“Masih teringat olehku, waktu itu dimana kita pertama kali bertemu.Yeah, di akhir bulan Juni pada tahun 1986. Dimana kita harus melawan kerasnya kehidupan, untuk tetap bertahan hidup di kota besar. Raka Kusuma, adalah nama yang kamu utarakan saat memperkenalkan diri di depan kami semua. Laki-laki yang pintar, pintar bergaul, tapi mengganggu. Mengganggu perhatianku saat berada di sekitarmu, seakan tidak lepas dengan apa yang kamu perbuat. Menjengkelkan, itu sangat mengganggu! ”
Tulisan tangan yang tertera di dalam buku harian yang bersampul coklat itu berhasil ditemukan oleh Ayara di rak buku milik Neneknya, Ratna.
"Nenek?!" Panggil Ayara dari arah ruang baca. "Cepatlah kemari!"
Dengan langkah sedikit tergesa-gesa, Ratna mendatangi Ayara. "Ada apa, Aya?"
Ayara menyodorkan Buku Harian itu kepada Ratna. Raut mukanya berubah, matanya terbelalak, seakan tidak percaya buku itu bisa ditemukannya lagi.
"Dimana kamu menemukannya?"
"Di sana, " jawab Ayara menunjuk ke arah rak buku. "Di sebelah sini," tepatnya di bagian buku bacaan yang sangat disukai Kakek Ayara. Bagas Saputra.
"Saya tidak menyangka, bisa menemukannya di sini. Nenek kira dia sudah membuangnya, " ucap Ratna sambil mengelus lembut sampul buku yang sudah usang itu.
"Siapa yang membuangnya? Kakek?"
"Bukan. Tapi Ibunya Nenek, Nenek Buyutmu."
"Oh! Yang katanya Ibu, wanita yang terjahat di waktu itu."
"Huss ... sembarangan kalau bicara. Nenek Buyutmu tidak seperti itu, dia tidak ingin anak-anak berperilaku tidak bermartabat."
Ayara berjalan ke arah meja, yang sudah tersedia minuman teh dan beberapa kue. Dia duduk dan menikmati sajian dari neneknya itu.
"Nenek?"
"Hmm ..."
"Sebenarnya siapa Raka Kusuma?"
Nenek mengalihkan pandangan kepada cucunya, yang sedang menikmati beberapa potongan kue.
"Kamu ingin mengetahuinya?"
"Tentu saja! Walau sebenarnya, Ibu tidak suka kalau saya mencari tahu tentang dia."
Ratna berjalan mendekati Ayara, mengelus lembut rambutnya, dan memberikan buku harian itu kepadanya. "Bacalah, nanti kamu akan tahu siapa sebenarnya Raka itu."
"Yakin, tidak apa-apa? Saya takut Ibu memarahiku."
"Pastilah Ibumu akan marah, kalau kamu memberitahu yang sebenarnya."
"Ya! Nenek benar." Mereka saling berbalas tawa.
Ratna beranjak duduk bersama cucunya, sambil menikmati kue dan teh. Sedangkan Ayara mulai sibuk membuka beberapa helaian buku harian itu, penasaran dengan siapa yang disebutkan Nenek di setiap penggalan kata.
"Nenek?"
"Ya, Ayara?"
"Apa Raka Kusuma adalah cinta pertamamu?"
"Cinta pertama?" Dia menyeruput teh, dan tersenyum ke arah Ayara, "Itu terlalu kejam, bila dibenarkan."
Kening Ayara berkerut, sudut mulutnya terangkat, seakan tidak percaya dengan ucapan Ratna. "Lalu? Kenapa di bagian ini, Nenek menuliskan paragraf yang berisi kangen dan suka. Sampai di beberapa tulisan lainnya di hari-hari berikut."
"Sekarang Ayara sudah berusia berapa?"
"Bagaimana sih, Nek? Jangan mengalihkan pembicaraan kita berdua, ini lagi serius. " Nenek tersenyum menunggu jawaban dari cucunya. "Tahun ini, saya sudah beranjak 26 tahun."
"Nenek merasa Ayara sudah cukup besar untuk membicarakan tentang cinta."
Ayara menyipitkan matanya, seakan mengoreksi perkataan Ratna tadi. "Saya sudah sangat dewasa, Nek."
"Sudah dewasa ... tapi belum mengerti sejauh mana tentang cinta itu."
"Memang susah kalau berbicara soal cinta, " ujarnya membenarkan pernyataan neneknya. "Hmm ... perasaan sudah 5 tahun juga, semenjak nama dia disebut. "
Nenek tertawa pelan, " Ah! kalau diingat waktu itu, gara-gara ulah Kakekmu. Membuat Nenek tidak sengaja menyebutkan namanya."
"Hu-uh ... ini semua ulah Nenek. Padahal kita semua lagi bahagia banget, gimana tidak? Bisa berkemah bersama, satu keluarga komplit."
"Yah, Nenek minta maaf. Tidak sengaja, " ucapnya diakhiri tertawa. "Ditambah lagi, Kakekmu sangat lucu saat dia sedang cemburu mendengar nama itu disebut."
