NINA

Ira Madan
Chapter #3

MIE REBUS SPESIAL

Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Lambung Dee riuh rendah seolah tengah bergemuruh menyambut genderang perang. Lapar sekali. Terakhir dia makan adalah tadi siang, sebuah sandwich yang nyaris tak ia rasakan rasanya. Kekosongan menggerogoti, bukan hanya perutnya, tetapi juga sisa-sisa energi di tubuhnya.

Mi Rebus Spesial untuk Dee

Sebuah stiker memo ditempelkan lekat di tutup rantang hijau di atas meja. Tulisan tangan Han tertera jelas: "Mi Rebus Spesial untuk Dee. Selamat ulang tahun!"

Tanpa pikir panjang, Dee langsung membuka rantangnya. Uap hangat mengepul, membawa aroma bumbu yang kaya dan menggiurkan. Ia melahap perlahan mi rebus tersebut.

“Hmm…,” gumam Dee menaikkan alis, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya, merasa puas atas cita rasa masakan tersebut. Ini bukan sekadar mi rebus biasa. Ada sentuhan yang berbeda, sebuah kehangatan yang merambat di lidah hingga ke perutnya. Ia terus melahapnya hingga tidak bersisa walau hanya sebatang toge. Mangkuk itu bersih mengilap tanpa noda, seolah tak pernah ada mi di sana.

Malam itu, Dee lama terduduk di kursi, menatap meja makannya yang kini kosong. Entah apa yang ia pikirkan. Makanan buatan Han sudah sejak tadi habis. Namun, ia masih juga memutar-mutar sendoknya yang kini dingin. Begitulah Dee, ia memiliki ritual sendiri sebelum beranjak istirahat. Contohnya saja, menikmati rasa khawatir tentang masa depan yang tak pasti, mengingat-ingat kembali kesalahan beberapa karyawan perusahaan yang nyaris sempurna, lalu sibuk dengan alur pemikirannya pribadi tentang konspirasi alam semesta atau bagaimana cara memecahkan masalah kuantum di sela-sela laporan keuangan.

“Iya, halo?” Dee mengangkat sebuah panggilan dari telepon genggamnya. Nada bicaranya tetap datar, tak menunjukkan emosi berarti.

Dee terdiam. Lima menit berjalan sampai akhirnya panggilan tersebut ia matikan tanpa sepatah kata pun. Sebuah kesunyian yang tebal mengikuti di balik keputusan itu. Dee kemudian menggeliat merentangkan tangannya, meregangkan otot-otot yang kaku karena seharian berpikir. Lalu, ia beranjak meninggalkan meja, mematikan lampu, dan berjalan perlahan di anak tangga menuju kamar tidur mewah di rumah besar miliknya. Di mana, penghuninya hanya dia sendiri. Semua pembantu, tukang kebun, hingga sopir pun ia suruh kerja harian. Dee adalah simbol penyendiri, sebuah istana pribadi yang dijaga rapat. Bahkan, seekor kucing pun enggan ia jadikan teman, khawatir kehadirannya akan mengusik kesempurnaan.

“Maaf!” kata Dee berbicara sendiri saat sadar telepon genggamnya berdering lagi. Ia tidak mengangkatnya, tetapi langsung memadamkannya. Sebuah keputusan tegas, seperti memutus koneksi dengan dunia luar. Dee lantas rubuh di atas sebuah kasur besar yang sangat empuk dan nyaman, seolah seluruh bebannya larut dalam kelembutan bantal.

Itu panggilan dari Baim. Putra sulung dari Menteri Perdagangan Republik Indonesia saat ini. Baim adalah salah satu dari puluhan pria yang mencoba peruntungannya dengan hati Dee. Sayang, sampai malam itu, tidak ada juga pria yang berhasil menembus benteng pertahanannya. Dee seolah tidak pernah memikirkan makna cinta, apalagi sebuah pernikahan. Baginya, karier adalah pasangan yang paling ideal, sebuah komitmen abadi yang tak akan pernah mengkhianatinya.

Air mata Dee menetes di bantal, sebuah tetesan yang kontras dengan kekuatannya yang selama ini ia tunjukkan. Lalu ia pun bergumam sendiri, “Akan kubuat mereka menyesal,” lirihnya sesaat setelah lama tertegun. Tiba-tiba saja kenangan menyakitkan dari masa lalu kembali di pikiran, bagai film lama yang diputar ulang tanpa bisa dihentikan. Masa-masa di mana kedua orang tuanya semakin sering bertengkar hebat, suara-suara yang mengoyak ketenangan masa kecilnya. Siapa yang menyangka kejadian puluhan tahun yang lalu masih terasa menyakitkan, meninggalkan bekas yang tak terhapuskan?

Ibunya wafat, dan ayahnya, di hari paling kelabu itu, memperkenalkannya dengan seorang wanita yang orang-orang sebut sebagai penyebab pertengkaran kedua orang tuanya sekaligus penyebab kematian ibunya. Sebuah ironi yang kejam.

Wanita yang sangat diingat Dee di dalam kepalanya. Tidak hanya wajah, tetapi juga bau parfum yang pertama kali wanita itu pakai saat menjabat tangannya. Wangi yang sampai kini masih bisa ia cium dalam benaknya. Wanita yang terlihat di foto profil Kirana di berbagai media sosial bersama dengan Ayah kandungnya. Sebuah kepingan puzzle yang kini membentuk gambaran yang utuh dan menyakitkan.

Tiba-tiba, kenangan itu kembali. Bukan sekadar kenangan, melainkan sebuah film yang diputar ulang dengan suara yang sangat keras di dalam kepalanya.. Itu adalah pertengkaran terakhir kedua orang tuanya. Dee kecil, yang bersembunyi di balik sofa, mendengar setiap kata yang menghancurkan. Setiap kali ayahnya berteriak, hatinya terasa retak. Dan semua itu berakhir di hari paling kelabu itu, di pemakaman ibunya.

Ayahnya, yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi sumber luka. Di momen paling rapuh, ayahnya datang dengan seorang wanita baru, yang orang-orang bisikkan sebagai penyebab perpecahan. Ayahnya berjanji akan memberikan yang terbaik untuk Dee, lalu di antara tangis penyesalan, membisikkan kalimat yang mengiris hati, "Saat dewasa kau 'kan mengerti, Nina..." Tapi Dee tidak pernah mengerti. Ia hanya mengerti bahwa ia tidak akan pernah membiarkan dirinya menjadi lemah seperti ibunya. Ia juga benci dengan nama Nina. Nama panggilan yang diberikan Ayahnya saat kecil karena dirinya paling suka dinyanyikan lagu Nina Bobok oleh sang Ayah.

Ia, membiarkan tubuhnya kedinginan. Dingin. Bukan karena suhu ruangan, melainkan dari lapisan baja yang kini ia kenakan. Benteng itu tidak lagi berada di luar dirinya, tetapi menyatu di dalam, menjadi seragam perang yang ia kenakan setiap hari. Perisai yang memantulkan setiap janji manis, setiap perhatian tulus, dan setiap niat baik yang datang. Begitulah cara Dee menjaga dirinya. Bukan untuk menaklukkan dunia, melainkan agar dunia tidak bisa lagi menyentuh dan mengoyak hati yang sudah pernah terkoyak hingga tak bersisa.

Lihat selengkapnya