"Nilam enggak punya bapak...”
“Nilam enggak punya bapak...”
“Nilam anak haram..."
Suara-suara ejekan itu masih terngiang jelas di benak Nilam, begitu nyata seolah kejadian itu baru kemarin. Nilam tersentak bangun dari tidurnya. Napasnya tersengal seperti habis lari berkilo-kilo meter. Keringat membasahi keningnya. Mimpi buruk itu datang lagi. Nilam duduk sambil memegang dadanya yang terasa berdebar.
Setelah beberapa puluh detik diam, tangannya meraih segelas air yang selalu tersedia di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Air tersebut tandas dalam empat kali teguk. Nilam menyandarkan punggung dan kepalanya di headboard. Matanya terpejam sambil terus mengatur napas untuk menenangkan diri. Mimpi buruk itu datang dan pergi tanpa pernah bisa Nilam hindari.
Sudah lebih dari tiga dekade, tapi mengapa mimpi itu masih saja kerap menjadi tamu dalam tidurnya dan nyaris merenggut kewarasan Nilam. Andai dia tahu siapa lelaki yang sudah menanamkan benih dalam rahim ibunya, Nilam bertekad akan membuat hidup lelaki itu menderita. Sebuah penderitaan yang tak akan pernah dibayangkan oleh bajingan yang seharusnya dia panggil ayah, bapak, papa, atau apa pun.
Nilam memejamkan mata. Terbayang ingatan tentang Raras, ibunya, dan cerita pahit namun selalu disampaikan oleh ibunya dengan senyum.
Raras adalah perempuan yang, bagi sebagian orang di desanya, terlalu cantik untuk tinggal di tempat sekecil itu. Pipinya kemerahan alami, kulitnya bersih tanpa cela, dan matanya selalu tampak teduh, seperti menyimpan kesedihan yang belum diucapkan. Ia tinggal bersama ibunya yang sudah tua dan sedikit lumpuh di rumah panggung kayu sederhana, di pinggiran hutan yang dibelah jalan tanah.
Ayahnya sudah lama meninggal karena malaria, dan sejak itu Raras menjadi tulang punggung keluarga. Ia bekerja sebagai penenun, sesekali diminta menari saat ada perayaan atau tamu kehormatan datang ke desa.
Pada suatu musim penghujan yang hampir rampung, desa itu dipilih sebagai lokasi peluncuran proyek irigasi baru. Pemerintah daerah berjanji akan membuka lahan pertanian baru, mengairi sawah-sawah kering, dan memberi pelatihan modern kepada petani. Upacara penyambutan diadakan besar-besaran.
Penduduk desa diminta menyumbang waktu dan tenaga, menyiapkan tarian tradisional, musik, makanan. Dan di sanalah, di antara ratusan warga, hadir seorang pria yang akan mengubah hidup Raras selamanya.
Orang-orang memanggilnya Pak Jon. Usianya sekitar empat puluh, gagah, berperawakan tinggi, dan selalu tampak bersih dan rapi. Ia datang bersama rombongan pejabat kabupaten dan wartawan. Mengenakan batik lengan panjang dan sepatu mengilap, ia berdiri di panggung sambil tersenyum lebar, membagikan pidato-pidato manis tentang kemajuan desa, pembangunan, dan kesejahteraan rakyat.
Namun bagi Raras, Pak Jon bukanlah seorang pejabat. Ia adalah pria yang memandangnya dengan cara berbeda. Saat Raras menari dalam iringan gendang dan suling bambu, mata pria itu terus menatapnya. Tatapan itu membuat Raras gugup, membuat pipinya memerah, dan membuat kakinya gemetar ketika harus menyapa para tamu seusai pertunjukan.
"Siapa nama gadis penari itu?" tanya Pak Jon pada kepala desa di tengah makan siang.
"Raras, Pak. Anak Mak Yuni," jawab kepala desa. "Dia gadis baik, rajin. Sayang, hidupnya susah. Ayahnya sudah lama meninggal."
Pak Jon hanya mengangguk, tapi malam itu, sopirnya kembali ke rumah kepala desa dengan pesan, Pak Jon ingin bertemu Raras, empat mata, besok sore.
Pertemuan itu terjadi di pendopo rumah kepala desa. Raras datang dengan rambut disanggul sederhana, mengenakan kebaya tua milik ibunya. Tangannya dingin karena gugup. Tapi Jon menyambutnya dengan ramah.
Ia menyodorkan teh hangat dan menanyakan hal-hal sepele, "Kamu suka menari?" "Sudah lama tinggal di sini?" "Apa cita-citamu?" Dan di akhir percakapan itu, ia menyerahkan sehelai kain batik tulis dan sebuah buku catatan kecil.