Berita yang baru kami dengar ini benar-benar sangat mengejutkan. Aku langsung mengganti bajuku dan mencuci muka karena tidak ada waktu lagi untuk mandi. Kami segera berangkat menuju hotel merkuri yang terletak didaerah Pantai Indah.
Lalu lintas siang itu kurang bersahabat, tetapi Nick mengendarai motornya dengan kecepatan yang tinggi. Ia menyalip setiap kendaraan yang ada didepannya, sampai beberapa kali jantungku mau copot. Orang ini tidak tidur semalaman dan kini ia mengendarai motor layaknya pembalap MotoGP. Ingin aku menegurnya, tetapi kurasa emosinya saat ini sangat kurang stabil sehingga ia malah akan merasa jengkel bila kutegur.
Syukurlah, kami tiba disana dengan selamat hanya dalam waktu dua puluh lima menit. Prajna sudah menunggu kami disana, ia langsung menghampiri kami tepat ketika kami memasuki lobby hotel.
“Nick, pertama-tama lu harus tenang,” katanya. “Semua terjadi dengan natural, pak Burhan meninggal karena serangan jantung yang dipicu oleh konsumsinya.”
“Kata siapa karena konsumsinya?” tanya Nick.
“Dokter yang pertama mengecek kondisinya,” jawab Prajna.
“Dan lu percaya itu pemicunya?” protes Nick. “Pria ini selamat tiga kali dari peristiwa-peristiwa ekstrim, dan sekarang dia meninggal karena makanan?”
Prajna mengusap alisnya, berusaha menjelaskan secara baik-baik kepada Nick. “Faktanya begitu, Nick Oliver. Ditemukan kopi dan botol-botol alkohol dikamarnya. Menurut resepsionis yang bekerja disini, setiap harinya pak Burhan ini juga selalu memesan makanan dengan porsi yang gak beraturan. Dia sudah meninggal dari kemarin siang. Itulah faktanya, Nick.”
Nick mengela napas panjangnya, gesturnya menunjukan kalau dia tidak setuju dengan ungkapan Prajna mengenai kematian pak Burhan. “Apakah jasad pak Burhan masih ada dikamarnya?”
“Masih, gua yang minta agar TKP jangan di apa-apain sampe kita datang. Meskipun begitu, pihak hotel bersikeras untuk segera membereskan kamar pak Burhan. Mereka yakin kalau ini adalah serangan jantung biasa dan gak ada yang aneh-aneh. Ada kemungkinan juga dia keracunan, tapi itu harus nunggu diotopsi dan ada persetujuan keluarganya.”
“Oke, kita sekarang kesana ya,” ucap Nick sambil berjalan ke lift. “Waktu kita kayanya gak banyak untuk meneliti ruangan itu sekilas. Jangan terlalu cepat menarik kesimpulan. Kasus ini sudah hampir gua pecahkan, tapi pasti ada sesuatu yang salah disini.”
Prajna terlihat agak jengkel dengan ucapan Nick barusan. Kami berjalan mengikuti Nick dan dalam waktu singkat, kami sudah sampai dikamar yang ditinggali pak Burhan. Nick dan Prajna langsung masuk kesana, aku mengikuti mereka dibelakangnya.
Kamar itu adalah kamar presidential suit dengan luas sekitar 145 meter persegi yang terdapat di lantai enam. Didalamnya terdapat ruang keluarga dan kamar tidur yang sangat besar. Interior kamar ini seluruhnya berwarna coklat variasi dengan nuansa american classic. Didepan pintu, terdapat meja makan besar yang bisa menampung delapan orang dan dibekangnya terdapat sofa keluarga yang menghadap ke sebuah televisi 55 inci. Seluruh lantainya dilapisi oleh karpet dan masih lumayan bersih meskipun belum sempat dibersihkan hari ini. Kamar tidurnya terletak disebelah kiri kami setelah masuk dari pintu kamar ini.
Didalam kamar tidur, terdapat klien kami yang sudah tengkurap tak bernyawa disebelah kasur dengan kedua lengannya membentang. Terdapat pecahan sebuah cangkir beserta kopi yang tumpah disekitar tangan kirinya. Mata dan mulutnya tidak tertutup sempurna membuat wajahnya memancarkan ekspresi kengerian yang menunjukan kalau ia tidak siap menemui ajalnya. Ia mengenakan baju santai berwarna putih yang agak lecek dan luntur kehitaman dibelakangnya dengan celana pendek dan sandal hotel. Disamping kasur, terdapat sebuah meja yang diatasnya ada beberapa botol minuman keras.
Nick rupanya tidak langsung menghampiri mayat pak Burhan. Ia mengitari sekeliling kamar itu dan mengamati setiap detail dari kamarnya. Ia bisa terdiam selama beberapa menit hanya untuk mengamati satu titik dan berpikir mengenai kejadian apa yang mungkin terjadi disana. Kamarnya terlihat sangat rapi seperti masih baru akan ditinggali, sehingga aku ragu apa yang bisa ditemukan olehnya disana.
Setelah puas mengamati setiap inci diruangan ini, Nick mengambil sarung tangan dan masker lalu menghampiri jasad pak Burhan. Aku sendiri tak berani bersentuhan langsung dengan mayat, bahkan melihat wajahnya saja aku sangat segan. Itu membuatku agak ngeri, tetapi Nick terlihat santai dan memperlakukan tubuh pak Burhan sebagai objek observasi. Ini adalah hal yang wajar untuk seorang mahasiswa kedokteran, tetapi untuk seorang sarjana ilmu komputer, tentu ini bukanlah sesuatu yang biasa.
