NINA

Ira Madan
Chapter #1

YIN YANG

“Kamu dipecat!”

Pekikan suara keras itu kini menguap, menghilang, mengikuti bayangan seseorang berparfum mewah dari salah satu ruangan perusahaan raksasa di bidang fesyen wanita, PT Glowing Now Department Store Tbk, di ibu kota. Udara di koridor terasa menipis setelahnya, seolah keberadaan wanita itu menyedot semua oksigen yang ada, meninggalkan kekosongan yang dingin.

Seorang pria paruh baya, Pak Surya namanya, sibuk membersihkan kepingan pecahan gelas yang baru saja dibenturkan ke dinding. Gelas itu sebelumnya mungkin berisi air bening, kini hanya serpihan-serpihan tajam yang memantulkan cahaya lampu neon. Ia mengusap mukanya dengan handuk kecil yang ia genggam erat, seolah menyeka bukan hanya keringat tapi juga rasa malu dan kekecewaan. Lalu, ia membawa semua kepingan yang berserakan di lantai ke luar ruangan dengan langkah gontai, bahunya sedikit merosot.

Dengan tatapan tajam yang bisa membekukan kutub, ia berkata, “Bersihkan lantai itu!” Kalimatnya menusuk, meninggalkan getaran tak menyenangkan di udara. Dia sudah pergi, tetapi perintah terakhirnya masih dilaksanakan dengan patuh, seolah ada tali tak terlihat yang mengikat kepatuhan.

Dia adalah Dee. Atasan yang paling dibenci sebagian besar karyawan di perusahaan itu. Statusnya masih gadis, padahal usianya sudah kepala tiga. Sikapnya egois, tak punya perasaan, perfeksionis, tidak pernah bersahabat—dan masih banyak lagi daftar ‘keajaiban’ lain yang biasa diceritakan para karyawan. Tapi, prestasinya segudang, membuat perusahaan maju dan mampu mempertahankan angka gaji yang memuaskan bagi para karyawan. Oleh karena itu, dia termaafkan. Ya, entah bagaimana, selalu termaafkan, seperti peraturan tak tertulis di perusahaan ini.

“Pak Surya, Bapak tidak apa-apa?” Tiara menyambut pria itu di luar ruangan. Kedua matanya menatap iba lelaki di depannya, garis keriput di sudut matanya terlihat jelas, memancarkan lelah yang tak terucap. Dalam hati, Tiara mengutuk sikap Dee. ‘Harusnya wajah bosnya saja yang jadi berkeping-keping seperti pecahan kaca di tangan Pak Surya. Atau setidaknya, bibirnya pecah-pecah biar nggak gampang ngomong pedas.’

“Tidak apa-apa, Non.” Tangan Surya masih bergetar, bahkan saat ia berusaha keras meredakan gejolaknya. Ia tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip sebuah topeng kesabaran, berusaha meyakinkan diri sendiri dan orang di depannya.

“Bapak dipecat, ya, Pak?” tanya Tiara, mengikuti langkah Surya yang tertatih. Tak mendapat jawaban, langkah Tiara terhenti. Hatinya masih tidak terima dengan sikap bosnya, Yang Mulia Ibu Dee. Tiara bisa merasakan bara api kecil menyala di dadanya, bara api yang sudah lama bersarang setiap kali nama Dee disebut.

“Bapak yang salah,” jawab Surya menunduk, suaranya terdengar samar karena sudah berada beberapa langkah di depan Tiara.

‘Dasar Bos itu! Menyebalkan! Sok sempurna!’ Tiara benci sekali dengan Dee. Kesimpulan di kamusnya masih sama dari dulu hingga saat ini: Bosnya baru akan berubah jika menikah dengan Pak Ustaz ahli rukiah. Dee itu fix perlu penyegaran akhlak, mungkin perlu ritual tujuh sumur dan mandi kembang tengah malam.

“Sabar, ya, Pak,” kata Tiara menenangkan. Hanya ucapan itu yang bisa Tiara sumbangkan atas apa yang dialami Surya hari ini. ‘Kasihan sekali,’ pikir Tiara murung, membayangkan betapa tidak adilnya dunia ini.

“Ibu Dee itu sudah kelewatan.” Tiara menarik napasnya, terasa sesak di dalam dada. Ia menyilangkan tangan, gestur pertahanan diri dari kekesalan yang sudah lama ia pendam. Sudah sejak lama ia membatin kesal untuk banyak hal tentang bosnya, mulai dari caranya berjalan, nada bicaranya, bahkan cara Dee memegang pulpen pun bisa membuat Tiara jengkel.

