Persiapan pernikahan sudah hampir selesai. Hanya masalah dekorasi saja yang belum sesuai dengan keinginan Risa. Konsep warna broken white dengan aksen mawar putih belum persis seperti sketsa yang Risa berikan pada penanggung jawab dekorasi.
Pihak event organizer sudah berkali-kali mengeluh pada Kris dan juga orang tua Risa karena tidak kuat meladeni keinginan Risa yang terlalu muluk. Namun, Kris berkali-kali juga memasang badan untuk calon istrinya yang perfeksionis itu. Kris hanya dapat memohon pengertian pihak event organizer agar mereka dapat lebih bersabar lagi.
Sebagai hadiah agar Risa tidak terlalu stress memikirkan dekorasi yang belum rampung, hari ini Kris mengajak Risa ke luar kota. Dihitung mulai hari ini sampai besok ia harus berhasil membuat Risa kembali tersenyum dan membalas gurauannya seperti biasa. Kris tidak suka melihat Risa murung.
Mengajak Risa ke pantai adalah opsi yang paling tepat jika ia rasa Risa memerlukan sedikit liburan. Dua tahun bersama Risa, membuat Kris sudah khatam mengenai perubahan perilaku wanitanya itu. Jika Risa bahkan sudah tidak bisa menyelesaikan sketsa yang sedang ia kerjakan, artinya Risa memang sedang benar-benar penat. Maka, Bali adalah pilihan yang tepat menurut Kris. Risa pun tidak menolak saat Kris menawarkan liburan selama dua hari di Badung, Bali.
Risa dan Kris sampai di Bali pukul sebelas, kemudian melanjutkan perjalanan ke Badung, tepatnya menuju pantai Gunung Payung, salah satu pantai yang menjadi favorit Risa sejauh yang Kris tahu.
Akan tetapi, bagi Risa, pergi ke pantai bukanlah pilihan yang tepat di saat suasana hatinya sedang kacau seperti sekarang. Pantai hanya akan lebih mengingatkannya pada Seoul, pada Pantai Gyeongpo, dan pada Ale. Namun, Risa tidak bisa menolak kebaikan Kris. Risa tahu Kris hanya ingin agar ia tidak murung lagi. Apakah bisa berhasil? Apakah Pantai Gunung Payung yang Risa sukai itu mampu membuatnya lupa akan Pantai Gyeongpo yang menempati peringkat pertama di daftar pantai favoritnya? Risa sendiri sangsi.
"Kamu sudah lapar? Kita cari makan dulu, ya, baru ke pantai?" ajak Kris setelah melihat jarum panjang di arlojinya yang sudah hampir mencapai angka 12.
"Nanti aja habis dari sana, aku belum lapar. Kamu sudah lapar?" tolak Risa yang masih belum berselera.
"Belum juga, deh. Ya sudah, kita langsung ke pantai. Supaya kamu bisa cepat tersenyum lagi." Kris menyelipkan permohonannya di kalimat terakhir.
Kurang sembilan hari lagi sampai hari pernikahan mereka, dan Risa masih belum juga kembali tersenyum sejak tiga hari yang lalu. Kris tidak tahu jika dekorasi dapat membuat Risa semurung itu, tapi ia berjanji pada dirinya sendiri akan melakukan hal apapun agar Risa dapat tersenyum bahagia saat nanti mengenakan cincin pernikahan yang Kris sematkan di jari manisnya.
Di dalam perjalanan, berkali-kali Kris memperhatikan Risa yang membuang pandangan ke luar. Risa sama sekali tidak menoleh pada Kris, bahkan saat Kris melontarkan gurauan yang merupakan gurauan terlucu yang ia miliki, Risa hanya tertawa tidak lebih dari lima detik, lalu setelah itu ia kembali melemparkan tatapannya pada aspal panas dan deretan warung kecil di pinggir jalan.
"Sa, kamu kenapa?" tanya Kris pada akhirnya.
Toleransi Kris selama tiga hari ini ternyata kalah juga oleh kekhawatiran akan keadaan Risa yang semakin tidak bersemangat dari hari ke hari. Kris tidak bisa diam saja melihat kekasihnya menghabiskan sebagian besar harinya dengan melamunkan hal yang Kris sendiri pun tidak tahu.
Risa menoleh pelan seolah seluruh semangatnya telah dibawa kabur oleh roh-roh halus. "Aku?"
"Iya kamu, Sa. Kenapa? Masalah dekorasi bikin kamu stress? Atau ada masalah lain, Sa?" tanya Kris hati-hati. Ia tahu Risa tidak suka jika ia mengulik terlalu dalam tentang privasinya, tapi bagaimanapun juga ia adalah calon suami Risa. Bukankah sepasang suami-istri harus saling terbuka satu sama lain?