Nilam

Mada Elliana
Chapter #2

BAB 2

Dinding ketegangan yang tak terlihat membentang di antara Nilam dan Tumpal Dongoran, tak seperti sepuluh tahun di bawah bimbingan Tumpal, atasan sekaligus guru dan orang yang Nilam anggap sebagai bapak.

Nilam menatapnya nanar di seberang meja kayu, suaranya sarat kekecewaan, "Bapak serius menghentikan kasus Teja? Tapi kenapa, Pak? Saya sudah mengumpulkan begitu banyak bukti yang mengarah pada kasus lain yang lebih besar, termasuk illegal logging!"

Tumpal menjawab singkat, sorot matanya tajam namun menyimpan kekhawatiran, "Iya. Kewajiban kita hanya mengungkap kasus kematian Teja. Dan itu sudah selesai. Kau tidak perlu terlibat begitu jauh."

"Bukan masalah terlibat atau tidak, Pak. Tapi ini kewajiban kita untuk mengungkap kebenaran. Kita tidak bisa menutup mata dengan semua ini," Nilam bersikeras.

"Siapa yang kau sebut sebagai kita, hmm?" Tumpal memandang Nilam tajam.

Salah satu sifat Nilam yang sering membuat Tumpal gusar adalah keras kepalanya. Menantunya itu tak akan berhenti sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan. Lima tahun sudah Nilam menyandang gelar Nyonya Barton Dongoran, menikah dengan putra sulung Tumpal. Ikatan keluarga itu seharusnya membuat Nilam lebih mengerti, tetapi justru membuatnya semakin berani.

"Maksud Bapak?" cecar Nilam.

"Kau tahu, dalam hidup ini, ada banyak hal yang tak bisa kita sentuh dan kita ganggu. Tak perlu ikut campur urusan orang lain jika tak diminta sama mereka. Sudah puluhan tahun aku jadi pengacara, harusnya kau paham kenapa aku bisa tetap bertahan. Aku tahu kapan harus berperang, tapi aku lebih tahu kapan harus berhenti. Kemenangan itu tak melulu diraih lewat perlawanan. Kadang mengalah dan mundur akan jauh lebih baik untuk semua pihak," Tumpal menjelaskan.

"Tapi kasus ini sudah jelas, Pak. Ada korupsi yang nilainya tidak main-main. Ada konspirasi tersembunyi yang sangat merugikan rakyat dan negara," Nilam mencoba meyakinkan.

"Kau kira aku tak tahu semuanya? Aku lebih tahu dan lebih paham dari kau," Tumpal membalas.

"Lalu, kenapa Bapak malah angkat tangan?"

"Aku tidak angkat tangan. Aku hanya mundur dari peperangan sebentar," jawab Tumpal.

"Dan membiarkan ketidakadilan merajalela?"

"Sekarang aku tanya, apa ada yang meminta kita untuk menghentikan ketidakadilan yang kau sebut sudah merajalela itu? Apa ada yang datang lalu memberikan laporan kalau dia mendapatkan perlakuan tidak adil dan dirugikan? Ada? Bawa ke sini kalau ada. Biar aku yang menanganinya langsung kasusnya," Tumpal menantang.

Nilam diam menciut. Memang, meski dia mampu mengumpulkan bukti-bukti tindak korupsi dan kesewenangan si konglomerat pemilik perkebunan karet itu, namun Nilam juga harus menerima kenyataan kalau tidak ada satu pun karyawan yang mengeluhkannya.

Lihat selengkapnya