“Sudahlah, kembali bekerja. Nanti, malah kamu yang kena sembur,” usul Romi, muncul tiba-tiba sambil melintas membawa secangkir kopi mengepul. Suaranya terdengar datar, mungkin sudah terbiasa dengan drama yang berlangsung di kantor ini.

“Minggu ini, sudah tiga karyawan yang dipecat secara sepihak!” Tiara berjalan cepat mendekat dan tanpa basa-basi merebut kopi yang dipegang Romi, kemudian kembali duduk di depan meja kerjanya. Aroma kopi langsung memenuhi indranya, sedikit meredakan gejolak di hatinya.

“Dan tiga karyawan itu masih bekerja di sini setelah menghadap, memohon ampun kepada Ibu Dee. Lihat saja, Pak Surya juga pasti masih mengantarkan kopi ke ruangan itu, paling lama lusa. Dengarkan aku, apa pun pembelaanmu, itu tidak ada artinya sama sekali. Ibu Dee itu Presiden Komisaris Independen di perusahaan raksasa ini. Pasal utama yang harus dihafal di sini adalah: Ibu Dee tidak pernah salah,” jelas Romi, merebut kembali kopi yang sudah diseruput Tiara. Tangannya gesit, seolah sudah hapal kebiasaan Tiara.

“Galak begitu, pantas belum menikah. Siapa yang mau, coba?” ketus Tiara dengan suara pelan. Pelan sekali. Mungkin hanya Romi dan tuhan yang mendengarnya. Kariernya akan berakhir jika ucapannya barusan sampai ke telinga Dee. Mungkin ia akan dipecat, lalu di-blacklist dari seluruh perusahaan di dunia.

“Saya yang mau!” Han meletakkan kopi hangat di atas meja Tiara. Pria itu tersenyum tipis, matanya berbinar. Ternyata ucapannya terdengar juga, tetapi tidak mengapa karena pria yang mendengarkan itu adalah Han. Satu-satunya bintang yang bercahaya di hati Tiara, yang mampu mengubah langit kelabu menjadi pelangi unicorn.

“Mas Han!” Raut wajah Tiara berubah sumringah seketika, kontras dengan ekspresi kesal sebelumnya. Ia tersenyum senang, senyum yang membuat sudut matanya berkerut manis. Belakangan langitnya menjadi kelabu didera rindu. Sudahlah pekerjaannya menumpuk, bosnya mengamuk, ditambah lagi suplemen hatinya pergi ke Negeri Datuk.

“Kapan Mas Han kembali dari Malaysia?” Tiara tersenyum, dan semua giginya pasti akan berkata hadir jika diabsen satu per satu. Ia menatap Han dengan mata berbinar, seolah Han adalah jawaban dari semua doanya yang belum terkabul.

“Kemarin,” jawab Han santai, pandangannya tak lepas dari wajah Tiara. Perasaannya hangat memandang wajah Tiara, seperti secangkir kopi hangat yang baru saja ia bawa. Ada semacam kedamaian yang ia temukan di sana.

“Loh, kok tidak memberi kabar?” Pertanyaan itu mengandung protes yang manja. Ia merasa tidak terima jika penantiannya selama dua minggu berakhir seperti ini. Seharusnya ia menyambut kedatangan Han dengan debaran rindu yang romantis di bandara, dengan spanduk dan confetti. Lalu, saat akhirnya Han tiba, ia diberikan pelukan hangat yang membuat dunia berhenti berputar, lalu… lalu… ia tak berani melanjutkan fantasi liarnya.

Alis Han terangkat, ekspresi geli terpancar di wajahnya. “Memangnya kamu ini istriku? Harus memberi kabar segala!”

Layaknya gadis kecil yang sedang berpura-pura cemberut, Tiara kadung menyukai segala bentuk penolakan dari Han. Penolakan itu selalu dihiasi senyum tipis yang membuat Tiara gemas. “Lah, kan, Tiara memang calon istri Mas Han. Istri salehah yang akan mendampingi, menjaga, dan menyayangi Mas Han hingga kita tua dan menutup mata.” Suaranya disetel manja, dengan sedikit nada merengek yang menggemaskan. Bulu kuduk Romi berdiri jika Tiara sudah berubah menjadi karakter kartun yang terlalu menggelikan. Saat ini, Ia ingin menghilang saja dari muka bumi.

Lihat selengkapnya