Nineteen point Ten

Ropha Locera
Chapter #5

Si Pengusik Hati

Suara dentuman musik mengisi atmosfer ruangan kelas 1-1, Ratna lagi mengintip dari jendela. Sorak gembira anak-anak yang sedang berbaris terdengar lebih keras saat artis mereka melambai atau tersenyum ke arah mereka, tawa teberesit dari sudut bibir Ratna. Dia ikut senang melihat kerumunan itu, apalagi saat melihat Raka yang sibuk mengatur jalur barisan yang mulai semerawut, seakan dia menjadi petugas keamanan.

"Ratna?" panggil seseorang dari arah pintu.

Dia menoleh ke arahnya, "Hai, Andre!"

"Maaf, apakah kamu terlalu lama menunggu?"

"Tidak. Ada yang ingin kamu bicarakan?"

Angin berhembus masuk dari jendela itu, merusak tatanan rambut Ratna. Dia terpesona hingga Ratna menyisir rambutnya ke belakang, "Andre? Apa kamu mendengar apa yang saya katakan?"

"Ya?" Andre berdehem, "tentu saja. "

"Lalu?"

"Hmm ... sebenarnya, saya mau memberitahumu kalau ..."

"Kalau apa?"

"Saya ..."

"Auh! Bicaralah yang benar."

Andre berlagak kikuk dari dia masuk tadi, " Maafkan saya."

"Tidak apa-apa ... " ucapnya sambil melihat Raka yang sedang bercengkrama dengan salah satu artis itu. "Apa kamu pernah merasakan tidak nyaman di dalam perutmu?"

"Ya, saat sakit."

Ratna tertawa, "Bukan itu yang saya maksud."

"Lalu?"

"Perutmu terasa sakit oleh karena seseorang ..." Andre menyadari bahwa Ratna sedang memerhatikan sesuatu. Dia mendekat ke arah jendela, melihat ke arah mana Ratna melihat. "Bahkan orang itu membuatmu terlihat gelisah setiap saat."

Ternyata Raka sudah mencuri perhatian Ratna sendari tadi. "Sebenarnya apa yang sedang kamu bicarakan?"

Ratna berbalik dan melihat ke arah Andre, "Itulah yang saya rasakan. Apa yang harus saya lakukan terhadap Raka?"

"Huh?" Pancaran mata hitam itu terlihat berbeda, dia tahu kalau Ratna jatuh hati pada Raka. "Jadi, maksudmu ..."

"Iya. Saya mengajakmu berbicara di sini, sebenarnya ingin lebih mengenal tentang Raka. Bukankah dia adalah teman sejak SD?"

"Tentu saja."

"Jika kamu bisa ..."

"Dengan senang hati, saya akan membantumu." Pelukan hangat menjadi ucapan terima kasih dari Ratna. Mereka berpelukan sampai Tari membuka pintu kelas.

"Maaf, saya tidak ..."

"Tari?! Ini kami, " Ratna berlari ke arah Tari merasa canggung melihat mereka berpelukan. "Saya sudah memberitahu Andre, dan dia mau. Saya pergi mencari Raka dulu, dia meninggalkan buku puisinya di meja."

Tari membisu saat mendengar ucapan temannya itu, sampai dia pergi meninggalkannya bersama Andre.

Tidak ada ucapan dari mulutnya, hingga isak tangis memecahkan kesunyian. "Saya tidak menyangka, mengucapkan cinta pada seseorang tidak segampang memesan 1 porsi bakso." Dia mengusap air matanya, dan memandang Ratna lagi tertawa bersama Raka.

"Bodoh memang kamu ... Padahal lebih mudah menyukainya tanpa bahasa." Mata yang sembab melirik kesal pada Tari, menghukum ucapannya. "Lewat diam, kamu bisa lebih berekspresi. Tapi akan sangat sesak, saat tahu cintanya bukan milikmu."

Andre kembali menangis, Tari menepuk pundaknya, "Tidak apa-apa, keluarkan semua. Jangan disimpan, bisa jadi penyakit." Dia memarahi dengan sudut matanya, lalu Tari tertawa sambil memberinya selampai miliknya.

"Nenek jahat! Tidak baik meminta bantuannya untuk bisa dekat dengan Raka, " ketus Ayara.

"Yah, cinta membutakan segalanya."

"Cinta tidak membutakan, Nek. Tapi membukakan semua jalan."

"Ayara belum punya seseorang yang dicintai, jadi tidak bisa menilai."

"Saya sudah punya, Nek."

Ratna tersentak saat mendengar perkataan cucunya, " Sejak kapan?! Bukannya seminggu lalu putus?"

"Seminggu? Nenek kalau sudah lupa katakan lupa, jangan mengada-ada hal yang tidak benar."

"Kamu sendiri yang cerita!"

"Masih ingat, kapan saya memberitahu Nenek?" Ayara menggeleng prihatin akan ingatan milik Ratna, " tidak apa-apa bila Nenek sudah lupa."

