Fakta yang baru saja disampaikan oleh Nick telah mengubah bukan hanya isi kepala Prajna, tetapi pemikiranku terhadap kasus ini juga ikut berubah. Kini, aku terombang-ambing dalam lautan kebingungan dan penuh rasa penasaran dengan kelanjutannya. Rangkaian kejadiannya menjadi semakin rumit, saat itu aku tak bisa melihat Nick telah gagal dalam menangani kasus ini. Harus kuakui, dia sangat berbakat dan teliti dalam melihat masalah ini. Dia tidak menarik sembarang kesimpulan, tetapi dia melihatnya dari berbagai sudut pandang dan menggunakan semua data yang ada. Seperti yang ia katakan, ia memang gagal menyelamatkan pak Burhan, tetapi ia masih bisa memecahkan kasus ini dan menegakan hukum yang berlaku.
Prajna baru saja berpisah dengan kami untuk kembali ke kantornya, sedangkan aku dan Nick kini masih berada di lobby. Tentu saja mulutku sudah sangat gatal dan ingin langsung menanyakan banyak mengenai hal-hal yang baru saja ia sampaikan, dan sepertinya Nick pun menyadari akan hal itu.
“Udah gausah dipendem-pendem, Vin. Mau nanya kan lu,” ucap Nick.
“Ya, gua pengen nanya, Nick. Kok bisa sih lu nemuin semua fakta itu?” tanyaku. “Keliatannya simpel, tapi siapa yang bakal ngamatin sampe segitunya.”
“Yah, itulah pemikiran yang salah, Vin. Justru detail-detail sekecil apapun itu harus diperhatikan dan diingat baik-baik. Banyak orang yang menyepelekan detail kecil dan menganggapnya gak berkaitan sama masalah, padahal seorang kriminal hebat biasanya cuma meninggalkan detail yang kecil dan jarang banget meninggalkan jejak yang mudah terlacak, tapi semua orang malah berharap sama jejak yang jarang muncul itu. Dari awal gua lihat metode pelaku untuk membunuh klien kita itu, caranya sudah sangat pintar dan jejaknya cukup bersih. Tetapi, gua yakin dia bakal berbuat kesalahan.
“Gua mengamati setiap detail diruangan ini, mencari tanda-tanda yang bisa membuktikan kalau ada orang dikamar ini selain pak Burhan. Si pelaku ini pasti udah kelaperan sehingga dia masak mie instan cup hari ini, dan ya disitulah dia membuat kesalahan. Dia menggunakan air mineral yang ada disana, gak ngabisin air panas yang dipake masak, dan gak membuang sampahnya dengan baik.
“Sebenernya kalau dia meninggalkan sampahnya disana, itu akan lebih susah disadari karena kita akan berasumsi kalau pak Burhan yang makan itu sebelum kematiannya, tetapi air panas itu adalah kesalahannya yang paling fatal dan itu udah cukup buat gua, lalu ditambah dengan kejanggalan pada posisi jasad pak Burhan tadi. Kalau lu melihat dari posisi cangkirnya pecah dan membayangkan bagaimana pak Burhan jatuh terkena serangan jantungnya ini, sebenarnya udah cukup mustahil kalau pecahannya bisa ada disitu. Sayangnya orang-orang termasuk Prajna udah keburu berasumsi kalau dia meninggal karena kopi, padahal kopi itu gak ada sangkut pautnya disini.
