Night Shift: The Silent Hour

R. Rusandhy
Chapter #7

BAB 6: THE FIRST BLOOD

Sabtu, 17:08 WIB. Gang "Senggol", Area Belakang Glodok.

Hujan tidak lagi turun sebagai air, melainkan jarum-jarum es yang menusuk kulit. Di lorong sempit di antara dua gedung elektronik raksasa yang menua, udara berbau seperti campuran sampah basah, kencing tikus, dan ozon dari kabel listrik yang terkelupas.

Nicky berlari sekuat tenaga, paru-parunya terasa terbakar. Sepatu Nike Jordan mahalnya yang biasanya dia jaga kebersihannya setengah mati, kini menghantam genangan air hitam tanpa ampun, mencipratkan lumpur ke betisnya.

"JO! TUNGGU, ANJING!" teriak Nicky. Suaranya pecah, tertelan oleh gemuruh guntur yang menyambar di langit Jakarta Barat.

Di depannya, sekitar lima puluh meter, bayangan punggung Johan terlihat timbul tenggelam di balik kabut hujan. Johan berlari dengan cara yang aneh—pincang, terhuyung-huyung, tapi didorong oleh kepanikan murni yang membuatnya lebih cepat dari atlet manapun.

"Dia lari ke arah konstruksi!" teriak Andhika dari belakang Nicky. Napas Andhika terdengar berat, langkah kakinya yang besar menghentak tanah dengan keras. Di belakang mereka, Kate tertinggal jauh, berjuang menyeimbangkan diri dengan satu tangan memegangi lengannya yang melepuh.

Johan tidak menoleh. Di dalam kepalanya, suara sirine peringatan berbunyi jauh lebih nyaring daripada teriakan teman-temannya.

Dia melihat jam tangannya yang retak.

17:09 WIB.

Tiga menit.

Hanya tiga menit sebelum algoritma alam semesta memutuskan untuk memutus nyawanya.

"Gue harus sampe... gue harus sampe..." racau Johan. Matanya liar memindai lingkungan sekitar.

Otaknya yang analitis, yang biasanya dia pakai buat memecahkan teka-teki lore game yang rumit, kini bekerja overdrive memproses ancaman di dunia nyata.

Kabel menjuntai di kiri: Potensi setrum 80%. Lantai berlumut di kanan: Potensi tergelincir 60%. Baliho seng di atas: Baut longgar, potensi jatuh karena angin 40%.

Dunia di mata Johan bukan lagi pemandangan, tapi sekumpulan variabel matematika mematikan. Night Shift tidak hanya ada di layar monitor; game itu sudah menimpa reality dengan coding kematiannya sendiri.

Johan berbelok tajam ke kiri, masuk ke area terbuka bekas pembongkaran gedung lama.

Ini adalah zona mati. Sebuah lahan kosong yang dikelilingi pagar seng berkarat, penuh dengan puing-puing beton, besi ulir yang mencuat dari tanah seperti tombak, dan sebuah crane (derek) tua berwarna kuning pudar yang menjulang angkuh di tengah hujan badai.

Angin di sini bertiup jauh lebih kencang, melolong seperti serigala lapar, menggoyangkan rantai-rantai besi yang menggantung di leher crane itu.

Johan berhenti. Dadanya naik turun dengan kasar.

Di depannya, terhalang oleh tumpukan puing, adalah deretan ruko tua yang gelap gulita. Ruko nomor 404 ada di sana. Pintunya tertutup rolling door besi yang penuh coretan vandal.

"Itu..." Johan menunjuk dengan jari gemetar. "Itu sarangnya..."

Dia mengambil langkah maju, tapi kakinya tersangkut pada seutas kawat beton yang tersembunyi di balik rumput liar.

BRUK.

Johan jatuh terjerembab. Wajahnya menghantam tanah becek. Kacamata tebalnya terlepas, terlempar ke genangan air.

"Bangsat..." rintihnya, meraba-raba tanah lumpur itu dengan panik. Tanpa kacamata, dunia menjadi buram. Ruko itu hanya terlihat sebagai kotak hitam yang kabur.

"JO!"

Lihat selengkapnya