NINA

Ira Madan
Chapter #5

PASTI HANYA MIMPI

“Begitu ceritanya, Ma….” Tiara mendongengkan kisah pangeran bernama Han yang gugup dan salah tingkah di depan tuan putri yang bernama Tiara. Dirinya sendiri. Mata Tiara berbinar, setiap kata terucap dengan keyakinan penuh, seolah ia adalah satu-satunya saksi mata di dunia ini.

“Syukurlah kalau begitu, Mama senang mendengarnya.” Aminah memaksakan diri untuk tersenyum lebar. Rasanya, ia ingin sekali percaya dengan kisah Tiara, tetapi dia lebih kenal dengan putranya.

Kisah itu, jelas saja fiksi bergenre romansa. Semakin Aminah ingin percaya, semakin ia kasihan kepada Tiara. Di dalam hatinya, ia ingin berkata, ‘Han gugup bukan dikarenakan olehmu, Sayang. Bisa dipastikan itu bukan. Percayalah pada Mama yang sudah mengenal anak Mama selama puluhan tahun.’

“Tiara boleh bermalam di sini ‘kan, Ma?” Tiara ingin mencoba gladi kotor sebagai istri yang menunggu suaminya pulang kerja lembur. Uh, romantis sekali. Lagi pula tidak ada yang menunggunya pulang di apartemen. Ia tinggal sendiri, dikelilingi sunyi yang kadang terasa terlalu pekat.

“Tentu boleh, sayang!” Kali ini, senyum lebar Aminah adalah tulus, merekah seperti bunga di musim semi. Ia selalu senang jika kandidat calon menantu terfavoritnya memutuskan untuk berlama-lama berkunjung. Apalagi, sampai menginap. Di kepalanya sudah terbayang momentum bangun pagi yang menyenangkan dengan obrolan waras bersama gadis cantik sambil menyiapkan sarapan, sebuah angan-angan tentang keluarga yang ia dambakan.

Belakangan Aminah merasa bahwa dirinya sudah jauh dari kata waras. Mungkin hal ini dikarenakan kurangnya durasi komunikasi dengan empat manusia berjenis laki-laki di sekitarnya. Suaminya mendapat tugas di luar negeri selama enam bulan ke depan. Jadi, waktu dan jarak menjadi halangan intensnya komunikasi. Ketiga anak lelakinya jangan ditanya. Mereka sama sekali tidak bisa diharapkan. Sibuk dengan dunianya sendiri, seolah dunia Aminah hanyalah orbit kecil yang tak perlu dipedulikan. Padahal, Aminah merasa bahwa dia adalah sosok Ibu yang cerdas, pengertian, dan tentunya bijaksana. Dia juga merasa bahwa dialah tempat paling masuk akal untuk dijadikan teman curhat, tetapi kenapa anak-anaknya tidak pernah bertahan lama untuk duduk mengobrol? Ah, anak zaman sekarang memang membingungkan. Mungkin, ia harus mengurangi micin di masakan yang akan disajikan ke piring mereka, siapa tahu itu kuncinya.

**

“Assalamualaikum, Ma.” Suara Han serak, seperti orang yang baru bangun tidur, atau terlalu lelah bicara.

“Waalaikumsalam, Han. Dari tadi Ibu telepon kenapa tidak dijawab? Kamu sudah selesai? Sudah makan?” tanya Aminah khawatir, rentetan pertanyaan yang meluncur deras.

“Banyak sekali pertanyaannya, Ma?” Han menggaruk-garuk kepalanya sambil melihat ke sekeliling, matanya menyipit. “Astaga, sudah jam satu lewat, Ma?” Ia terperangah menatap jam dinding kantor, waktu terasa mengalir begitu cepat.

“Jadi?” Aminah ikut kebingungan, menunggu jawaban pasti.

I love you, Ma. Jangan tunggu aku pulang, ya. Pekerjaanku belum selesai. Tadi ketiduran.” Han menutup teleponnya dengan tergesa-gesa, lalu mengaktifkan mesin komputernya. Ponselnya berdering lagi.

Begitu diangkat, Aminah melanjutkan bicaranya, “Kamu ini bagaimana? Tiara sudah menunggui kamu dari tadi, sampai-sampai tertidur di sofa kita,” repet Aminah. Kuping Han panas, ia bisa membayangkan wajah cemberut ibunya. Andai saja tadi tidak langsung diangkat.

“Sofa kita? Kok bisa?” Han menggaruk-garuk kepala tidak habis pikir. Ada saja atraksi-atraksi dari gadis itu. Tiara memang selalu punya kejutan yang tak terduga, pikirnya, sebuah keunikan yang membuatnya kadang geli, kadang terpukau.

“Jangan tanya kok bisa. Pulang saja dulu! Kasihan jika dia kecewa,” seru Aminah sedikit memelas, suaranya mencoba melunakkan hati Han.

“Tidak bisa, Ma. Lagian, aku tidak menyuruhnya untuk menungguku. Sudah ya, Ma. Pekerjaanku menumpuk. Assalamualaikum…,” tegas Han langsung memadamkan ponselnya, tak memberi kesempatan Aminah membantah.

“Ya, Allah!” Kini dikarenakan perut, Han kembali mengeluh. Sudah tidak ada lagi mi cup instan di ruangan tersebut. Itu artinya dia harus keluar dari kantor ini untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Sebuah misi yang harus segera dilaksanakan.

**

Di Restoran Makanan Jepang 24 Jam

“Malam, Pak!” Seorang satpam kantor menegur, suaranya ramah.

Lihat selengkapnya