"Sa, undangannya sudah selesai disebar ke semua tamu undangan, kan kemarin?" tanya Kris pada Risa, wanita yang dua minggu lagi akan menyandang nama belakangnya dengan tambahan julukan Nyonya di depan. Nyonya Hadinata, istri dari Krista Ledra Hadinata.
Risa menoleh sekilas, mengesampingkan sketsa gedung berbentuk piramida kaca, yang dua hari lalu ia lihat saat sedang dalam perjalanan bisnis ke Semarang. "Sudah. Besok jadi kan, kita cek venue? Aku takut dekorasinya ga sesuai dengan bayanganku."
Kris mendengus pura-pura kesal, "Huh, kalau aja aku nyari pasangan yang bukan seniman, pasti ga akan ribet ini ngurusin dekorasi venue."
"Ya udah, kamu cari aja pasangan lain," sanggah Risa tak mau kalah, kemudian mereka berdua tertawa bersamaan.
Dicubitnya pipi gempal Risa sebelum melanjutkan, "Kamu aja cukup Sa, biar cerewet, ribet, dan selalu asik dengan duniamu sendiri..." Kris menarik buku sketsa di hadapan Risa lalu mengangkatnya tinggi-tinggi di udara, "dan gara-gara ini akunya dicuekin terus, tapi aku ga ada niat untuk nyari wanita lain. Cukup Risa saja."
Sebelah tangan Risa merampas buku sketsanya, lalu tangan lainnya yang masih bebas, membalas menjawil cuping hidung Kris yang setinggi menara Eiffel, "Biar kamu ngeluh terus kayak ibu-ibu ga dikasih uang belanja, aku juga ga ada niat mau buka lowongan untuk orang lain kok, Kris saja sudah lebih dari cukup."
"Tapi kalau ada Miss Universe yang mau sama aku, gimana? Masa aku harus nolak rezeki?"
"Pensilku lumayan tajam, loh ini. Kamu mau jadi pasien pertama yang disuntik di mata, ga?" ancam Risa bergurau.
Risa tidak marah dengan gurauan calon suaminya itu, Risa tahu Kris memang orang yang suka bergurau. Bahkan sejak pertemuan pertama mereka, Kris memulai perkenalannya dengan gurauan tentang dirinya yang mengaku sebagai anak angkat Presiden.
Dua tahun bersama dengan Kris, tidak membuat Risa bosan dengan gurauan-gurauan garing yang selalu Kris lontarkan. Risa juga tidak pernah kesal jika Kris terlalu banyak mengeluh mengenai porsi perhatian yang seharusnya Risa berikan. Terlebih lagi, Risa tidak pernah memarahi Kris ketika Kris malas mencukur janggut dan kumisnya, bagi Risa itulah nilai keseksian seorang Krista Ledra.
Siang ini bahkan lebih sempurna dari siang-siang sebelumnya, karena Kris yang begitu pengertian mau menemani Risa saat ia sedang menyelesaikan sketsanya. Untuk ukuran seorang Kris yang tidak bisa diam, tentu saja hal sederhana itu merupakan sebuah keistimewaan yang begitu besar bagi Risa.
"Aku cinta kamu, Ca," ungkap Kris dengan mata berbinar penuh cinta menatap Risa yang kini juga sedang menatap lurus ke dalam manik mata Kris yang hitam sepekat onyx.
"Ca?" Tatapan penuh cinta itu berubah menjadi sebuah guncangan besar dalam batin Risa, ketika Kris memanggilnya dengan sebutan Ca.
Sejauh yang Risa ingat, tidak pernah sekalipun Kris memanggilnya seperti itu.
"Ica, biar imut," jawab Kris, lagi-lagi dengan cengiran tersungging di kedua sudut bibirnya.
"Seharusnya jangan memanggilku seperti itu, Kris. Sudah tidak pernah ada lagi yang memanggilku dengan sebutan itu setelah Ale pergi," batin Risa.
"Kamu ga suka, ya?" tanya Kris setelah Risa tidak menyahuti gurauannya.
Risa masih terdiam cukup lama. Pikirannya melayang jauh menyeberangi samudera biru dan mendarat di Seoul, tempat Ale menetap saat ini. Betapa besarnya dampak panggilan singkat itu bagi Risa yang langsung saja tertikam ribuan keping kenangan tentang Alexander Yansel.
Risa kembali ke alam sadarnya, ditatapnya Kris dengan tatapan yang tak bisa Kris uraikan, "Badanmu yang kayak tukang pukul ini, ga pantas sok imut kayak gitu, sayang," olok Risa sembari tertawa.
Biarlah Risa memendam semuanya sendiri, ia tidak ingin mengacaukan siang sempurnanya. Ia tidak akan membiarkan kenangan itu mengacaukan persiapan pernikahannya dengan Kris yang hanya tinggal menghitung hari.
Berkali-kali Risa mensugestikan dirinya sendiri, bahwa panggilan Ica tidaklah memiliki makna yang khusus lagi baginya. Ica hanyalah nama yang sangat umum terdapat di Indonesia, dan tentu saja itu bukan nama spesial yang diberikan seseorang dari masa lalu khusus untuknya.
"Terima nasibmu, sayang. Pria bertubuh tukang pukul dan berjiwa imut-imut ini sebentar lagi akan menjadi suamimu," nasihat Kris sok bijaksana sembari menarik jemari Risa ke dalam dekapan tangannya yang kelewat besar.
"Kalau begitu, aku harus pikirin lagi rencana untuk buka lowongan mencari calon suami baru. Pastinya, kriteria imut, ga boleh ada di dalam daftar." Sekali lagi Risa membalas Kris dengan gurauan yang berhasil membuatnya terpingkal-pingkal.
Bagi Kris, Risa yang berkepribadian unik dan memiliki dunianya sendiri ini adalah sebuah kecantikan yang hakiki. Risa yang sederhana tanpa riasan berlebihan, Risa yang selalu membawa pensil beragam jenis dan buku sketsa tebal kemanapun ia pergi, Risa yang selalu membalas gurauannya dengan gurauan yang selalu membuat Kris kehabisan kata-kata, Risa yang mencintainya melebihi ia mencintai pantai membuat Kris rela memberikan cintanya yang tak terbatas untuk Risa seorang. Risa adalah satu-satunya yang Kris inginkan untuk menjadi istrinya.