Hujan sudah reda menimbulkan keheningan sempurna ketika Nick menyebut Andre sebagai dalang dari semua ini. Suara motor lewat memecah suasana kehing di ruang tengah kontrakan Prajna, lalu Norman yang duduk di antara Andre dan Bu Hanna lekas bangkit dan kini berdiri tepat di hadapan mereka.
“Kau!” gumamnya. “Kau yang melakukan semua ini, Dre?”
“Anda jangan sembarangan berbicara, Pak Nickson!” protes Andre kepada Nick. “Bagaimana mungkin saya menjadi dalang dibalik pembunuhan ayah saya sendiri?”
“Sudahlah, Pak Andre,” kata Nick. “Hentikan semua sandiwara ini. Saya tau Anda adalah bagian dari UKM teater saat Anda kuliah dulu. Anda yang bilang jangan membuang-buang waktu, lebih baik Anda segera jelaskan mengapa Anda dan Saudara Lukas bekerja sama untuk membunuh pak Burhan?”
“Saya tidak tahu apa-apa mengenai hal ini,” jawab Andre dengan ekspresi meyakinkan. “Pak Burhan Nasution adalah ayah saya sendiri dan ia selalu bangga kepada saya, tak mungkin saya bisa terlibat dalam ini semua.”
“Lalu mengapa Anda membantu Lukas masuk ke garasi rumah dan menjalankan aksinya?” tanya Nick.
“Saya tidak membantunya masuk ke garasi rumah kami,” bantah Andre. “Atas dasar apa Anda menuduh saya?”
“Kalau begitu, apakah saya boleh menggeledah Anda?”
“Silakan saja. Anda bahkan bisa mengecek mobil saya dan Anda tidak akan menemukan apapun.”
Tiba-tiba Nick tertawa keras sambil bertepuk tangan.
“Wah wah wah,” seru Nick. “Improvisasi Anda gagal sepertinya, Pak Andre? Saya belum pernah mengatakan apapun terkait cara si hantu ini masuk dan tidak menyebutkan soal mobil. Saya juga belum menuduh Anda menggunakan mobil Anda untuk membantunya masuk, tetapi sepertinya Anda sudah mengakuinya sendiri.”
Semua orang semakin menatap Andre dan semakin yakin kalau dia lah dalang di balik ini semua. Mobil, ya? Mengapa tidak kupikirkan sejak awal? Ternyata begitulah cara si dalang dan pelaku beraksi selama ini. Metodenya ternyata sangat simpel, tapi tak terpikirkan olehku.
Andre belum menyerah dan kehabisan akalnya. Dia sadar bahwa dia baru saja membuat kesalahan besar, tetapi dia masih ingin membuat sebuah pembelaan. “Dengar, Pak Nickson,” katanya. “Apa yang saya katakan barusan tidak ada hubungannya dengan apapun. Saya hanya bilang jika Anda ingin menggeledah mobil saya, yah silakan saja. Sekarang jika Anda mau membawa perkara ini ke jalur hukum, saya tidak takut. Saya tidak akan mengulanginya lagi, saya…”
“Cukup, Pak Andre,” potong Nick. “Saya juga tidak takut kalau perkara ini dibawa ke jalur hukum karena saya bisa membuktikan keterlibatan Anda. Kita hanya buang-buang waktu disini. Saya mau bilang, kalau saja ibu Maria Sitorus atau Marlyn Kurniawan mengetahui hal ini, mereka pasti akan sangat malu pada Anda dan Lukas.”
Betapa ajaibnya perkataan Nick barusan. Andre kini terdiam begitu emosional hingga matanya berkaca-kaca. Ekspresi tahanan kami juga berubah memancarkan kesedihan dan keharuan. Mereka tidak menduga apa yang dikatakan Nick barusan. Kata-katanya bagaikan mantra yang bisa mengubah emosi seseorang dengan cepatnya.
“Bagai… bagaimana Anda bisa mengetahui kedua nama itu?” tanya Andre terbata-bata.
