NINA

Ira Madan
Chapter #8

Tiara, Tiada Tara  

Ada yang bilang, jika cinta itu sudah pasti bukan bintang. Karena, jika satu bintang jatuh ke bumi, bintang itu tidak akan pernah sudi naik untuk kembali jatuh. Tapi, jika satu cinta jatuh untuk satu hati, akan selalu ada kemungkinan, cinta itu akan kembali jatuh untuk hati yang lain. Sebuah perenungan yang mungkin tak disadari Tiara sedang berlaku padanya, seperti ramalan yang belum terwujud.

What?!” Mata Tiara melotot di depan ponselnya saat membaca isi pesan singkat dari Han. Penolakan dan permintaan maaf atas undangan Tiara ke acara syukuran wisuda untuk gelar masternya. Tanpa berpikir panjang, Tiara membalas pesan Han dengan panjang lebar, meluapkan kekecewaannya. Sayang, Han membalas lagi dengan isi yang sama, tapi kini lebih singkat.

Maaf.

Sejak dua hari lalu, Tiara sudah tidak bisa menghubungi Han. Han cuti seminggu dengan alasan pribadi yang tidak seorang pun tahu persis, itu apa. Seolah tidak terima diabaikan, Tiara mendatangi rumah Han. Sejak ponsel milik Han tidak aktif, ia memang tidak pernah lagi ada di rumah. Han menghilang, seperti jejak kaki di pasir yang terhapus ombak, bersamaan dengan sinyal ponselnya.

Belum lagi masuk untuk menyapa, pagar rumah Han sudah tergembok dari luar. Tidak ada satu pun orang di rumah. Tiara kembali kecewa. “Bagaimana caranya agar kamu peduli denganku, Mas?” keluh Tiara, terduduk lemas di depan pagar rumah Han. Harapannya luruh satu per satu. Ia membuka ponselnya, memanggil nomor Han, dan nomor itu kini kembali tidak aktif. Ia terus menghubungi, hingga beberapa kali, tapi tetap tidak tersambung. Tidak aktif. Mukanya cemberut, menatapi langit yang mulai kelabu.

“Loh, kok duduk di sini, Mbak? Tuan rumahnya sudah dihubungi? Sepertinya mereka keluar,” seorang Ibu menghampirinya setelah berselang dua puluh menit ia duduk di sana, memandang Tiara dengan heran.

“Iya, Bu,” jawab Tiara, tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan hatinya yang remuk.

“Ini mendung. Nanti kehujanan.” Ibu itu menasihati, nadanya penuh perhatian.

“Iya, Bu,” jawab Tiara lagi, masih belum bangkit. Ibu itu berlalu pergi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, mungkin menganggap Tiara gadis aneh.

Tepat seperti yang dikatakan Ibu tadi, langit memang sudah sangat gelap. Gelegar petir pun sudah mulai menggertak, namun Tiara belum juga tersadar hingga air hujan mengguyurnya. Barulah, ia bangkit dan berjalan pelan menelusuri jalan pulang setapak demi setapak, membiarkan air hujan menemani langkahnya. Ia basah kuyup, tapi tak peduli.

**

Tiara sudah tiba di gedung apartemen. “Huf!” Dia menarik napasnya dalam, membongkar tas miliknya mencari sesuatu, tapi belum juga ditemukan. Seorang bapak paruh baya baru saja keluar dari apartemennya. Ia melihat Tiara sekilas, lalu pergi begitu saja tanpa bicara. Mungkin keheranan, melihat Tiara bisa basah kuyup seperti itu di lobi apartemen yang mewah.

Selang beberapa menit, barang yang sedari tadi dicari sudah ditemukan, dan itu adalah sebuah kartu kunci apartemen miliknya. Ia masuk dengan langkah patah, pintu ia tutup asal, tas sandangnya ia lempar ke atas sofa, lalu berjalan lurus menuju kamar mandi. Tiara kedinginan, handuk besar itu ia selimuti di seluruh tubuhnya. Matanya menatap kaca kamar mandi. Lama ia mengamati bentuk wajahnya—manis, dengan hidung mancung dan mata yang berbinar. Lalu, mengapa Han tidak bisa melihat itu semua? Pertanyaan itu menusuknya.

Wajahnya terlihat lelah dan lesu. Dihidupkannya air keran, lalu membasuh muka sekenanya dan kembali menatap kaca di depannya. Lama ia mengamati wajahnya sendiri, mencari jawaban di pantulan cermin.

Kriiing... kriiing.... kriiing....

Telepon rumahnya berbunyi, memecah kesunyian yang dingin.

Tiara berjalan lambat menuju telepon tersebut. Semua langkah yang ia buat menyisakan jejak air—basah di lantai keramik.

Tiara melihat layar ponselnya, terlihat bahwa itu adalah panggilan dari rekan kerjanya, Yona. “Ya, halo!”

“Gila, ya, Tiara! Dihubungi dari tadi enggak bisa. Ponsel kenapa enggak aktif?” Yona langsung menyerbu dengan rentetan pertanyaan.

“Oh, mungkin kena hujan. Jadi mati.” Tiara menjawab sekenanya.

Lihat selengkapnya