"Nenek nih ... kasihan, kan Kakek." Ayara melihat ke arah foto Kakek, yang terpajang di atas lemari buffet. Terlihat dia sedang tertawa sambil melihat ke arah Nenek yang sedang mencium bunga aster berwarna putih.
"Lalu, kalau bukan cinta pertama Nenek. Kenapa namanya seakan tidak terlupakan olehmu?"
"Ehm ... bukan tidak terlupakan. Nama tinggal nama, tidak ada yang berarti." Kerutan di kening Ayara semakin terlihat jelas ketika mendengar penjelasan Ratna. "Ceritanya sangat panjang, bila kamu ingin mendengarnya."
"Saya mempunyai banyak waktu, Nek. Karena hari ini dan hari besok adalah hari libur, jadi, tidak masalah seberapa lama Nenek ingin menceritakannya."
"Baiklah ... berharap Kakekmu tidak mendengarnya." Ratna kembali melihat ke arah pajangan foto suaminya.
Sudah 1 tahun, dia hidup sendiri di dalam rumah. Dia tidak mau tinggal bersama dengan anak semata wayang, Rendy Saputra. Bukan tidak ingin menyusahkan, dia hanya ingin menikmati waktu tuanya sendiri di dalam rumahnya yang penuh kenangan. Kenangan yang juga menorehkan tentang keberadaan Raka.
"Perkenalkan saya, Raka Kusuma. Saya adalah pegawai baru, jadi mohon bimbingan selama saya bekerja di sini." Dia menyalami setiap tangan yang terulur, dan yang terakhir pada tangan Ratna.
"Kenalkan, saya ..."
"Tidak perlu diulang. Saya punya telinga untuk mendengar, " ketus Ratna, lalu pergi meninggalkan Raka yang tertunduk sedih.
Tomi menertawakan perbuatan Ratna, lalu menepuk pundak Raka. " Perlu anda ketahui, ya. Namanya Ratna, anak yang paling fokus soal pekerjaan. Di luar daripada itu, dia tidak ambil pusing, makanya dia bersikap kasar terhadap anda."
"Saya tidak perduli, Pak. Apalagi sekarang saya merasakan ada yang beda di dalam dada ini, " ujar Raka sambil memegang dada kirinya.
"Apa anda mempunyai penyakit jantung?" tanya Tomi, sambil memandang khawatir pada Raka yang sedang tertawa.
"Sebenarnya saya sehat, Pak Tomi. Tapi karena Ratna, jantung ini bergetar sangat keras, hingga tidak dapat saya kuasai. Apa yang harus saya lakukan?"
"Hadeh, ternyata anda berkata dusta. "
"Tidak, Pak. Coba anda rasakan, " ajaknya sambil menaruh tangan Pak Tomi ke dada kirinya.
"Ya, ya! Seperti yang anda katakan, " ucapnya yang langsung menarik tangannya. "Mari ke sebelah sini, saya tunjukkan meja saudara." Tomi mengajak Raka ke meja kerja yang berada tepat di depan Ratna. "Ini meja saudara. Selamat bekerja, saya berharap anda bisa beradaptasi dengan baik di kantor ini."
"Terima kasih, Pak Tomi."
"Oh, iya! Jika ada yang ingin anda tanyakan, langsung tanyakan sama Ratna saja."
"Saya tidak ada waktu, Pak. Tolong dengan orang lain saja, " bantah Ratna terhadap permintaan Pak Tomi.
"Saya adalah atasan anda. Perlakukan teman kerjamu dengan sopan, " tegas Pak Tomi. "Baiklah, saya tinggal dulu, Pak Raka."
"Iya, Pak." Raka mengangguk dan berjalan ke arah Ratna, yang sudah berpaling kembali ke tumpukan kertas. Dengan lemas, dia kembali ke mejanya.
"Ini,” Ratna menyerahkan beberapa berkas, “Anda cukup mengetiknya kembali dan serahkan ke bagian admin.”
"Bagaimana cara ..." Jari telunjuk Ratna terangkat, tanda untuk bertanya tidak diperbolehkan.
"Kerjakan saja, apa yang saya minta. Bila bagian admin minta direvisi, datang ke saya biar saya jelaskan dimana letak kesalahannya. Mengerti?" Raka mengangguk akan pernyataan Ratna.
"Baru juga beberapa jam di sini, kenapa dia ketus sekali? Padahal dulu kita satu sekolah, apa dia lupa?" gumam Raka sambil curi-curi pandang ke arah Ratna.
"Tangan dan kepala yang sibuk bekerja, bukan matamu yang jelalatan."
"Apa itu mengganggumu?"
"Saya tidak mau pegawai lain terganggu oleh perilakumu."
"Itu hanya pikiranmu saja."
"Lihat ke sekelilingmu."
Mereka sedang mencuri pandang ke arah mereka, walau tidak semua."Menurut saya, itu tidak mengganggu."
"Intinya, saya tidak suka pekerjaan keteteran dan menjadikan saya susah."