“Prajna, siapa yang pertama kali nemuin pak Burhan?” tanya Nick sambil membolak balik tangan pak Burhan.
“Karyawan hotel yang bertugas bersihin ruangan ini.”
“Detail waktunya?”
“Bersih-bersihnya rutin sekitar jam sebelas setiap harinya. Tadi siang, karyawan ini menemukan pak Burhan udah gak bernyawa disini, Nick. Menurut dokter yang mengamati, pak Burhan ini sudah meninggal dari kemarin, sekitar pukul satu siang.”
“Sehabis makan siang?”
“Ya, karyawan-karyawan yang bekerja disini masih ngeliat dia makan siang kemarin.”
“Gak ada orang lain yang masuk kesini dari kemarin?”
“Cuma karyawan yang bersih-bersih. Kalau ada orang lain, mereka pasti udah tertangkap oleh kamera CCTV. Kalau lu berpikir ada jalan masuk lain selain pintu, kayaknya gak mungkin lah. Semua jendela terkunci dari dalam, gak ada balkon pula diseluruh kamar hotel ini, selain itu ini lantai enam dan diatas masih ada empat lantai lagi.”
“Ada barang yang hilang?”
“Enggak, semua masih utuh.”
“Yakin lu gaada barang yang hilang dan gaada yang masuk?”
“Iya, yakin. Gua dan tim gua udah ngecek, semua barang-barang berharganya masih ada. Ayolah penyebab kematiannya sudah jelas, lu nyari apa sih? Ini bukan pembunuhan dan semuanya natural, Nick,” ucap Prajna yang semakin jengkel berusaha meyakinkan Nick.
Nick sama sekali tidak menghiraukan ucapan Prajna. Sekarang, dia mengambil sebuah cangkir yang sama persis dengan cangkir pecah tersebut didekat tempat minuman, mengisinya dengan air, dan berusaha memecahkannya. Pertama, Ia membanting cangkir itu sambil tengkurap dan mengangkat tangannya keatas. Cangkir itu tidak pecah, hanya jatuh dan menumpahkan sebagian dari airnya yang ke lantai yang dilapisi karpet itu. Kemudian, ia mencoba membantingnya sambil berjongkok dan kembali mengangkat tangannya setengah keatas. Kali ini, cangkir tersebut pecah sebagian dan menumpahkan air tersebut kesekitarnya.
Nick masih belum puas, dia pergi keluar untuk mengambil cangkir baru dan memecahkannya dalam posisi berdiri. Cangkir itu akhirnya pecah sempurna dan menimbulkan banyak sekali serpihan disekitarnya.
Aku dan Prajna sama sekali tak mengerti apa yang Nick lakukan dengan percobaannya itu. Kini ia mengamati koper dan mengobrak-abrik barang-barang yang ada didalamnya. Kemudian ia berhenti sejenak, lalu kembali mengamati jasad pak Burhan. Ditengah pengamatannya, tiba-tiba terdengar langkah kaki memasuki ruangan ini. Ketika aku menengok, kulihat Andre, Bu Hanna, dan seorang pemuda yang berperawakan tinggi yang berwajah mirip dengan pak Burhan sudah berada di dekat sofa dari kamar hotel ini.
“Nick Oliver!” teriak pemuda itu. “Kurang ajar kau ya. Kau suruh ayahku kemari untuk menjemput ajalnya begitu saja hah.”
Nick berhenti melakukan pengamatannya terhadap barang-barang dan jasad pak Burhan. Ia melepas sarung tangan dan maskernya, kemudian menghampiri keluarga yang ditinggalkan oleh klien kami tersebut.
“Saya turut berduka cita,” ucapnya sambil merangkapkan kedua tangannya. “Maafkan saya. Saya tak tau harus berkata apa, tetapi saya sungguh merasa bersalah. Saya tidak tahu kalau pak Burhan akan mengalami kecelakaan ini disini, beliau adalah klien saya. Saya harap kalian bisa mengerti, terutama Anda, Pak Norman.”
“Diam kau,” tukas pemuda itu dengan nada dan intonasi yang sangat tinggi. Wajahnya memancarkan emosinya yang berapi-api, intonasi dari ucapannya benar-benar tinggi layaknya ingin menghajar seseorang. “Dasar detektif payah, tanggung jawablah kau atas kematian ayahku! Kalau bukan karena kau, mungkin ayahku saat ini masih hidup. Ku tuntut kau nanti.”
Bu Hanna dan Andre berusaha menenangkan putra sulung dari pak Burhan itu, sementara Nick langsung meninggalkan ruangan tanpa menghiraukan suasana disana. Prajna kini telah memanggil tim medisnya untuk segera membereskan jasad pak Burhan dan mempersilakan pihak hotel untuk merapikan ruangannya.
Semua orang sedang berkabung, tetapi aku tak melihat ada duka mendalam dalam diri mereka karena tak seorangpun yang meneteskan air mata diruangan ini. Norman terlihat sedikit gelisah, tetapi harga dirinya sebagai pria membuatnya menahan air matanya. Mereka sedang mendengarkan penjelasan Prajna mengenai penyebab kematian kepala keluarga mereka. Akupun menemani Prajna yang masih bersama mereka, sementara tidak ada yang tahu dimana Nick berada.