“Tentu gua gak suka berteori, jadi gua langsung mencoba untuk mereka ulang bagaimana pak Burhan bisa berakhir diposisi itu. Dua percobaan pertama gua lakukan dengan asumsi kalau ketika pak Burhan jatuh, dia gak langsung menjatuhkan cangkir itu seperti yang lu bilang tadi, jadi gua tadi membantah argumenlu karena gua udah buktiin dengan percobaan gua. Gua mengira-ngira tinggi yang pas kalau cangkir itu jatuh bersama dengan dirinya yaitu pada saat gua jongkok dan tengkurap. Gua mengambil cangkir dan mengisinya dengan air, lalu menjatuhkannya dalam posisi tengkurap dan tangan keatas yang seperti lu lihat sendiri, gak pecah sama sekali. Lalu, gua coba dalam posisi jongkok dan berhasil tapi pecahnya gak separah itu. Percobaan ketiga gua lakukan untuk memastikan hipotesis gua bahwa cangkir ini terjatuh secara vertikal dari posisi kira-kira 1.4 meter dari permukaan. Ini terbukti, dan setelah itu gua berusaha mencari tau apa yang terjadi.
“Pak Burhan jelas gak langsung jatuh setelah menjatuhkan cangkirnya tersebut, lalu apa yang mungkin terjadi sehingga dia berada disana. Gua mendapat petunjuk selanjutnya dari baju yang dipake, lu udah tau lah gimana dan dari situ gua menyimpulkan ada sedikit insiden. Ditambah dengan hilangnya jam tangan pak Burhan, ini udah menjelaskan semuanya. Sampai sini paham?”
“Ya, paham,” jawabku setelah dia menjelaskan metodenya secara lebih detail. “Tapi mengenai jam tangan, kenapa dari sekian banyak barang yang ada, dia ngambil jam tangan?”
“Ah, mengenai itu. Ini adalah keteledoran gua yang menyebabkan pak Burhan menemui ajalnya. Lu tadi sempet liat gua ngobrak-ngabrik barang pak Burhan kan?”
“Iya.”
“Gua sedang mencari barang apa yang dibawa, sehingga dia bisa dilacak sama pelaku ini. Inget kan, waktu itu gua pernah suruh pak Burhan tinggalin ponsel, kartu kredit, segala jenis barang elektronik, sampai gua suruh dia jangan masuk pake email atau nomor dia yang lama. Itu untuk mengindari dirinya dilacak oleh sipelaku. Gua tau pelakunya bisa melacak dan tau persis posisi si pak Burhan kalau dilihat dari timing segala kejadiannya yang hampir sempurna. Gua gak nemuin barang yang berpotensi untuk dilacak pas gua cari dikoper atau sekitarnya, maka tentu aja barang itu mungkin dicuri. Satu-satunya barang yang hilang adalah jam tangan, pasti disitu pelacaknya dipasang. Waktu dirumahnya, dia pernah bilang kalau dia gak punya banyak jam tangan tapi selalu memakainya kemanapun dia pergi, tentu gak akan terlalu sulit kalau si dalang ini memasang pelacak ditiap jam tangan pak Burhan.”
“Luar biasa,” seruku kagum. “Tapi kenapa dia mencuri jam tangan itu? Justru dia malah akan menimbulkan kecurigaan dong.”
“Karena dia meremehkan Nickson Bastian Oliver,” ucap Nick dengan nada agak sombong. “Situasinya agak terjepit, Vin. Gua rasa si pelaku tau kalau gua menyadari adanya tracking device dan gua akan menyelidiki jam tangan itu. Pilihannya adalah mengambil barang bukti dan berharap gua gatau kalau pak Burhan membawa jam tangan atau meninggalkannya dengan resiko gua akan memeriksa barang itu. Dia memilih untuk mengambilnya, dan gaada yang sadar kecuali gua. Sayangnya, apapun yang dia lakukan itu gak akan berhasil. Kalau jam tangan itu gak diambil, tentu gua akan memeriksa jam itu dan pada akhirnya gua akan tetap menyadari kalau ini adalah ulah dia.”
“Wow,” tukasku. “Gua harus akui, itu tadi pemikiran yang keren. Lalu, rencanalu besok berkaitan dengan barang berat itu buat apa?”
