Ada yang bilang, jika cinta itu sudah pasti bukan bintang. Karena, jika satu bintang jatuh ke bumi, tidak akan pernah bintang tersebut sudi naik untuk kembali jatuh. Tapi, jika satu cinta jatuh untuk satu hati, akan selalu ada kemungkinan, cinta itu akan kembali jatuh untuk hati yang lain. Sebuah perenungan yang melayang di tengah malam yang aneh.
“Haaaaaaa!” “Haaaaaa!”
“Haaaaaaa!!” “Haaaaaa!!”
“Haaaaaaa!” “Haaaaaaa!”
Di tengah malam yang pekat, dalam satu ruangan kerja, dua sosok ini berteriak histeris, saling melempar pandang namun kembali bersahut-sahutan. Adegan yang aneh sekali, seperti sedang menyaksikan komedi absurd di teater kosong.
“Kamu siapa?!” Han bertanya, nadanya tercekat di antara keterkejutan dan ketakutan yang merayap.
“Loh, kamu yang siapa?!” Gadis kecil di depannya membalas, tak kalah galak. “Orang jahat, ya?” kata si gadis kecil, di saat itu, keringat Han mulai bercucuran deras. Keadaannya shock. Pikirannya berlari kencang entah sudah ke mana saja sebelum akhirnya kembali, dan ia tidak bisa berpikir apa-apa lagi selain kepanikan.
“Saya Han!” Dengan sekuat tenaga, Han mengumpulkan keberaniannya untuk menjawab, berharap tidak ada teriakan lagi yang memekakkan telinga.
“Aku akan ngadu ke polisi kalau ada penculik namanya Han!” Gadis kecil itu kembali berteriak, suaranya melengking.
“Heh! Siapa yang nyulik kamu? Oke-oke, nama kamu siapa?” tanya Han gugup. Wajah di depannya sebenarnya tidak asing di ingatannya, tapi gadis kecil itu terus berteriak, enggan menjawab. “Mau mi ramen?” Han kembali membujuk, kini dengan menawarkan makanannya di atas meja, sebuah taktik terakhir yang ia harap berhasil.
Gadis kecil itu akhirnya mulai berhenti berteriak. Ia menatap bungkusan ramen, lalu mengangguk, seolah mi ramen adalah tawaran paling masuk akal di dunia. Han mengambil bungkusan yang berisi kotak ramen tersebut, lalu membuka kemasan sumpit dan memberikannya kepada gadis kecil itu.
“Nama kamu, siapa?” Han mencoba menganalisis kejadian yang terjadi tepat di depan matanya. Apakah bisa masuk akal atau hanya imajinasi saja yang sedang bermain-main dengannya.
“Dee Lestari, Om. Tapi panggil saja Nina,” jawabnya santai, sambil menyedot mi ramen. Tapi tidak begitu dengan Han. Darahnya serasa membeku, susah menarik napas. Beberapa kemungkinan sempat terlintas di pikirannya. Pelan-pelan ia mencerna, berusaha merangkai semua potongan puzzle yang gila ini untuk dijadikan kesimpulan.
Sudah tiga kali Han mencubit tangannya, berharap semua ini hanya mimpi buruk. Namun kenyataannya, semua ini adalah nyata dan fakta. “Kamu ingat apa yang terakhir kali terjadi padamu?”
Nina sedang menikmati makanannya, ia terlihat kelaparan seperti tidak makan sejak pagi. “Sebentar, Om. Aku lagi makan.”
“Oh, baiklah!” kata Han, berusaha mengingat-ingat kejadian ajaib sebelumnya, mulai dari Dee yang menangis hingga bintang jatuh. “Kamu kenal siapa saya?” tanya Han, memelankan suara. Gadis itu menggeleng, masih asyik dengan ramennya, tak peduli dengan kegelisahan Han.
“Huf!” Han menyandarkan tubuhnya di kursi, lalu mulai berpikir, memandangi gadis kecil yang memakai baju dan sepatu dewasa itu. Ukuran yang jauh lebih besar dari tubuh mungilnya.
“Umur kamu berapa, Nina?”
“Sembilan tahun,” ujar gadis kecil itu tersenyum polos sambil mengunyah, bibirnya belepotan.
“Lalu, apakah kamu tahu ini tahun berapa?” tanya Han dengan sangat hati-hati
“Tahun 2000 dong, tahun milenium. Masa gitu aja gak tau!” jawabnya enteng, tetapi berat bagi Han. Dia berusaha waras.
Han mengamati dengan dalam, bentuk wajah, suara, dan cara bicara gadis kecil ini. Han sangat mengenal senyum itu. Senyuman hangat yang meluluhlantakkan hati Han saat melihat Dee untuk pertama kali, bertahun-tahun yang lalu.