Night Shift: The Silent Hour

R. Rusandhy
Chapter #5

BAB 4: THE ROUNDTABLE

Sabtu, 13:00 WIB. "Kopi Senja & Logika", Senopati, Jakarta Selatan.

Tempat itu adalah definisi dari pretentious Jaksel. Dinding bata ekspos, tanaman monstera di setiap sudut, playlist lagu indie folk yang volumenya pas buat ngobrol tapi kekecilan buat didengerin, dan harga Iced Americano yang bisa buat makan tiga hari di Warteg.

Di pojok paling suram cafe itu, jauh dari jendela kaca besar yang instagrammable, empat orang duduk mengelilingi meja kayu bundar. Penampilan mereka kontras banget sama pengunjung lain yang wangi dan stylish.

Nicky masih pake kaos Off-White lecek dan celana pendek basket, rambutnya acak-acakan kayak orang abis dikejar debt collector. Tangannya masih gemetar sisa adrenalin di tol tadi.

Di sebelahnya ada Johan (Paranoia99). Penampilannya paling kacau. Rambut gondrongnya dikuncir asal, matanya liar bergerak ke kiri-kanan, dan dia memeluk sebuah buku catatan kecil seolah itu kitab suci.

Di seberang mereka, Andhika (XshooterX) duduk sambil mainin korek api Zippo. Klik. Klak. Klik. Klak. Dia pake topi snapback dibalik dan kemeja flanel yang kancingnya dibuka, memperlihatkan kaos oblong putih yang udah agak kuning di bagian leher.

Dan terakhir, Kate (KateLim). Satu-satunya yang masih kelihatan manusiawi. Dia pake cardigan warna sage green dan riasan tipis. Tapi di balik bedak mahalnya, bibirnya pucat dan matanya bengkak—jelas abis nangis.

"Jadi..." Andhika memecah keheningan, suaranya berat. "Kita semua dapet timer?"

Nicky mengangguk lemah. Dia menaruh spion mobilnya yang pecah di atas meja. Pecahan kaca dan kabel putus itu bikin suara tak yang nyaring.

"Ini buktinya," kata Nicky. "Gue hampir mati di tol tadi. Baut truk. Baut sialan lepas gitu aja."

"Itu bukan kebetulan," potong Johan cepat. Dia membuka buku catatannya. Halaman-halamannya penuh coretan rumus probabilitas, jam kematian, dan denah lantai rumah sakit di game. "Itu Phase 1. Peringatan."

"Jelasin, Jo. Pake bahasa manusia," pinta Kate, suaranya serak.

Johan menelan ludah. Dia ngeluarin pulpen dan mulai ngegambar grafik kasar di atas tisu cafe.

"Dengerin. Game Night Shift itu bukan game hantu. Hantunya, si Silent Patient, itu cuma gimmick visual. Musuh aslinya adalah algoritma."

"Algoritma?" tanya Andhika skeptis.

"Iya, Bang. Probability Horror," Johan melingkari kata itu berkali-kali sampai tisunya sobek. "Di dunia nyata, probabilitas kita mati konyol—kayak ketimpa piano atau kepeleset kulit pisang—itu nol koma nol sekian persen. Hampir mustahil."

Johan menatap teman-temannya satu per satu. Matanya nanar.

"Tapi game itu... dia ngerusak RNG (Random Number Generator) alam semesta di sekitar kita. Dia naikin persentase sial kita jadi 99%. Semakin deket kita sama deadline waktu main kita, semakin agresif alam semesta nyoba bunuh kita."

"Kayak Final Destination?" tanya Nicky.

"Persis. Tapi lebih scientific," Johan menunjuk jam tangannya. "Gue tamat paling cepet secara durasi real-time. Jam 10 pagi tadi. Durasi main gue 7 jam 12 menit."

Johan nulis angka besar-besar di tisu: 17:12.

"Jam lima sore lewat dua belas menit ini, gue bakal mati. Titik. Gue orang pertama di meja ini yang bakal 'diambil'."

Lihat selengkapnya