Night Shift: The Silent Hour

R. Rusandhy
Chapter #8

BAB 7: THE DUNGEON

Sabtu, 17:15 WIB Area Belakang Glodok (Gang Senggol)

Dunia Nicky Nugroho berhenti berputar.

Hujan yang menghujam bumi, gemuruh guntur yang membelah langit Jakarta Barat, bahkan teriakan histeris Kate—semuanya terdengar tumpul. Seperti ada kapas tebal yang menyumbat telinganya. Istilah gaming-nya: Audio dampened.

Matanya hanya bisa fokus pada satu titik. Pada tumpukan besi beton berkarat yang kini menjadi batu nisan mendadak bagi Johan Setiawan.

Darah. Begitu banyak darah.

Cairan merah kental itu tidak berhenti mengalir, bercampur dengan air hujan yang keruh, menciptakan pola abstrak yang mengerikan di atas aspal retak. Jari tangan Johan yang menyembul dari balik reruntuhan besi itu masih terlihat menggenggam udara kosong. Jam tangannya masih berkedip.

17:15.

Tiga menit yang lalu, Johan masih bernapas. Masih menghitung peluang. Masih menjadi "The Brain" bagi tim mereka. Sekarang? Dia cuma tumpukan daging dan tulang yang hancur. Glitch fatal dalam sistem semesta.

Nicky merasa lututnya berubah jadi jeli. Perutnya mual hebat. Dia ingin muntah, tapi kerongkongannya terkunci rapat.

"Ini... ini salah gue..." bisik Nicky. Suaranya hilang ditelan angin.

Kalau saja dia tidak mengajak Johan main Night Shift. Kalau saja dia tidak meremehkan timer itu. Kalau saja dia lebih cepat menyetir tadi.

"Nick! Woy!"

Sebuah tangan besar mencengkeram kerah kaos Off-White Nicky yang kini basah kuyup dan berlumpur. Andhika menariknya kasar, memaksa Nicky untuk berdiri tegak.

"Lepasin gue..." Nicky mencoba memberontak lemah. "Johan... kita harus tolong Johan..."

"JOHAN UDAH MATI, GOBLOK!"

Teriakan Andhika meledak tepat di depan muka Nicky.

PLAK!

Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Nicky. Panas. Perih. Rasa sakit fisik itu seketika merobek kabut syok yang menyelimuti otak Nicky.

Nicky terhuyung ke belakang, memegangi pipinya. Dia menatap Andhika. Mata sang Tank itu merah, basah oleh air mata, tapi nyalang penuh amarah dan determinasi.

"Liat gue!" bentak Andhika lagi, mencengkeram bahu Nicky dengan kedua tangannya, mengguncang tubuh kurus itu. "Johan mati biar kita nggak mati! Dia ngorbanin dirinya biar lo dapet itu!"

Andhika menunjuk buku catatan hitam yang kini remuk dalam genggaman Nicky.

"Lo mau pengorbanan dia sia-sia? Hah?! Lo mau mati konyol di sini sambil nangis, atau lo mau naik ke atas sana dan hajar bajingan yang bikin game ini?!"

Nicky terdiam. Napasnya memburu. Dia melihat buku di tangannya. Buku itu basah, kotor, dan ada bercak darah Johan di sampulnya. Item drop terakhir dari party member yang gugur.

Kate berdiri di belakang Andhika, wajahnya pucat pasi, bibirnya gemetar hebat. Tapi dia mengangguk pelan ke arah Nicky. "Nicky... please. Kita nggak punya waktu."

Nicky menelan ludah yang terasa amis darah—mungkin bibirnya pecah kena tampar tadi. Dia menarik napas panjang, membiarkan udara dingin dan bau besi masuk ke paru-parunya.

Dia menatap mayat Johan untuk terakhir kalinya.

"Sorry, Jo," bisik Nicky. Tatapannya berubah. Sinar ketakutan di matanya meredup, digantikan oleh sorot dingin seorang player yang baru saja kehilangan segalanya dan tidak punya pilihan selain maju. Focus Mode: ON.