“Ibu Maria adalah nama ibu kandung kami Pak Nickson,” sahut Norman. “Beliau sudah meninggal tujuh tahun yang lalu, apa hubungannya dengan masalah ini?”
“Ibu Maria Sitorus dan Marlyn Kurniawan, kakak dari Lukas ini adalah motif dibalik kasus ini,” jawab Nick. “Saya sudah memecahkan kasus ini. Pak Andre, jika Anda berkenan meringankan tugas saya dipengadilan nanti, sebaiknya nanti Anda membuat pengakuan dan jelaskan secara detail kepada kami semua mengenai motif Anda ini. Tidak ada gunanya melawan. Saya sudah menghubungi polisi, dan mereka akan tiba disini dalam tiga puluh menit lagi. Maafkan saya, tetapi kami juga harus memborgol Anda.”
Prajna mengambilkan borgol dan memakaikannya kepada Andre yang sudah menyerah dan tak lagi memberi argumen perlawanan. Aku pun mengambilkan tissue dan memberikannya kepada Andre dan Lukas yang sudah tak bisa menahan tetesan air matanya lagi. Meskipun belum tau apa alasan mereka melakukan semua ini, aku bisa merasakan kesedihan mereka berdua saat itu. Mereka didudukan bersebelahan, kemudian Prajna juga sudah melepas kain yang tadinya di sumpal dimulut Lukas.
“Well, Pak Andre dan Lukas,” kata Prajna. “Teman saya, Nick, sepertinya telah berhasil mengungkap rencana Anda berdua. Kita telah tiba di penghujung masalah, selanjutnya hukum yang akan bertindak. Ingat bahwa semua yang Anda katakan, dapat digunakan untuk melawan Anda di pengadilan.”
“Hukum apa?” sahut Andre yang baru berhenti menangis. “Pak Nickson, Anda tadi berkata kalau ibu saya dan kak Marlyn akan malu kepada kami? Saya tidak berpikir demikian, saya yakin mereka akan bangga kepada kami yang telah menegakan keadilan. Kalian semua tidak tahu apa-apa mengenai kami berdua. Kalian tidak tau apa-apa mengenai hukum. Kalian juga tidak tahu Burhan Nasution itu seperti apa dan menurut kami, dia layak menerima ini semua. Inilah hukuman yang seharusnya ia terima.”
“Memang betul,” tukas Nick. “Kami semua tidak tau apa-apa mengenai kalian berdua. Saya bisa menyebutkan kalau ibu Maria dan Marlyn adalah motif kalian membunuh pak Burhan Nasution, tetapi saya tidak tahu dendam seperti apa yang ingin kalian balaskan. Jika kalian ingin menceritakan kisah di balik ini semua, saya sangat berterima kasih bisa mengetahuinya.”
Andre menatap Lukas dan berbisik-bisik untuk meminta persetujuan rekannya menceritakan kisah mereka. Lukas hanya mengangguk pasrah mengizinkan Andre jika memang ingin menceritakannya.
“Baiklah, Pak Nickson,” kata Andre setelah berunding sekian lama. “Sebelum itu, saya ingin menyampaikan kekaguman saya kepada Anda yang bisa mengungkap ini semua, meskipun Anda juga yang membuat kami harus dipenjara. Kami tidak pernah menceritakan ini kepada siapapun, tetapi karena kami akan dipenjara juga pada akhirnya, kami pikir tidak ada gunanya merahasiakan cerita ini lagi. Pertama-tama kalian harus tau, bahwa ayah saya bukanlah orang baik seperti yang kalian dengar.
