Nineteen point Ten

Ropha Locera
Chapter #7

Pilihanmu, Pilihanku

"Putih Abu-abu, baju baru yang dikenakan setelah duduk tiga tahun di bangku menengah pertama. Kenangan tentang dia di taman belakang sekolah kembali menjadi putaran film di pikiran ini, apalagi di kala dia dan saya saling menyerukan rasa cinta yang sama. Tidak tahu, apakah rasa cinta ini akan terus bertambah atau berubah seiring waktu? Ditambah lagi, Patricia tidak hentinya menjadi perangko di antara kami. Mengganggu kayak benalu. Syukurnya semakin bertambah umur, pikiran dan perilaku manusia semakin berubah. Tapi tergantung orangnya, apakah tambah dewasa atau tetap seperti anak kecil."

Tulisan yang tertera di halaman yang baru yang dibaca Ayara, "Ternyata ... seperti itu kejadiannya." Ratna mengangguk kepala.

Tiba-tiba suara telepon genggam milik Ratna bergetar, Ayara langsung melihat ke layar telepon. Ternyata Ibu Ayara menelepon. Ratna mengambil dan menyentuh layar telepon itu, "Halo."

"Hai, Ibu? Bagaimana kabar? Saya dengar kalau Ayara sedang datang berkunjung di tempat ibu." Ayara menyilangkan tangan ke udara, memberi kode agar Ratna memberitahu jika dia tidak bersama dengan dia saat inu. Tapi Ayara lupa, kalau Neneknya adalah orang yang jujur.

"Tentu, dia sedang bersama dengan saya." Ayara memandang kesal ke arah Ratna yang sedang tertawa.

"Apa dia datang membawa sesuatu untukmu, Bu?"

"Iya, tentu saja. Dia selalu membawa buah tangan setiap kali ke sini. Apa kamu tidak diberitahu olehnya?"

"Ibu lupa ... dia Ayara, anak yang melakukan apa yang dia inginkan. Selama dia tidak menyusahkanmu di sana, saya bakal tenang. " Ibu Ayara menghela napas panjang setelahnya.

Ratna tertawa, "tidak apa-apa. Saya tidak pernah disusahkan olehnya. Lalu ada maksud lain kamu menelepon?"

"Sebenarnya ..." Dia terdiam sejenak, lalu tidak lama terputus sambungan telepon mereka.

"Aneh? Ada apa dengan Ibumu?" Memandang bingung kepada Ayara yang sudah menghubungi Ibunya kembali dengan telepon genggam miliknya.

Tidak lama sambungan telepon mereka terhubung, "Ibu? Tidak sopan mematikan telepon dengan orang yang lebih tua. Bukankah itu ajaran anda pada saya?"

"Bukan seperti itu ... memang karena jaringannya saja yang kurang baik. Apa karena sedang hujan di sini?"

"Mungkin ... lalu apa yang hendak Ibu ingin bicarakan?"

"Bisa kamu berikan teleponmu pada Nenek? Ibu ingin bicara." Ayara menyodorkan telepon genggamnya pada Ratna.

"Iya."

"Ibu, saya melihatnya ..."

"Dimana?!"

"Di pusat perbelanjaan yang sering kita datangi."

"Syukurlah ... lalu?"

"Dia meminta nomer telpon Ibu, jadi saya memberikannya."

"Siapa?" tanya Ayara setengah berbisik di depan Ratna.

"Ayu ..."

"Anak itu, selalu menguping pembicaraan orang tua. Kenapa kamu tidak pulang, malah mengganggu nenekmu?!"

"Saya tidak mengganggu, Bu!"

"Bukankah kamu punya pekerjaan? Apa kamu sedang bolos?!"

"Siapa bolos? Saya baru cuti libur 3 hari di tahun ini, " keluh Ayara.

"Oh ... direktur pemasaran bisa libur, ya? Pemilik perusahaan saja tidak libur."

"Sebenarnya anda adalah ibu saya, atau bukan sih?"

"Tentu saja! Karena itu, cepat pulang, dan berangkat kerja! Kamu mau perusahaan Kakekmu bangkrut, " bentaknya kepada Ayara, lalu kembali bersuara halus dan sopan pada Ratna sebelum dia menutup teleponnya. " Hanya itu yang ingin saya beritahukan, jangan lupa minum obat secara rutin. Besok lusa, saya akan menjemput ibu untuk jadwal pemeriksaan rutin di rumah sakit."

"Baiklah, sampai jumpa."