“Oh, itu bukan apa-apa. Gua cuma mencari cara yang lebih mudah aja untuk menangkap pelaku kita dan menghindari banyak aktivitas fisik. Lu gausah tau detailnya sekarang, akan lebih baik kalau lu tau besok disana. Ada lagi yang masih mau lu tanya?”
“Anak pertamanya, Norman. Menurutlu dia overreacted dan mencurigakan gitu gak sih tadi? Kalau diperhatikan, bu Hanna dan Andre aja kalem.”
“Oh, itu biasa. Lu waktu itu gak ikut gua wawancara dia ya, Vin. Dia itu pemalas, gapunya niat bekerja atau mencari uang sendiri. Dia cuma mau ngabisin duit bapaknya, dan sebenernya pak Burhan itu sangat memanjakan anak ini. Ketika pak Burhan meninggal, dia sadar kalau dia harus mulai cari duit sekarang. Gua rasa ekspresi kekesalan dia tadi bisa dimengerti.”
Aku memijit dahiku. “Gua makin bingung,” kataku. “Semua hal yang memicu kecurigaan gua bisa lu bantah dengan cukup masuk akal, kasus ini kayanya rumit banget ya.”
“Ya, mereka bisa membuat set serapi ini, Vin. Mereka pasti juga memperhitungkan segala tindakan dan ucapan yang mereka lakukan,” jawab Nick.
“Terus, gua masih belum ngerti metode yang dilakukan si pelaku untuk keluar masuk TKP dari kejadian di garasi rumahnya. Gimana cara si pelaku ini masuk dan keluar? Hotel ini dipenuhi CCTV disetiap koridor dan gaada rekaman orang ini masuk kedalam, dari jendela juga gak mungkin. Ini bahkan jauh lebih rumit dari garasi.”
Nick tertawa melihat kebingunganku.
“Ayolah, Vin. Sampe sekarang lu belum sadar juga?” tanyanya meledek. “Itu sudah jelas, metode yang digunakan baik di hotel maupun garasi pun juga sama. Sebaiknya gua gak jawab dulu yang itu, karena banyak pertanyaan lagi dibalik situ. Biar lu taunya diakhir cerita aja ya, inget kata orang-orang ‘Save the best for the last.’”
“Oke kalau begitu,” ucapku, meskipun rasa penasaranku sudah mendorongku untuk rela membayar ratusan ribu rupiah untuk mengetahui teka-teki ini. “Satu lagi deh, lu tadi bilang sama Prajna ‘Non piu domande,’ ini maksudnya apa?”
“Oh, itu bahasa italia yang artinya tidak ada pertanyaan lagi. Dia itu dulu kayalu, nanya mulu. Gua tuh males banget menceritakan hipotesis gua selama kasus masih berjalan, tetapi kadang gua harus jelasin ke Prajna dalam situasi kaya tadi. Dia udah menarik kesimpulannya sendiri yang keliru, maka suka atau enggak, gua harus jelasin sedikit kekeliruan dia dan mengembalikannya kejalan yang benar. Kalau gua ngomong Non piu domande, tandanya gua gamau ditanya, sekarang kita kerja, dan semua akan terungkap pada akhirnya. Lu paham kan sekarang? Kalau gitu, Non piu domande.”
Ucapan Nick barusan, mengakhiri pembicaraan kami siang itu. Kami bergegas untuk ke parkiran dan pulang ke unit kami.
Kegiatannya dari kemarin sepertinya sudah terlalu kelewatan bagi Nick, dan kini ia sedang beristirahat tepat setelah kami tiba di unit kami. Dia berpesan agar aku tidak membangunkannya, dan aku akan diantar untuk menginap dirumah Prajna pada pukul sembilan malam. Sebenarnya, aku tidak terlalu yakin untuk menginap dirumah Prajna, kami baru kenal dan bertemu dua kali. Tetapi, rasa ingin tahuku terhadap akhir dari kasus ini membuatku menuruti apapun yang dikatakan oleh Nick. Yang penting, aku bisa mengetahui siapa dalang dibalik semua rangkaian kejadian yang mengerikan ini.
