Nineteen point Ten

Ropha Locera
Chapter #8

Anak Musuh

Belum juga selesai bercerita, suara bel pintu berbunyi. Tanda seseorang datang bertamu ke rumah Ratna, siapa dia? Karena jarang sekali ada yang datang bertamu, kecuali Ayara. Itupun, Ratna memberinya kunci duplikat, agar tidak menyusahkan Ratna. Yang sebenarnya, hanya antisipasi Ayara bila Ratna ada apa-apa dalam tanda kutip.

"Sepertinya itu Jerome, " sangka Ayara sambil berlari kecil ke arah pintu.

Ketika dia membuka pintu, benar rupanya si Jerome sudah datang. Ratna memandang ke arah jam dinding yang ada di dapur, dia datang sesuai jam yang dikatakannya.

Dia membawa kue dan sebuket bunga aster berwarna putih, bunga yang disukai oleh Ratna. Ayara memberitahunya, sebelum dia datang kemari.

"Hallo, ini buat anda." Jerome memberikan buket bunga itu kepadanya saat dihantar ke ruang makan, lalu Ratna menyapanya lewat pelukan.

Ratna melepas pelukannya, lalu mencium bunga itu. "Terima kasih, saya suka dengan bunga yang kamu berikan ini. Ayo silakan duduk ..."

"Perkenalkan nama saya Jerome Kusuma, " ucap dia sambil tersenyum padanya. "Saya seorang dokter bedah."

"Ternyata seorang dokter ... lalu dimana kalian bertemu?" tanya Ratna sambil melihat ke arah mereka bergantian.

Ayara sedang mengambil masakan yang tadi dimasaknya, " dimana lagi, Nek? Tentu saja ketika kuliah, kami berada di perguruan tinggi yang sama."

Jerome tersenyum bahagia pada Ayara, kalau mengingat kembali saat pertama kali mereka bertemu.

"Di perguruan tinggi? Klasik ... terus apa yang kamu suka dari Ayara?"

"Yang saya suka dari Ayara?" tanyanya ulang. Mereka berbalas pandang dan Ratna menganggukkan kepala, " saya menyukai Ayara sebagaimana Ayara. Bukan apa adanya dia, Nek."

"Hanya itu?" Jerome mengerutkan keningnya sambil memandang ragu ke arah Ayara lalu kepada Ratna.

"Iya. Tidak kurang, tidak lebih."

Ratna menatap kedua matanya, jauh ke dalam, dia melihat mata yang dikenalnya. Mata yang berwarna coklat, memiliki bulu mata yang lentik. Bila tersenyum, akan terhanyut ke dalamnya. Sepasang mata itu membuatnya terkenang tentang dia, yang pernah mengisi hatinya. Tidak lama, Ratna menaruh kedua tangannya pada dadanya yang terasa sedikit sakit.

Ayara memandang khawatir kepada Ratna dan cepat-cepat menghampirinya, " Nek? Bagian mana yang terasa sakit?"

Ratna menggelengkan kepalanya, "tidak apa-apa. Kamu jangan terlalu khawatir. "

"Benarkah? Apakah ada obat yang saya lewatkan?"

"Hei! Kamu membuat dia juga ikut khawatir." Jerome berdiri di samping Ratna yang sudah siap dengan stetoskopnya. Ratna tersenyum dan menahan perlakuan Jerome terhadapnya. "Duduklah Jerome ... lalu kamu, apa masakanmu sudah selesai dimasak? Nenek yakin, Jerome sudah kelaparan."

"Belum lapar, Nek. Saya masih bisa menunggu masakannya selesai dimasak, " ujar Jerome menaruh kembali stestoskopnya ke dalam tas, dan duduk di samping Ratna.

"Sudah, Nek. Semua makanan sudah terhidang di meja makan, mari kita makan." Ayara menuangkan nasi dan sayur kuah yang dia masak tanpa menggunakan sedikit bumbu penyedap. Memang dikhususkan buat Ratna, "Makanlah ... mumpung masih hangat."

Setelah menikmati makan siang bersama, mereka beralih tempat ke ruang tamu sambil Ayara menyajikan buah apel sebagai pencuci mulut.

"Coba lihat, apa sudah cocok jadi calon istri?" Ucapan Ratna membuat Ayara tersipu malu. Pipinya memerah saat memberi potongan buah pada Ratna, Jerome tersenyum melihat Ayara yang sedang salah tingkah dengan ucapan Neneknya.

"Nenek?! Kenapa bersikap seperti itu ... buah apel bagus untuk pencernaanmu," Ayara menyuapi potongan apel tersebut.

"Saya bisa sendiri, kenapa memberi potongan apel sebesar mulut nenek?" Ucap Ratna berusaha mengunyah. Ayara sedikit malu dengan perlakuan nenek, dan berlalu mengambil buah apel lagi.

"Oh, ya! Apa Jerome mau melihat foto masa kecil Ayara?"

"Oh, ayolah, Nek! Jangan! " tolak Ayara, yang baru datang dari arah dapur.

"Kalau begitu, tolong jerome ambilkan album yang nenek taruh di lemari buku sebelah sana."

"Dia tidak tahu, dimana letak album yang dimaksud Nenek, "ujar Ayara kesal. "Biar saya saja yang pergi mengambil."

Ratna tersenyum pada cucunya yang sedang mengejar ketertinggalannya, sedangkan Jerome sudah berada di depan lemari buku yang dimaksud tadi. "Album yang mana, Nenek maksudkan?" tanya Jerome pada Ayara.

Ayara memeriksanya dengan kedua matanya, "apa mungkin sebelah sini? Aneh ... biasanya diletakkan di sini." Ayara menuju ke bagian rak kecil, yang berada di samping lemari buku tersebut, dan tidak menemukannya. " Tunggu sebentar, biar aku periksa di dalam kamar nenek. Mungkin dia menaruhnya di sana, " tambahnya.

Ayara bergegas menuju ke dalam kamar Ratna, sedangkan Jerome terpanah dengan buku coklat yang bertuliskan nama penyair puisi yang terkenal.

"Apa kamu menyukainya juga?" tanya Ratna pada Jerome, yang sedang membuka lembaran demi lembaran buku tersebut.

"Iya, saya sangat menyukai sastra sejak kecil, Nek. Kakek selalu membacakanya untuk saya sebelum tidur, maupun saat mengasuh saya bila dititipkan di rumahnya."

"Kakekmu ternyata suka puisi juga, ya."

"Iya, Nek. Sejak dia masih muda, apalagi syair karya Chairil Anwar."

"Dia sama seperti seseorang yang saya kenal, " gumam Ratna.

"Ya?"

"Benarkah dari sejak muda?"

"Iya, Nek. " Jerome berhenti di halaman terakhir, di sana terselip sepotong foto yang terobek setengah bagian. Ketika dibaliknya, ada tertera tulisan di sudut foto tersebut, ' Jakarta, 76 '.

"Nek?"

"Ya?" Jerome mendekat, dan memberikan potongan foto Ratna bersama dengan seorang pria. Walau terpotong, dia bisa melihat tangannya sedang menyentuh tangan Ratna.

"Ini, siapa?"

"Wah! Akhirnya kamu menemukan foto ini. Sudah lama saya mencarinya, baru menemukannya sekarang." Jerome melihat Ratna yang sedang mengagumi foto dirinya.

"Siapa dia, Nek?" kembali Jerome bertanya.

Lihat selengkapnya