Belum juga selesai bercerita, suara bel pintu berbunyi. Tanda seseorang datang bertamu ke rumah Ratna, siapa dia? Karena jarang sekali ada yang datang bertamu, kecuali Ayara. Itupun, Ratna memberinya kunci duplikat, agar tidak menyusahkan Ratna. Yang sebenarnya, hanya antisipasi Ayara bila Ratna ada apa-apa dalam tanda kutip.
"Sepertinya itu Jerome, " sangka Ayara sambil berlari kecil ke arah pintu.
Ketika dia membuka pintu, benar rupanya si Jerome sudah datang. Ratna memandang ke arah jam dinding yang ada di dapur, dia datang sesuai jam yang dikatakannya.
Dia membawa kue dan sebuket bunga. Bunga yang disukai oleh Ratna, Ayara memberitahunya sebelum dia datang kemari.
"Hallo, ini buat anda." Jerome memberikan buket bunga itu kepadanya saat dihantar ke ruang makan, lalu Ratna memeluknya.
Ratna melepas pelukannya, lalu mencium bunga itu. "Terima kasih, saya suka dengan bunga yang kamu berikan ini. Ayo silakan duduk ..."
"Perkenalkan nama saya Jerome Kusuma, " ucap dia sambil tersenyum padanya. "Saya seorang dokter bedah."
"Ternyata seorang dokter ... lalu dimana kalian bertemu?" tanya Ratna sambil melihat ke arah mereka bergantian.
Ayara sedang mengambil masakan yang tadi dimasaknya, " dimana lagi, Nek? Tentu saja ketika kami di perguruan tinggi."
Jerome tersenyum bahagia pada Ayara, kalau dia ingat pertama kali mereka bertemu.
"Di perguruan tinggi? Klasik ... terus apa yang kamu suka dari Ayara?"
"Yang saya suka dari Ayara?" tanyanya ulang. Mereka berbalas pandang dan Ratna menganggukkan kepala, " saya menyukai Ayara sebagaimana Ayara. Bukan apa adanya dia, Nek."
"Hanya itu?" Jerome mengerutkan keningnya sambil memandang ragu ke arah Ayara lalu kepada Ratna.
"Iya. Tidak kurang, tidak lebih."
Ratna menatap kedua matanya, jauh ke dalam, dia melihat mata yang dikenalnya. Mata yang berwarna coklat, memiliki bulu mata yang lentik. Bila tersenyum, akan terhanyut ke dalamnya. Sepasang mata itu membuatnya terkenang tentang dia, yang pernah mengisi hatinya. Tidak lama, Ratna menaruh kedua tangannya pada dadanya yang terasa sedikit sakit.
Ayara memandang khawatir kepada Ratna dan cepat-cepat menghampirinya, " Nek? Apa ada yang terasa sakit?"
Ratna menggelengkan kepalanya, "tidak apa-apa. Kamu jangan terlalu khawatir. "
"Benarkah? Apakah ada obat yang saya lewatkan?"
"Hei! Kamu membuat dia juga ikut khawatir." Jerome berdiri di samping Ratna yang sudah siap dengan stetoskopnya. Ratna tersenyum dan menahan perlakuan Jerome terhadapnya. "Duduklah Jerome... lalu kamu, apa masakanmu sudah selesai dimasak? Nenek yakin, Jerome sudah kelaparan."
"Belum, Nek. Saya masih bisa menunggu masakannya selesai dimasak, " ujar Jerome menaruh kembali stestoskopnya ke dalam tas, dan duduk di samping Ratna.
"Sudah, Nek. Semua makanan sudah termasak, mari makan." Ayara menuangkan nasi dan sayur kuah yang dia masak tanpa menggunakan sedikit bumbu penyedap. Memang dikhususkan buat Ratna, "Makanlah ... mumpung masih hangat."
Setelah menikmati makan siang bersama, mereka beralih ke ruang tamu sambil disajikan buah apel oleh Ayara.
"Coba dilihat, apa sudah cocok jadi calon istri?" Ucapan Ratna membuat Ayara tersipu malu. Pipinya memerah saat memberi potongan buah pada Ratna, Jerome tersenyum melihat Ayara yang sedang salah tingkah dengan ucapan Neneknya.
"Nenek?! Kenapa bersikap seperti itu ... buah apel bagus untuk pencernaanmu," Ayara menyuapi potongan apel tersebut.
"Saya bisa sendiri, kenapa kamu bersikap seperti itu?" Tanya Ratna sambil mengunyah. "Ah! Apa Jerome mau melihat foto masa kecil Ayara?"
"Oh, ayolah, Nek! Jangan! " tolak Ayara, yang tidak beranjak dari tempat duduknya.
"Kalau begitu, tolong jerome ambilkan album yang nenek taruh di lemari buku sebelah sana."
"Dia tidak akan tahu album yang dimaksud Nenek, "ujar Ayara kesal. "Biar saya saja yang ambilkan."
Dia mengejar ketertinggalannya, Jerome sudah berada di depan lemari buku yang dimaksud. "Album yang mana, Nenek maksudkan?" tanya Jerome.
Ayara memeriksanya dengan kedua matanya, "apa mungkin sebelah sini? Aneh ... biasanya diletakkan di sini." Ayara ke rak kecil yang berada di sebelah lemari buku tersebut, dan tidak menemukannya juga. " Tunggu di sini, aku periksa di dalam ruang nenek. Mungkin dia menaruhnya di sana, " tambahnya.
Ayara bergegas masuk ke dalam kamar Ratna, sedangkan Jerome terpanah dengan buku coklat yang bertuliskan nama penyair puisi yang terkenal.
"Apa kamu juga menyukainya?" tanya Ratna melihat Jerome yang sedang membuka lembaran demi lembaran buku tersebut.
"Iya, saya sangat menyukai sastra sejak kecil, Nek. Kakek selalu membacakannya sebelum tidur, maupun sedang mengasuh saya ketika dititipkan di rumahnya saat orang tua saya sedang bekerja."
"Kakekmu ternyata suka puisi juga, ya."
"Iya, Nek. Sejak dia masih muda, apalagi syair karya Chairil Anwar."
"Dia sama seperti seseorang yang saya kenal, " gumam Ratna. "Benarkah?"
"Iya. " Jerome berhenti di halaman terakhir, di sana terselip sepotong foto yang terobek setengah bagian. Ketika dibaliknya, ada tertera tulisan di sudut foto tersebut, ' Jakarta, 76 '.
"Nek?"
"Ya?" Jerome mendekat, dan memberikan potongan foto Ratna bersama dengan seorang pria. Walau terpotong, dia bisa melihat tangannya sedang menyentuh tangan Ratna.
"Ini, siapa?"
"Saya ... ah! Akhirnya kamu menemukan foto ini. Sudah lama saya mencarinya, baru menemukannya sekarang." Jerome melihatnya yang sedang mengagumi fotonya sendiri.
"Saya sudah menemukannya!" ujar Ayara kegirangan saat keluar dari kamar neneknya.