, Nick?”

“Banyak, Vin. Kasus ini motifnya cukup rumit, si dalang juga menyusunnya dengan rapi dan berhati-hati sehingga ada beberapa hipotesis yang terbentuk. Kita gabisa sekedar berpikir cetek dan harus mengembangkan penalaran kita kalau mau menyelsaikan kasus ini.”

“Sebenernya,” kataku. “Apa sih bedanya istilah hipotesis sama kesimpulan bagilu? Gua paham kalau ngomongin ini dalam konteks skripsi ya, tapi dalam kasus kaya gini, maksudnya apa?”

Nick mengela napas. “Huh, gimana jelasinnya ya. Lu kan udah S2 ya, Vin. Kayanya gua bisa jelasin secara simpel nih. Waktu pertama kita ketemu di apartemen kita dan gua nanya ‘Lu mau liat-liat unit disini ya?’, lu masih ingat?”

“Masih, memang kenapa?”

“Gua lagi menyampaikan hasil observasi gua.”

“Bukannya itu sekedar tebakan?”

“Detektif gak boleh nebak-nebak. Ketika gua pertama ngeliatlu, gua punya beberapa hipotesis mengenai keberadaanlu disana. Pertama, lu mau ketemu seseorang karena ada urusan mengenai pekerjaanlu. Kedua, lu sedang mau ketemu teman atau saudaralu yang ada disini setelah pulang dari Ausie untuk sekedar berkunjung. Ketiga, lu mau ketemu seseorang untuk liat-liat unit disini karena alasan tertentu, entah mau nyewa atau beli. Sekarang, ketiga hal ini yang gua sebut hipotesis dan ketika gua bertanya, apakah lu sedang liat-liat unit disini? Gua sedang menarik kesimpulan. Lu bisa mengerti?”

“Kenapa lu sebut hipotesis? Kenapa bukan teori?” protesku.

“Karena gua udah punya datanya, Vin. Teori itu cuma konsep saja dan tidak spesifik, sementara hipotesis adalah jawaban spesifik sementara dari data yang kita punya. Ini adalah definisi dari teori dan hipotesis itu sendiri.”

“Ya, gua bisa mengerti. Data apa yang lu punya dari gua waktu itu, Nick?”

“Saat itu kalau gak salah, gua udah pernah bilang juga. Pertama, gua tau lu pernah kerja di Australia, tapi saat itu gua gak tau lu kerja apa disana dan tenyata lu udah berhenti kerja. Dari data pertama, gua punya tiga hipotesis yang gua sebutkan tadi. Kedua, pakaian lu santai banget, sehingga lu agak aneh kalau lagi dalam urusan bisnis disini, meskipun bisa aja lu ketemu orang untuk bahas bisnis, tapi lu bukan penjualnya dan itu adalah hipotesis ketiga. Data kedua ini mengeliminasi hipotesis pertama dan menguatkan hipotesis ketiga. Data ketiga, lu gak membawa barang apa-apa dan kesananya sendirian. Aneh rasanya kalau kita mau ketemu teman atau saudara setelah dari luar negeri, tetapi kita sendirian dan gak membawa oleh-oleh apapun. Data ketiga ini mengeliminasi hipotesis kedua. Sekarang, gua cuma punya satu hipotesis, gak ada tambahan data, dan gua menyebutnya kesimpulan.”

“Tapi bukankah itu tebakan mudah? Peluangnya cuma satu banding tiga.”

“Memang, tapi gua gak menebaknya. Gua mengamati dan meneliti setiap datanya. Kalau lu ngeliat ada orang yang baru keluar dari kamar mandi, apa yang dia lakukan, Vin?”

“Mana gua tau, bisa apa aja. Mungkin mandi.”

“Benar. Sekarang, kalau lu ngeliat ada orang yang baru keluar dari kamar mandi bajunya ganti, rambutnya basah, dan bawa handuk. Apa yang habis dilakukan orang itu?”

“Pasti mandi.”

“Bagus, Vin. Sekarang lu mengerti bedanya menebak dan mengamati setiap datanya. Kita butuh lebih banyak data sekarang.”

Lihat selengkapnya