NINA

Ira Madan
Chapter #2

Trik Membuat Lelaki Jatuh Hati

“Waalaikumsalam, Tiara!” Han menjawab ponselnya. Suaranya terdengar jernih, seperti melodi yang dinantikan.

“Tebak Tiara di mana, Mas?” Hati Tiara selalu menjadi baik jika sudah mendengar suara Han. Itu terlihat jelas dari bibirnya yang tak kunjung lepas menggantung senyuman, bahkan sampai nanti paska telepon itu ditutup, ia pasti masih tersenyum sendiri seperti orang gila. Sensasi ringan seperti gelembung soda memenuhi dadanya.

“Di rumah saya, ‘kan?” tebak Han dengan sangat mudah. Sebuah senyum geli tersungging di bibirnya. Ia hapal sekali dengan tingkah Tiara selama bertahun-tahun. Gadis itu tidak pernah menyerah, selalu beredar di sekitar Han dan juga keluarganya. Tidak peduli, meski Han lebih sering mengabaikannya, Tiara tetap ada, setia seperti bayangan.

“Loh, kok tahu?” Antara polos dan bodoh, Tiara membuktikan bahwa cinta itu berbahaya bagi nutrisi otak. Mungkin kadar hormon kebahagiaan yang berlebihan telah mengikis sedikit kemampuan logikanya.

“Tiara, kamu itu hampir setiap akhir pekan ke rumah saya!” Tawa kecil Han muncul, renyah dan menenangkan.

Yang ditertawakan biasa saja. Malah, Tiara masih cengar-cengir tidak jelas. “Haha, iya juga.” Tawa itu terdengar garing, nyaris seperti suara daun kering terinjak.

“Saya sudah jalan menuju pulang.” Han mencoba memberi hadiah dalam bentuk ketenangan batin. Sebuah informasi singkat yang berhasil memicu letupan kecil kebahagiaan. Tiara melompat kecil kegirangan, seperti anak kecil yang baru saja menerima permen.

“Mas, Tiara buru-buru. Soalnya nenek minta jemput di bandara. Enggak apa-apa kan kalau enggak ketemu Tiara?” Entah ini bisa dikatakan sistem tarik ulur sesuai dengan konsep yang tertulis di buku pegangan wajib Tiara, Trik Membuat Lelaki Jatuh Hati. Tiara berusaha membuat Han klepek-klepek sesuai trik yang dibacanya. Ia menunggu dengan napas tertahan, seperti penonton yang menanti plot twist sebuah film.

“Enggak apa-apa,” jawab Han cepat dan santai, tanpa jeda yang diharapkan Tiara.

“Kok jawabannya begitu!” Trik di buku itu baru saja membuatnya kecewa. Jelas yang salah adalah penulis buku itu. Dasar penulis yang bukunya unfaedah, pikir Tiara masam.

“Loh, jadi harus bagaimana?” tanya Han geli. Ia berjalan sambil tersenyum, membayangkan ekspresi cemberut Tiara. Ada-ada saja gadis ini. Biarpun begitu, tingkah lucunya sering membuat hari-hari Han menjadi lebih berwarna, seperti kemeja putih yang disiram cat air. Ia merasa terhibur dikejar-kejar oleh seorang gadis yang begitu lugu.

“Katakan, tunggu sebentar, lah! Mau Mas temani, lah! Atau apalah!” rengek Tiara. Bibirnya maju beberapa sentimeter. Tangannya sudah terlipat di dada untuk mengurangi rasa kesal yang menggelegak. Andai ia tahu trik itu tidak akan berhasil, ia tidak akan berpura-pura menjemput neneknya ke bandara. Nenek siapa yang mau dia jemput? Nenek dari kedua orang tuanya sudah tiada. Ia bahkan tak ingat wajah mereka.

“Terlalu kekanak-kanakan….” Han menahan tawanya. Lucu sekali gadis ini, bagai pertunjukan komedi tunggal yang tak pernah membosankan. Han juga tahu Tiara sedang berdusta. Mana mungkin Han tidak hapal silsilah keluarga inti Tiara yang acap kali dipersentasekan, meski tidak diminta. Tiara adalah buku terbuka baginya, walau kadang suka menulis cerita fiksi tentang dirinya sendiri.

“Tuh, kan Bu, Mas Han enggak peka.” Tiara merengek kepada Ibu Han, Aminah, yang sedang sibuk di dapur.

Aminah mengusap kepala Tiara lembut. Sebuah potongan kue hangat diletakkan di depan Tiara. Rasa kesal memang memenuhi dada Tiara, tetapi tidak di bagian perutnya. Kue itu lenyap dalam sekian kedipan mata, seolah tersedot ke dalam dimensi lain.

“Sudah dulu!” Han hampir menutup pembicaraan tersebut.

“Tunggu, Mas!” cegah Tiara. Ada hal urgent yang harus ia sampaikan, sebuah rahasia penting yang tak bisa menunggu. “Mi rebus yang Mas buat, sudah Tiara makan dengan baik. Rasanya enak. Terima kasih, ya, Mas.” Itulah hal urgent yang dimaksudkan, sebuah laporan tulus dari seorang penikmat mi instan.

“Sama-sama, Tiara,” balas Han, suaranya lembut, lalu benar-benar mematikan sambungan telepon.

 

“Anda mencari saya?” tanya seorang wanita tua, kisaran usia lima puluh tahunan, ketika bergabung duduk di kursi ruang tunggu sebuah kantor dinas pariwisata. Matanya menatap Han dengan sorot menyelidik. “Sepertinya saya tidak mengenal Anda,” gumam wanita itu, lebih kepada dirinya sendiri.

Lihat selengkapnya