"Apa dia setuju?" tanya Tumpal, yang sekarang sedang duduk berhadapan dengan Barton. Siang itu, Barton sengaja menyempatkan datang ke kantor Tumpal di waktu istirahat makan siang mereka, bukan hanya untuk berbincang biasa, tetapi untuk memastikan bahwa Nilam sudah benar-benar mundur dari kasus Teja yang ingin dituntaskannya.
Bukan hal yang mudah membelah kemacetan Depok – Sudirman di hari kerja. Namun, kekhawatiran yang menggerogoti pikiran Barton lebih besar dari sekadar perjalanan panjang itu. Dia bahkan membawa dua porsi makan siang yang dibelinya untuk mereka berdua.
"Harusnya istrimu itu setuju. Tapi kau tahu bagaimana dia. Bapak tidak berani menjamin dia mau menerima keputusan ini begitu saja," ujar Tumpal lirih, nada suaranya dipenuhi kekhawatiran yang jarang ia tunjukkan.
Tumpal kini duduk bersandar di sofa yang ada di tengah ruang kerjanya. Menghadapi Nilam membuatnya harus menguras sedikit energi akibat menahan emosi yang tak mampu dia luapkan. Dalam situasi seperti ini, sisi pemberontak Nilam bisa menjadi sangat merugikan bagi Tumpal.
Barton diam, menyingkirkan sisa-sisa makan siang mereka. Pikirannya sibuk merangkai kata. "Aku sudah bicara dengan Nilam. Dia akan mundur dari kantor Bapak. Satria Raja mengajak Nilam bergabung dengannya," ucap Barton akhirnya.
"Mau jadi apa dia di sana? Mau berpolitik?" tanya Tumpal, nada suanya menyiratkan kecemasan.
"Dari yang aku dengar, Satria membutuhkan Nilam untuk menjadi staf ahlinya. Tapi tidak resmi. Mungkin semacam penasihat pribadi Satria," jelas Barton.
Tumpal menghela napas. "Dengan kemampuan anak itu, aku yakin banyak yang mau merekrut dia. Kamu tahu, aku berat melepas istrimu. Dia paket komplit. Sulit mencari orang yang bisa bekerja seperti dia. Tapi sebagai bapak, aku tak punya pilihan lain. Aku sayang anak itu walaupun mungkin dia bukan menantuku. Masa depannya masih sangat panjang. Kamu pasti paham apa yang aku maksud," ujarnya sembari menepuk bahu Barton.
Tentu saja Barton paham.
Nilam yang berbeda dengan perempuan lain menjadi alasan mereka menikah. Bukan cinta yang mengikat mereka, melainkan sebuah perjanjian yang rumit. Perjanjian yang kini jadi belenggu.
"Aku menyetujui keputusan Nilam menerima tawaran Satria. Aku pikir, dia akan aman di sana. Kehidupan Satria tidak serumit Sudjono. Aku yakin, Satria bisa menjauhkan Nilam dari cengkraman Sudjono," kata Barton, suaranya mengandung tekad kuat.
"Asal kau tahu, pikiran itu yang langsung melintas di kepala Bapak kau ini waktu kemarin Nilam berniat melanjutkan penyelidikannya terhadap kasus Teja. Dia belum tahu kekejaman macam apa yang bisa dilakukan oleh Sudjono. Mudah-mudahan Nilam bisa menemukan hal baru bersama Satria," timpal Tumpal. "Ngomong-ngomong, perkembangan bisnismu bagaimana?"
Sejak kuliah, Barton mencoba peruntungan bisnis dengan membuka beberapa kafe. Dibantu modal besar dari kedua orang tuanya, membuat kafe miliknya berkembang lumayan cepat. Dia sudah membuka tiga cabang yang tersebar di Sentul, Kemang, dan Bantar Jati, serta sedang menyiapkan cabang di Bandung dan Bali.
"Sesuai rencana. Sejauh ini perkembangannya sangat bagus. Aku sedang membangun cabang di Bandung dan Bali," jawab Barton bangga.
"Kapan kau dan Nilam berencana punya anak? Masih menunda? Bapak dan mama cuma punya kau, Barton. Pada siapa lagi kami minta cucu," tanya Tumpal, nada suaranya berubah menuntut.
"Aku dan Nilam masih fokus ke karir kami, Pak," jawab Barton singkat.
"Tapi kalian harus ingat umur. Nilam sudah tidak muda lagi. Mau sampai kapan kalian terus mengejar karir? Tidak baik selalu menunda rezeki," desak Tumpal.
"Urusan itu, nanti aku bicarakan lagi dengan Nilam. Aku pamit dulu, Pak. Ada jadwal mengajar siang ini," kata Barton, memutus pembicaraan dengan alasan yang tak bisa dibantah Tumpal.
Masalah anak selalu saja berujung di jalan buntu. Bagaimana mungkin Barton bisa memberikan cucu kepada kedua orang tuanya kalau dia dan Nilam tak pernah sekali pun memikirkan tentang anak dalam pernikahan mereka?
"Jangan lupa weekend ini kau pulang ke rumah," Tumpal mengingatkan.
Sudah hampir tiga bulan Barton dan Nilam tidak mengunjunginya. Barton hanya memberikan kode oke lewat ibu jari dan telunjuknya. Melihat itu, Tumpal harus bersiap untuk kembali kecewa karena sudah bisa dipastikan anak dan menantunya tidak akan datang.