Night Shift: The Silent Hour

R. Rusandhy
Chapter #10

BAB 9: THE TANK"S SACRIFICE

Sabtu, 19:45 WIB Gang Belakang Glodok (The Gauntlet)

"Lari, Nick! Jangan seret kakinya!"

Teriakan Andhika terdengar samar di telinga Nicky yang berdengung.

Hujan badai belum berhenti. Justru makin gila. Air langit tumpah ruah, mengubah gang sempit di belakang komplek ruko itu menjadi sungai kecil berarus deras yang membawa sampah plastik dan bangkai tikus.

Nicky berlari terpincang-pincang. Kaki kanannya telanjang, cuma dibalut kaos kaki yang sudah sobek dan hitam kena aspal. Setiap langkah adalah siksaan. Kerikil tajam, pecahan beling, dan permukaan jalan yang kasar mengiris telapak kakinya tanpa ampun. Darah merembes, langsung tersapu air hujan.

"Sakit... bangsat..." desis Nicky, wajahnya meringis menahan nyeri.

Di sebelahnya, Kate memapah lengan Nicky. Gadis itu sendiri sudah berantakan. Rambut badainya lepek total, cardigan mahalnya robek di sana-sini, dan kakinya gemetar kelelahan. Tapi dia tidak melepaskan Nicky.

"Tahan, Nick. Dikit lagi. Warnetnya di seberang jalan raya!" kata Kate, suaranya parau.

Mereka bertiga seperti tikus got yang lari dari kejaran kucing raksasa.

Di belakang mereka, langit malam menyala oranye. Api dari ruko Bagas di lantai 3 sudah membesar, menjilat atap bangunan di sebelahnya. Sirine pemadam kebakaran terdengar meraung-raung di kejauhan, tapi terdengar tidak berdaya melawan macetnya Jakarta.

"Cepetan!" Andhika memimpin di depan.

Pria itu adalah mesin. Beast. Dia menendang tong sampah yang menghalangi jalan, menyingkirkan bambu steger yang rubuh dengan tangan kosong. Bahunya naik turun memompa oksigen, tapi langkahnya tetap kokoh.

Dia Tank tim ini. Dan dia tahu tugasnya.

Nicky melihat punggung lebar Andhika. Dia merasa kecil. Dia merasa tidak berguna.

"Dhik..." panggil Nicky lemah.

Andhika menoleh sekilas. Wajahnya keras, rahangnya mengatup rapat. "Simpen tenaga lo. Jangan banyak bacot."

Mereka sampai di ujung gang.

Jalan raya besar—Jalan Hayam Wuruk—terlihat di depan mata. Lampu-lampu kendaraan yang macet total terlihat seperti sungai cahaya merah dan putih.

Di seberang jalan, ada sebuah ruko dua lantai dengan papan nama neon yang berkedip-kedip suram: CYBERNET GAMING CAFE.

Itu Safe Zone-nya. Itu Extraction Point-nya.

"Itu warnetnya!" tunjuk Kate. Harapan menyala di matanya.

Tapi takdir, atau lebih tepatnya Rika, belum selesai bermain.

Antara gang tempat mereka berdiri dan jalan raya, terdapat sebuah gerbang besi geser (sliding gate) raksasa setinggi tiga meter. Gerbang keamanan komplek ruko.

Biasanya gerbang itu terbuka. Tapi malam ini, gerbang itu tertutup rapat.

Dan bukan cuma tertutup. Di depannya, sebuah tiang listrik beton miring parah akibat tertabrak truk (atau mungkin didorong oleh "sesuatu" yang tidak terlihat). Tiang itu menimpa mekanisme gerbang, membuat besi-besinya bengkok dan terkunci.

"Ah, sialan!" umpat Andhika. Dia berlari menerjang gerbang itu, mengguncangnya.

Klang! Klang!

Tidak bergerak.

"Terkunci!" teriak Andhika. Dia melihat ke atas. Di atas gerbang ada kawat berduri yang tajam. Nggak mungkin dipanjat, apalagi dengan kondisi Nicky yang pincang dan Kate yang lemah.

"Lewat mana lagi?!" panik Kate.

"Nggak ada jalan lain! Gang lain muternya jauh, satu kilo lebih!" jawab Nicky putus asa. Dia melihat jam tangannya yang retak.

20:05 WIB.

"Gue mati 23 menit lagi..." bisik Nicky. Wajahnya memutih. "Gue nggak bakal keburu muter."

Andhika diam sejenak. Dia melihat tiang beton yang menimpa gerbang itu. Lalu dia melihat celah kecil di antara ujung gerbang dan tembok. Celah itu tertutup, tapi rel-nya masih ada.

Kalau gerbang ini bisa digeser paksa melawan beban tiang beton itu... mungkin celahnya cukup buat orang kurus kayak Nicky dan Kate lewat.

Andhika menarik napas panjang. Dia melepas kemeja flanelnya, menyisakan kaos kutang putih yang basah mencetak otot-otot tubuhnya.

"Gue buka," kata Andhika datar.

"Gila lo? Itu beton, Dhik!" sergah Nicky.

"Gue buka," ulang Andhika, lebih tegas. Dia berjalan mendekati celah pertemuan gerbang.

Dia menyelipkan jari-jarinya yang besar ke sela-sela besi jeruji. Dia memasang kuda-kuda. Kakinya menancap kuat di aspal yang licin.

"Mundur," perintahnya.

"Hhh... Hhh..."

Andhika mulai menarik. Urat-urat di leher dan lengannya menonjol keluar seperti kabel baja. Wajahnya memerah padam.

KREEEET...

Suara besi beradu dengan beton terdengar memilukan. Gerbang itu bergerak. Satu sentimeter. Dua sentimeter.

Beban tiang listrik itu berton-ton. Secara logika fisika, ini mustahil. Tapi Andhika sedang menggunakan buff terakhir manusia: Adrenalin Kematian.

"TERUS, DHIK!" teriak Nicky.

Lihat selengkapnya