“Ayah saya adalah orang yang kasar, egois, dan tidak peduli sekitarnya. Sejak kecil, saya bukanlah anak yang disayang olehnya. Norman adalah anak kesayangan ayah saya, sedangkan saya selalu dekat dengan ibu saya. Saya jarang sekali mendapat sesuatu dari ayah saya dan biasanya saya hanya mendapat barang bekas Norman. Anda lihat, saya tidak mirip dengan ayah saya, sehingga dia selalu merasa kalau saya bukanlah anak kandungnya. Itu sangat menyakitkan! Ibu saya bukanlah wanita yang main gila dengan lelaki lain. Anda mungkin kerap kali mendengar kalau ayah saya bangga dengan saya, tetapi itu semua hanyalah topeng di depan publik. Baginya, saya hanyalah seperti piala yang dipamerkan kepada orang-orang. Semua itu karena saya lebih pandai dan berprestasi dibandingkan Norman. Kalian lihat Norman, hidupnya begini-begini saja karena ayah selalu memanjakan dan sangat menyayanginya. Apapun yang diinginkan Norman, ayah saya pasti mengabulkannya. Bahkan sampai ia keluar masuk kampus pun, ayah tak memarahinya sedikit pun. Jika saja hidup saya seperti Norman, saya pasti sudah ditendang oleh ayah saya dari rumah. Bahkan sebagai orang terpintar di keluarga, saya hanya mendapat sedikit dari warisan ayah. Saya sejujurnya tidak peduli dengan warisan karena saya tidak membutuhkannya, tetapi ayah sangat mempercayai Norman yang saat ini masih kuliah untuk mengambil alih semua aset itu. Saya pikir kalian semua bisa mengerti betapa pilih kasihnya ayah terhadap kami, tetapi bukan karena itulah saya melakukan ini semua.
“Ibu kandung saya, Maria Sitorus adalah wanita memiliki jiwa sosial yang tinggi. Ia gemar berdonasi untuk acara-acara sosial dan sering sekali mengunjungi panti asuhan. Ibu juga sangat menyayangi saya dengan sepenuh hatinya. Tidak seperti ayah yang hanya menyayangi Norman, ibu memiliki kasih sayang kepada Norman dan saya. Ibu lah yang selalu membela saya ketika dimarahi ayah tanpa alasan yang jelas, menghibur saya ketika sedang bersedih, dan membelikan saya baju serta mainan baru. Dia lah yang selalu memberikan saya apapun yang ayah tidak akan pernah berikan. Karena saya diperlakukan seperti bukan anak oleh ayah, saya pun selalu menganggap diri saya sebagai anak yatim sejak kecil. Jika bukan karena ibu, saya tidak tahu lagi bagaimana kehidupan saya saat ini.
“Saya sudah mengenal Lukas sejak saya masih SD. Ibu saya sering berkunjung ke panti asuhan tempat ia tinggal dan selalu mengajak saya. Lukas dan kakaknya, Marlyn adalah dua orang yang paling dekat dengan saya dan ibu saya. Mereka berdua kehilangan orang tuanya semasa kecil dan berada di panti asuhan itu sejak tahun 2003. Lukas berusia sama dengan saya, sementara kak Marlyn berusia lebih tua tiga tahun dari kami. Mereka adalah anak yang rajin, baik, dan sangat ramah. Bagi ibu saya, mereka bagaikan anak kandungnya sendiri dan saya selalu merasa bahwa merekalah saudara saya sesungguhnya. Suatu hari, ibu saya membawa Lukas dan Marlyn untuk main ke rumah, tetapi ia malah dimarahi habis-habisan oleh ayah.
“‘Mengapa kau bawa dua gembel ini ke rumah?’ kata ayah ketika melihat mereka hendak memasuki rumah kami.
“‘Jangan beraninya kau bicara begitu, Burhan. Mereka masih anak-anak dan mempunyai masa depan,’ jawab ibu membela mereka.
“‘Masa depan apa yang kau harapkan dari mereka? Jangan berbicara yang aneh-aneh, Urusi saja anak kau si Andre itu! Jangan repot-repot lagi ngurusin anak orang lain’
“‘Burhan, hentikan!’ kata ibu sambil memohon.
“‘Aku tak peduli, pokoknya jangan sampai kau bawa dua anak yatim piatu ini kemari!’ kata ayah dengan sangat kasar kemudian ia mengunci pintu rumah.