Ratna menepuk mulut manyun Ayara, "Ibumu hanya ingin terbaik darimu. Salahmu ... memberi tahu Ibumu kalau kamu sedang cuti 3 hari di sini."

Ayara menghela napas, "perusahaan tidak akan bangkrut dalam sehari, karena saya cuti 3 hari. Orang tua macam apa itu?"

"Nenek pernah baca salah satu tulisan pendek di salah satu media sosial, seperti ini bunyinya ... Hidup jangan dibuat stres. Dinikmati kesusahannya, tertawakan orang yang menghina masa depanmu, tersenyum pada mereka yang selalu meninggalkanmu di jalan hidupmu yang berbeda." Ratna mengelus rambut coklat tua milik Ayara, "jadi jangan marahi ibumu, hanya karena merasa tidak adil. Ikuti kata hatimu, selama kamu rasa itu benar dan baik buat kehidupanmu. Oke?"

Ayara mengangguk, dan memeluk neneknya. Karena anak semata wayang, Ayara selalu disayang oleh Neneknya sejak kecil. Walau sebenarnya Ayara bukan anak yang manja, atau suka bergantung pada orang tuanya. Dia jauh lebih dari itu, lebih disiplin, bersikap dan berperilaku dewasa, selain itu dia melakukan apapun yang diinginkan dengan kemampuannya sendiri. Ini menjadikan orang tuanya kurang memperhatikan Ayara, yang mereka rasa dia sudah sangat dewasa dan dapat ditinggal. Tapi menurut Ratna, dia dewasa sebelum waktunya.

Maka dari itu Ayara sering dititipkan pada Nenek dan Kakeknya, semenjak Ayahnya dipercaya untuk meneruskan kepemimpinan perusahan milik buyutnya, Tori Sucipto. Yang sebelumnya dipegang oleh Kakeknya, Bagas Saputra. Kebiasaan sering ditinggal ini, membuat Ayara lebih nyaman tinggal serumah dengan Nenek dan Kakeknya hingga dia selesai kuliah.

Sedihnya, pengharapan dan cita-cita Ayara yang ingin menjadi dokter kandas karena orang tuanya. Mereka memaksanya untuk bekerja di perusahaan keluarganya setelah selesai kuliah, dengan begitu dia bisa meneruskan perusahaan. Bila diingat kembali oleh Ratna kala itu, Ayara pernah datang ke rumahnya tanpa pemberitahuan. Mengendarai mobil dari Jakarta ke Bandung, sendiri tanpa sopir. Mata bengkak dan hanya memiliki baju yang ada dikenakan, sudah cukup menggambarkan dia sedang marah dan kesal terhadap Ibunya.

Sikap dewasanya yang meredakan kemarahan dan kejengkelannya seiring waktu, dan menerima keinginan orang tuanya, lebih tepatnya keingingan Ibunya.

"Nanti siang, makanan apa yang akan kamu persiapkan? Apa makanan kesukaannya?"

"Ehm ... agak unik sih, Nek."

"Apa itu?"

"Nasi goreng dengan jengkol, dan pencuci mulutnya puding coklat dengan vla kacang."

"Kesukaannya seperti dia, " gumam Ratna

"Unik atau kelewat aneh, Nek?"

Ratna tertawa, "iya! Sedikit kelewat unik ... jam berapa dia akan datang?"

"Jam 3 sore, Nek."

"Berarti kita perlu berbelanja. "

"Anda benar, Nek."

"Perginya sama nenek, ya? Soalnya ada yang ingin Nenek beli juga, " ujar Ratna seraya bangkit berdiri dan beranjak ke kamarnya dan berganti baju.

Setelah berganti baju, Ayara menyalakan mesin mobil. Tidak lama Ratna keluar dari rumah, lalu dibantu sama Ayara, dan berlalu ke tempat perbelanjaan terdekat.

Setelah semua bahan makanan yang akan dimasak sudah masuk ke dalam troli belanja, Ratna berhenti di depan rak yang menyajikan puding, dan mengambil puding yang diinginkannya. " Nenek mau itu? Mau berapa?" Ayara bantu mengambil puding tersebut, beserta dengan vlanya.

"Ambil 5 buah, jangan lupa juga dengan rasa vanila."

"Tapi vlanya rasa strawberry, saya tidak suka."

"Bukan kamu saja yang makan puding itu, kan."

"Lalu siapa? Nenek? Sejak kapan Nenek mulai menyukai puding?"

"Tentu karena dia. "

"Kakek?" Ratna menggelengkan kepalanya, "Jangan-jangan ... Raka?"

"Tepat sekali."

"Kenapa?"

Lihat selengkapnya