Night Shift: The Silent Hour

R. Rusandhy
Chapter #9

BAB 8: THE ARCHITECT

Sabtu, 18:25 WIB Lantai 3 Ruko 404 (The Core)

Napas Nicky rasanya seperti menelan silet.

Setiap kali dadanya naik turun, dia bisa merasakan debu dan bau apek ruko tua ini menggerogoti paru-parunya. Tangga besi "monyet" itu bergetar hebat di bawah beban tubuhnya, beradu dengan suara guntur yang masih menggelegar di luar sana.

Tangan kanannya mencengkeram anak tangga besi terakhir. Dengan sisa tenaga, Nicky menarik tubuhnya naik, melewati lubang plafon yang sempit.

"Erghh..."

Nicky berguling masuk ke lantai tiga. Dia terbatuk-batuk, mencoba memuntahkan rasa takut dan lelah yang menyumbat tenggorokannya.

Di belakangnya, Kate menyusul dengan wajah pucat pasi, dibantu dorongan Andhika dari bawah.

"Kita... sampe?" tanya Kate lirih, matanya menyapu sekeliling.

Nicky berdiri perlahan, membersihkan debu di celana pendeknya. Dia menyalakan senter HP, tapi kemudian mematikannya lagi.

Tidak perlu senter di sini.

Ruangan itu—Lantai 3—berbeda total dari dua lantai di bawahnya. Tidak ada sampah menggunung. Tidak ada kabel semrawut yang menjuntai liar.

Ruangan itu luas, terbuka, dan dingin. Sangat dingin. Suhunya mungkin di bawah 16 derajat Celcius, membuat napas mereka mengepul putih di udara.

Dan sumber cahayanya... memukau sekaligus mengerikan.

Di tengah ruangan, disusun melingkar seperti benteng pertahanan, terdapat belasan monitor tabung dan LCD bekas yang menyala serentak. Cahaya biru, hijau, dan merah dari layar-layar itu menjadi satu-satunya penerangan, menciptakan bayangan panjang yang menari-nari di dinding.

Di tengah benteng monitor itu, duduk seseorang.

Sosok itu duduk di kursi roda bekas rumah sakit yang jok kulitnya sudah sobek di sana-sini. Punggungnya membelakangi mereka. Rambut gondrongnya lepek berminyak, menjuntai menutupi leher yang kurus kering.

Suara ketikan keyboard mekanik terdengar ritmis. Tak. Tak. Tak. Tak. Cepat, konstan, tanpa jeda. Seperti detak jantung mesin.

Nicky merasakan darahnya mendidih. Rasa takutnya menguap, digantikan oleh amarah murni. Di depannya adalah orang yang bertanggung jawab atas kematian Kris. Orang yang membunuh Johan.

"WOY!"

Teriakan Nicky memecah keheningan digital itu. Gema suaranya memantul di tembok kosong.

Sosok di kursi roda itu tidak berhenti mengetik. Tidak kaget. Tidak menoleh.

"LO BUDEK, HAH?!"

Nicky melangkah maju, kakinya menghentak lantai keramik. Andhika mencoba menahan bahunya, tapi Nicky menepisnya kasar.

"Ini buat Johan, bangsat!"

Nicky menerjang maju. Dia mencengkeram sandaran kursi roda itu dan memutarnya paksa agar menghadap ke arah mereka. Kepalan tangan kanannya sudah melayang di udara, siap menghancurkan rahang orang itu.

"MATI LO—"

Tinju Nicky berhenti satu sentimeter dari wajah orang itu.

Nicky mematung.

Wajah di depannya... bukan wajah seorang pembunuh berdarah dingin. Itu wajah mayat hidup.

Bagas Satria—The Architect—terlihat lebih menyedihkan daripada gelandangan di kolong jembatan. Kulitnya abu-abu, menempel ketat di tengkorak wajahnya. Matanya cekung parah, dikelilingi lingkaran hitam legam yang bengkak. Bibirnya pecah-pecah berdarah.

Tapi yang paling mengerikan adalah tatapan matanya. Kosong. Hampa. Seperti boneka yang rohnya sudah dicabut.

Bagas menatap kepalan tangan Nicky tanpa rasa takut sedikitpun. Dia bahkan tidak berkedip.

"Kalian telat," suara Bagas terdengar serak, seperti gesekan dua batu kali. Dia terbatuk pelan, batuk kering yang menyakitkan.

"Harusnya kalian dateng sebelum jam enam. Sekarang..." Bagas melirik ke salah satu monitor di sebelahnya. "...dia udah bangun."

Nicky menurunkan tangannya perlahan. Rasa jijik dan bingung bercampur aduk. "Siapa yang bangun? Lo ngomong apa sih anjing? Lo tau temen gue mati gara-gara game sampah lo?!"

"Johan Setiawan. 17:12 WIB. Tertusuk besi konstruksi," potong Bagas datar. Dia menunjuk ke layar di sebelah kiri.

Di layar itu, terpampang jelas data log kematian Johan. Lengkap dengan koordinat GPS dan timestamp-nya.

"Gue liat semuanya," lanjut Bagas. "Gue liat Kris mati. Gue liat lo hampir mati di tol. Gue liat semuanya dari sini."

"KALO LO LIAT KENAPA LO DIEM AJA?!" Andhika maju, emosinya meledak. Dia mencengkeram kerah baju Bagas yang bau apek, mengangkat tubuh ringkih itu sedikit dari kursi rodanya.

"Lo nikmatin ini, hah?! Lo pikir nyawa orang mainan?!"

"Lepasin gue," desis Bagas. Tenaganya lemah, tapi wibawanya aneh. "Kalau lo bunuh gue sekarang, lo nggak bakal dapet kuncinya. Dan lo, Mas Speedrunner..." Bagas menatap Nicky. "...lo bakal mati jam 20:28 nanti malem. Sendirian."

Andhika menggeram, tapi Nicky memegang lengannya.

"Turunin, Dhik," kata Nicky dingin.

Andhika melepaskan cengkeramannya, membiarkan Bagas jatuh kembali ke kursi rodanya.

"Jelasin," tuntut Nicky. Dia berdiri menjulang di depan Bagas. "Gue kasih waktu satu menit sebelum gue bakar tempat ini sama lo sekalian. Kenapa lo bikin game ini? Kenapa ada timer kematian?"

Bagas tertawa kecil. Tawa yang kering dan miris. Dia memutar kursi rodanya kembali menghadap ke benteng monitor.

"Liat ini."

Bagas mengetikkan sesuatu. Command prompt muncul di layar utama yang paling besar.

[ACCESSING: ARCHIVE_RIKA_FINAL_EVIDENCE] [DECRYPTING...]

Layar itu berkedip, lalu menampilkan sebuah video. Kualitasnya buram, grainy, hitam putih. Rekaman CCTV.

Di video itu, terlihat sebuah ruang tengah villa mewah. Tanggal di pojok video menunjukkan dua tahun yang lalu.

Seorang gadis—Rika—terlihat sedang diseret paksa oleh seorang laki-laki muda.

Nicky menyipitkan mata. "Itu... Rika? Brand Ambassador yang meninggal overdosis itu?"

"Dia nggak overdosis," potong Bagas tajam. Jarinya menunjuk layar dengan gemetar. "Liat bajingannya."

Laki-laki di video itu berbalik menghadap kamera sekilas sambil tertawa. Wajahnya jelas.

Lihat selengkapnya