"Andhika," panggil Nicky, suaranya serak tapi tegas. "Dobrak pintunya."

Andhika mengangguk. Dia berbalik badan, menatap rolling door ruko nomor 404 yang tertutup rapat dan penuh karat.

"Mundur," perintah Andhika.

Si mantan pro player FPS itu mengambil ancang-ancang. Tubuhnya yang besar dan padat—hasil dari nge-gym rutin dan genetika "kuli jawa" yang kuat—adalah aset terbesar mereka sekarang.

Andhika berlari pendek, lalu menghantamkan bahu kanannya sekuat tenaga ke sambungan rolling door itu.

BRAAAK!

Pintu besi tua itu mengerang, penyok ke dalam, tapi gembok besarnya masih bertahan.

"Lagi!" teriak Nicky.

Andhika mundur lagi. Napasnya mengepul putih. Dia berteriak, menyalurkan semua rasa frustrasi dan duka atas kematian Johan ke dalam satu hantaman bahu.

BRAAAKKK!!! KREK!

Engsel tua yang sudah dimakan usia itu menyerah. Gemboknya patah. Rolling door itu terangkat miring, menyisakan celah setinggi satu meter di bagian bawah.

Kegelapan pekat mengintip dari balik celah itu. Bau apek yang menyengat langsung menyeruak keluar—bau debu tua, kertas lapuk, dan sesuatu yang manis membusuk.

"Masuk," kata Andhika, menahan pintu besi yang berat itu dengan punggungnya agar Nicky dan Kate bisa lewat. "Cepetan! Punggung gue mau patah nih!"

Nicky merunduk, meluncur masuk ke dalam kegelapan. Kate menyusul di belakangnya sambil terisak pelan. Terakhir, Andhika melepaskan pintu itu dan berguling masuk tepat sebelum pintu besi itu jatuh kembali menghantam lantai.

BLAM.

Suara hujan dan guntur di luar seketika meredup, tergantikan oleh keheningan yang menekan telinga.

Mereka ada di dalam.

Sabtu, 17:30 WIB Lantai Dasar Ruko 404 (The Graveyard)

Cahaya senter HP Nicky menyala, membelah kegelapan yang absolut.

Pemandangan di depan mereka bukanlah kantor developer game mewah. Itu adalah kuburan teknologi.

Lantai dasar ruko itu penuh sesak. Lorongnya sempit, diapit oleh rak-rak besi tinggi yang melengkung karena beban berat. Di mana-mana, sejauh mata memandang, ada gunungan sampah elektronik.

Ratusan monitor tabung CRT yang layarnya retak menumpuk seperti piramida rongsokan. Motherboard hijau berdebu berserakan di lantai seperti kerupuk pecah. Kabel-kabel hitam, putih, dan abu-abu menjuntai dari langit-langit, melilit di lantai, membuat ruangan itu terlihat seperti usus robot raksasa yang sudah mati.

"Gila..." desis Nicky, mengarahkan senter ke dinding. "Ini tempat apaan? Gudang rongsok?"

"Hati-hati langkah lo," peringat Andhika yang menyalakan senter HP-nya juga. "Banyak paku, banyak beling."

Suasana di dalam sini terasa salah. Udaranya berat, lembap, dan statis. Tidak ada sirkulasi. Debu tebal beterbangan di sorot cahaya senter mereka, tampak seperti orbs hantu mikro.

"Baunya..." Kate menutup hidungnya dengan lengan baju. "Bau apa ini? Kayak... kabel kebakar?"

"Ozon," jawab Nicky singkat. "Banyak listrik statis di sini. Tempat ini bahaya."

Mereka bergerak perlahan menyusuri lorong sempit di antara tumpukan CPU bekas. Nicky memimpin di depan, buku catatan Johan dia selipkan di pinggang celananya.

Setiap langkah mereka di lantai keramik yang kotor menimbulkan bunyi krek-krek dari pecahan plastik dan kaca.

Tiba-tiba, sebuah suara membuat mereka membeku.

Zzzzt... Zzzzt...

Lihat selengkapnya