NINA

Ira Madan
Chapter #4

Dee Lestari

Lantai delapan PT Glowing Now Department Store Tbk. Udara di sana selalu terasa sedikit berbeda, lebih hening, seolah memuat konsentrasi pikiran yang begitu pekat.

Sudah hampir satu jam lebih, Dee berdiam diri di ruang kerjanya. Yang ia kerjakan adalah mempelajari penguasaan marketing digital terkini, menelusuri algoritma dan tren yang bergerak secepat kilat. Tidak lama kemudian, ia jenuh. Sebuah kekosongan samar muncul di benaknya, mungkin karena layar monitor yang terlalu statis. Iseng, jemarinya menghentak tuts komputer untuk masuk ke dalam file galeri foto.

Dee Lestari.

Itu kata sandinya. Sebuah nama yang begitu lengkap, namun terasa asing di lidahnya. Kedua orang tuanya yang memberi nama itu. Namun, sejak kepergian Roya, Ibunya, dari dunia ini, Dee tidak pernah memperkenalkan dirinya dengan nama selengkap itu. “Dee,” itulah nama yang diamininya, sebuah perisai yang ia kenakan untuk melindungi diri dari bayang-bayang masa lalu.

“Papamu itu sudah gila, ya? Beraninya dia membawa perempuan simpanannya ke acara berkabung,” ujar salah seorang sanak saudara dengan kesal, suaranya menusuk bagai pecahan kaca. “Harusnya dia tidak membawanya.” Wajah-wajah kesal mereka masih terekam dengan baik di kepala Dee, seperti foto lama yang tak bisa dihapus, meski ia sudah berusaha keras.

Saat itu Dee belum terlalu mengerti dengan istilah perempuan simpanan. Yang ia tahu, wanita yang dimaksudkan itu sangat ramah pada awalnya, senyumnya hangat, namun menyimpan racun yang mematikan.

Anggabaya, Ayah kandungnya, ternyata sudah menikah lagi, jauh sebelum kejadian mengenaskan itu terjadi. Roya meninggal di sebuah kecelakaan pesawat. Hampir seluruh pihak mengutuk Anggabaya dikarenakan pernikahan sirinya, menganggapnya tidak berperasaan. Tetapi Nina tidak bisa memberi respons apa-apa selain diam, bibirnya terkunci, jiwanya terguncang.

Saat Dee beranjak dewasa, ia memilih untuk bersekolah di luar negeri. Ia bertekad pergi menjauh dari orang terdekatnya dan belajar untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dengan caranya, sebuah upaya untuk memulihkan diri dari luka yang menganga.

Dee mendapatkan warisan terbesar dari kekayaan Roya. Bisa dikatakan, Roya seperti sudah mengetahui gelagat Anggabaya, lalu menyerahkan semua hak kekayaan kepada anak semata wayangnya. Anehnya, Anggabaya tidak keberatan. Ia bahkan menangis memeluk Dee saat Dee memutuskan untuk pergi ke luar negeri. Dee sangat membenci semua gunjingan orang tentang Anggabaya. Namun, sayang, semua gunjingan itu masuk akal, seperti potongan puzzle yang saling melengkapi dan membentuk gambaran pahit.

**

“Kopi, Bu,” kata seorang Office Boy saat menaruh cangkir antik berwarna coklat muda di meja Dee. Aromanya memenuhi ruangan, namun Dee tak bergeming. Seperti biasa, Dee enggan menjawab. Kali ini pandangannya berhambur ke luar kaca gedung, menembus cakrawala kota yang sibol.

“Permisi, Bu.” Ia menundukkan badannya saat berjalan ke luar ruangan, lalu menutup pintu ruangan Dee dengan sangat hati-hati, seolah takut mengganggu konsentrasi Dewi yang sedang bertapa.

“Ibu ada?” tanya Han, suaranya sedikit tergesa.

“Ada, Pak,” jawab OB yang baru tiga detik keluar dari ruangan, wajahnya masih sedikit tegang.

“Oh, terima kasih,” ujar Han saat sudah hampir masuk ke dalam ruangan.

Pintu itu ditutup dengan suara gedebuk. Si OB tadi memajukan muka dan menaikkan bahunya spontan saat mendengar pintu Dee tertubruk saat ditutup, lalu berjalan cepat dan berharap segera menghilang agar tidak terkena masalah. Han, di sisi lain, masuk dengan langkah santai, seolah suara itu hanyalah musik latar yang biasa.

“Dee, kita ada proyek baru.”

“Hmm….” Gumaman Dee terdengar samar, nyaris seperti embusan angin.

“Hei, baca dulu proposalnya! Aku yakin kerja sama ini adalah proyek brilian.” Han mencoba menarik perhatian, mendekat ke arah sofa tempat Dee duduk.

“Letakkan saja di sana!” Dee menunjuk mejanya tanpa menoleh, tetap tak mau beranjak dari sofa mewah di depan kaca gedung. Matanya terpaku pada sesuatu di luar.

“Dee!” Nada suara Han mulai meninggi, terselip sedikit frustrasi.

“Hmm….” Dee tetap tak bergeming. Pandangan Dee tetap kosong ke arah jendela kaca, seolah sedang mencari jawaban di hamparan langit Jakarta.

“Tawaran Mr. Fernandes tentang saham itu apakah sudah kamu putuskan?” Han mencoba lagi, sedikit mencondongkan tubuh, berusaha menangkap sorot mata Dee.

Dee diam saja.

Han mulai kesal. “Dee!” Dia memperhatikan wajah Dee, ada guratan kesedihan tipis yang terpancar di sana, samar, nyaris tak terlihat.

Dee masih diam, tetapi kali ini, ia mengarahkan tangannya ke pintu keluar, sebuah isyarat tanpa kata yang jelas. Han menarik napasnya dalam, lalu mengeluarkannya saat berjalan meninggalkan Dee. Ada rasa tak berdaya yang sedikit menyesap. Sekilas, Han melihat benda yang berada di depan Dee—layar laptop. Ada kumpulan foto gadis kecil di sana, ada juga foto keluarga Dee saat ia masih balita. Sepertinya bukan hanya pekerjaan yang membuat Dee terpaku.

Han, lalu keluar menuju meja kerjanya tanpa memikirkan apa-apa lagi tentang Dee. Pikirannya sudah beralih pada tumpukan pekerjaan yang menunggu.

**

“Pagi, Mas!” Senyum Tiara menyambut, cerah seperti matahari pagi.

“Pagi.” Han menjawab ramah, membalas senyuman itu dengan tulus.

“Ini aku buatkan teh spesial untuk Mas Han.” Sebuah cangkir teh mengepul diletakkan di mejanya.

“Terima kasih, Tiara.” Han menyesap teh itu, hangatnya menjalar ke seluruh tubuh.

“Mas mau roti?” tawar Tiara saat teh sudah diseruput oleh Han.

“Hmm, boleh.” Han memandang Tiara yang begitu penuh perhatian.

Wait, ya!” Tiara berseru, suaranya ceria.

Okay!” Han memandangi Tiara yang berjalan menjauh darinya, lantas berpikir sendiri, apa yang sebenarnya kurang dari Tiara? Orangnya manis, pintar, baik, dan yang terpenting adalah Ibu sangat menyukainya. Seharusnya itu sudah cukup untuk membuat Han luluh menerima cintanya, lalu segera datang melamar ke rumahnya. Namun, nyatanya tidak. Han mengakui ada rasa nyaman dan menyenangkan di sekitar Tiara, seperti berada di bawah payung saat hujan. Itu saja.

Lihat selengkapnya