"Maafkan Nenek. Ingatan hilang sekejap mata, dimana umur menggerogoti otak ini."

"Tidak perlu meminta maaf, Nek. Saya juga salah, bersilat lidah tidak dapat menyelesaikan masalah."

"Tidak apa-apa, sayang." Ratna mengelus lembut cucu kesayangannya.

"Besok saya ajak bertemu dengan Nenek, apakah Nenek mau?"

"Tentu saja!" Ratna tersenyum bahagia, disusul kekecewaan di ujung mulutnya. "Selama dia tidak sibuk kerja."

"Besok akan saya hubungi."

"Baiklah. Kapan kamu berhenti makan, Ayara?"

"Ya,ya ... Dilanjutkan ceritanya, Nek. Raka pasti kaget apa yang ingin dikatakan Nenek kepadanya?"

"Kaget? Nenek rasa tidak."

"Lalu kenapa Nenek meminta Raka datang ke kelas?"

"Itu karena Nenek ingin memberinya sesuatu."

"Sesuatu?" Ayara mengerutkan kening, "jadi minta bertemu di kelas hanya karena sesuatu itu?" Ratna tertawa melihat aksi cucunya yang berlebihan.

Beberapa jam setelah Ratna bertemu dengan Andre, dia kembali ke kelas. Goyangan kaki yang tiada henti, bertukar pandang yang tiada habisnya pada sesuatu yang disembunyikannya di balik laci meja dan pada pintu masuk kelas. Jelas dia sedang menanti seseorang dengan harap-harap cemas.

Senyumnya merekah saat melihatnya akhirnya datang. "Ada urusan apa kamu memanggil?" Tanya Raka saat masuk ke dalam kelas.

Ratna bangkit berdiri dan mengayunkan tangannya, mengajak dia untuk mendekat."Ayo, ke sini!" Dia mendekat, Ratna mengeluarkan sesuatu yang disembunyikan tadi. "Selamat ulang tahun, Raka."

Dia tertegun melihat Ratna datang menghampirinya, "Bagaimana kamu tahu? Sedang saya tidak pernah memberitahu kepada siapapun."

"Tentu saja, saya ingat. Hadiah ulang tahunmu di tahun lalu, itu pemberian Ayahmu, kan?" Ucap Ratna seraya memberikan hadiah album lagu beserta tanda tangan mereka di dalamnya.

"Iya?"

"Saya melihat catatan Ayahmu di dalam hadiahmu itu." Dia mengerutkan kening, "Apa kamu lupa? Kita latihan di rumahmu beberapa minggu ini. Jadi tidak sengaja saya melihat catatan kecil itu."

Raka memeluknya, lalu kemudian melepasnya. "Terima kasih, saya suka dengan pemberianmu."

Wajah Ratna sudah merah seperti tomat, "Iya, sama-sama." Ratna bertingkah kikuk, sambil mencari sesuatu di dalam tasnya. "Saya juga ingin memberimu ini, " dia menyodorkan pulpen yang berwarna abu-abu.

"Pulpen?" gumam Raka.

"Ini karena ... kamu suka menulis puisi, jadi saya pikir butuh alat tulis yang nyaman digunakan." Ratna mencuri pandang padanya.

Raka memberi tatapan yang berkaca-kaca, " saya baru mengenalmu beberapa bulan, tapi serasa kamu sudah mengenal saya bertahun-tahun."

Tentu saja, selama Ratna berteman dengan dia. Dia sering kedapatan menghilang saat makan siang.

Dia selalu menghabiskan waktunya di perpustakaan, dimana tempat favoritnya di bagian sudut dari ruang tersebut. Sering membantu tukang bersih-bersih di toilet, sampai tukang kebun pun dia datangi. Selain itu, dia pernah ketiduran di Unit Kesehatan Sekolah, demi tidak mengikuti pelajaran matematika. Anehnya, dia tetap mendapat nilai yang terbaik di semua mata pelajaran.

Tidak berhenti di sana, masih banyak kenakalan dan keisengan lainnya yang dilakukan Raka. Maka dari itu, dia dijuluki Abu Nawas oleh tiap orang di sekolah.

Raka menaruh hadiahnya di ransel, "ayo turun. Akan saya belikan permen kapas buatmu."

Ratna menarik tangannya dari genggaman Raka." Turunlah dahulu, nanti saya akan menyusul." Pada saat itu, Raka ingat ucapan Andre yang ingin mengutarakan isi hati pada Ratna setelah mereka tampil. Dia tersenyum, "Cepatlah menyusul."

"Pasti."

Raka keluar dari kelas, dan bertemu dengan Andre saat menuruni tangga. "Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Ada yang hal yang ingin saya ambil di kelas. Dari tadi kamu dimana? Dari kelas?" tanya Andre melihat raut wajah temannya lebih cerah dari sebelumnya.

"Oh ... mengambil sesuatu atau mau memberitahu sesuatu? Soalnya tadi saya bertemu dengan Ratna di kelas."

Lihat selengkapnya