Sore itu, aku menghabiskan waktuku untuk mengerjakan revisi dari klienku sambil menunggu pukul sembilan tiba. Klienku juga meminta untuk dibuatkan semacam video untuk diunggah ke media sosial. Kalau sudah membuat video, pikiranku tak bisa lagi teralihkan dan hanya fokus kepada pekerjaanku untuk menyatukan visual dan audio yang membentuk video ini. Akhirnya, sore itu pun berlalu dengan cepat bagiku.
Nick bangun sangat terlambat, dia baru bangun pukul setengah sepuluh malam. Tanpa banyak berkata-kata, ia langsung mengambil jaket ojek online miliknya dan menyuruhku lekas berangkat. Untungnya, Prajna tinggal tidak jauh dari kami, sehingga perjalanan ke kontrakannya kami tempuh cukup singkat. Ia tinggal didaerah duri kepa, sehingga kami dapat mengambil rute pendek dari unit kami. Pada pukul sepuluh, aku sudah berada dikontrakan Prajna, sedangkan Nick langsung pergi lagi dan menjalani penyamarannya sebagai ojek online.
Kontrakan Prajna ternyata cukup besar. Rumah ini terdiri dari dua lantai, terdapat tiga kamar tidur, dan dua kamar mandi. Garasi rumahnya dapat menampung satu mobil dan beberapa motor, seluruh dinding rumahnya terlapisi oleh cat berwarna kuning dari luar sampai ke dalam. Didalam rumah pun, semua barang tertata rapi dan banyak perabotan-perabotan modern yang tidak ada di unit milikku dan Nick. Prajna sudah menyiapkan satu kamar yang memang digunakan khusus tamu untukku. Untuk kamar tamu saja, kamarnya sudah lebih lebar dan isinya sudah lebih padat daripada kamarku di medit. Kesan pertamaku kemari membuatku merasa ingin sekali tinggal lebih lama disini, sampai aku lupa kalau aku kesini untuk menjalankan sebuah misi. Setelah membereskan barang-barangku dikamar itu dan mencuci muka, aku duduk bersama Prajna dimeja makan untuk makan mie instan yang dibuatkannya.
Kami berbincang banyak malam itu, tetapi kami tidak membahas mengenai kasus ini dan rencana yang ingin dilakukan oleh Nick. Kami sepakat tidak membahasnya karena semakin dibahas, semakin membuat penasaran dan sulit tidur. Kami menghabiskan malam itu dengan menceritakan riwayat hidup kami dan mengenal satu sama lain lebih baik. Tidak ada pembicaraan yang terlalu spesial untuk kujadikan cuplikan di malam itu. Kami berbincang sampai kira-kira jam satu, lalu kami pergi tidur.
Keesokan harinya, aku terbangun setelah berkali-kali mendengar ponselku berdering. Bukan alarm, itu adalah panggilan tak terjawab dari Nick sebanyak delapan kali. Aku tidur sangat nyenyak, kasur yang disediakan Prajna untuku sangat nyaman dan membuatku terlelap pulas. Waktu menunjukan pukul tujuh, dan tak biasanya aku bangun jam segini. Suasana pagi itu agak mendung, sehingga membuatku sangat malas untuk bangun, tetapi demi keberhasilan kasus ini, aku melawan segala kemalasan itu dan bangkit dari tidurku. Setelah sadar sepenuhnya, aku langsung menelpon balik Nick, tetapi setelah beberapa kali menelpon, dia tidak menjawabku sama sekali.
Ketika keluar kamar, kulihat Prajna sudah siap dengan kemeja dan celana panjangnya, sedangkan rambutnya masih agak basah yang menunjukan kalau ia baru saja selesai mandi. Dia sedang duduk dimeja makan dan sedang menyeduh kopinya.
“Selamat pagi, Vin,” sapanya. “Gimana tidurnya? Nyenyak?”