“Aku menemukannya, Tom.” Satria menyandarkan punggungnya di kursi. Kedua tangannya bertumpu di atas paha sambil memainkan bolpoint.
“Ini masih masalah yang sama? Belahan jiwa yang kamu yakini itu?”
Tommy yang duduk di seberang Satria sontak mengangkat kepalanya dari tumpukan dokumen di atas meja kerja Satria. Meja besar itu menjadi pembatas di antara keduanya.
“Bukan hanya keyakinanku. Tapi memang begitu adanya.” Satria membela diri.
“Sat, kita ini sudah umur berapa? Kamu harus ingat itu. Kamu juga sudah menikah dengan Mia. Memangnya dia bukan belahan jiwamu?” Tommy berargumen, alisnya berkerut.
“Tapi kamu juga pasti tahu apa yang aku cari selama ini.” Satria masih mempertahankan pendapatnya.
“Tahu. Aku tahu. Jawabanku masih sama seperti dulu. Kamu konyol kalau percaya ramalan orang tua itu. Abah Yusman, dengan semua petuah dan teka-tekinya, lebih mirip penyair yang berbicara metafora daripada peramal yang memberikan jawaban konkret. Dia hanya memberikanmu teka-teki yang kamu tafsirkan sesuka hati, Sat.”
“Kamu salah. Apa yang dikatakan Abah Yusman bukan omong kosong. Dia memang sudah lama menungguku di sana. Kabar yang dia sampaikan, semuanya tidak ada yang salah. Satu per satu sudah terbukti. Dia bilang akan ada tanda-tanda yang akan menuntunku, dan setiap tanda itu kini terasa begitu nyata.”
“Sat, mau sampai kapan kamu terobsesi sama ramalan enggak jelas itu? Kamu bisa seperti sekarang ya karena kerja kerasmu. Eh, jangan lupakan takdir Tuhan.”
“Aku bukan terobsesi. Kalau cuma obsesi, aku tidak perlu menikahi Mia. Tadinya, aku justru yakin kalau Mia adalah belahan jiwaku. Aku bahkan sudah bertekad untuk melupakan perkataan Abah Yusman. Aku berusaha meyakinkan diriku setiap pagi, melihat Mia yang sempurna di mata publik, seorang istri politisi ideal. Namun, ada kekosongan yang tidak pernah bisa terisi. Ketika bertemu dengan dia, hatiku tiba-tiba saja berkata bahwa dialah yang selama ini aku cari. Saat kami bicara, aku seperti sudah mengenalnya seumur hidupku. Rasanya seperti potongan teka-teki yang selama ini hilang, tiba-tiba pas pada tempatnya.”
“Kalau memang benar dia itu belahan jiwa yang kamu cari, lalu kamu mau apa? Menceraikan Mia lalu mengejarnya?” Tommy bertanya, nada suaranya berubah antara frustrasi dan rasa ingin tahu yang tak tertahankan.
“Dia sudah menikah.
“Hah?!” Tommy terperanjat, matanya membelalak tak percaya. Ini di luar dugaan terliarnya.
“Iya. Dia sudah menikah. Aku juga kenal dengan suaminya.”
“Kamu ...” Tommy meremas rambutnya, menatap Satria seolah melihat orang asing. “Ini benar-benar gila,” lenguhnya, terdengar lebih putus asa kali ini.
“Aku belum pernah merasa sehidup ini, Tom. Dia ada di dekatku. Semesta memanggilnya datang padaku.”
“Apa? Takdir macam apa ini? Siapa dia?” Tommy menyandarkan tubuhnya ke belakang, dokumen-dokumen di mejanya sudah sepenuhnya terlupakan.
“Nilam. Staf khusus yang direkomendasikan Wisnu.”
“Menantu Tumpal Dongoran?” cecar Tommy.
“Istri dari Barton Dongoran.”
“Gila. Kamu benar-benar gila, Sat.” Tommy menghela napas panjang, mencoba memproses informasi yang baru saja ia terima. Fakta ini jauh lebih rumit daripada sekadar obsesi Satria.
“Kalau bukan takdir, apa namanya?” Satria bertanya balik, matanya memancarkan keyakinan yang tak tergoyahkan.
“Takdir macam apa yang kamu maksud? Itu bukan takdir. Tapi godaan setan. Sudah, kamu lupakan saja urusan belahan jiwa enggak penting ini. Kita bisa memilih hidup yang akan kita jalani. Ingat Sat, kita sudah sejauh ini. Bertahun-tahun kamu membangun citra baik dan bekerja keras. Sebagai sahabat, aku hanya mengingatkan jangan sampai kamu tergelincir dan jatuh gara-gara sebutir kerikil.”
“Aku tahu, Tom. Tapi aku juga tidak bisa menafikan apa yang kurasakan. Logika bisa menolak, hati enggak bisa.”
“Sudahlah, lupakan. Lebih baik kita fokus dengan apa yang sudah kita bangun selama ini. Pernikahanmu sama Mia sudah nyaris sempurna. Masalah anak, tinggal menunggu waktu. Masyarakat juga tahu, anak adalah titipan. Selama ini publik menganggap bahwa kalian memang belum diberikan rezeki berupa anak. Kondisi itu cukup bagus untuk menarik simpati mereka.”
“Kenyataannya enggak begitu. Kamu lebih tahu dari siapa pun, Tom. Sejak awal pernikahan, kami tahu tidak ada anak yang akan datang. Itu adalah kesepakatan yang kami buat demi kepentingan karier dan citra.”
“Apa susahnya bertahan lebih lama lagi? Selama ini kalian tetap baik-baik saja kan?”
“Siapa bilang? Kami tidak pernah baik-baik saja. Di balik tirai kemewahan dan senyum palsu di depan kamera, rumah kami terasa seperti hotel. Dingin, sepi, tanpa kehangatan yang sesungguhnya. Tom, kamu enggak usah mendoktrin diri sendiri dengan meyakini kalau aku dan Mia tidak ada masalah.”