Nineteen point Ten

Ropha Locera
Chapter #11

Dia diantara Saya dan Kamu

"Jangan berspekulasi sendiri dari apa yang dilihat dan didengar, lebih baik menanyakan langsung kepada Raka dan Patricia. " Celetuk tegas Ratna menyadarkan mereka.

"Saya pikir kamu orang yang pendiam, ternyata kamu punya sikap tegas juga, ya?" kagum Tasya. Dia menarik tangan Ratna, mengajaknya untuk mendekati lingkaran pembicaraan mereka.

"Tidak ... saya adalah orang yang membosankan."

"Ah, tidak mungkin! Pasti akan menyenangkan bisa mengajakmu ikut pembicaraan ini, " balas Tasya yang menari kegirangan.

"Benar ... malam ini akan berlalu lambat dan sangat panjang, " seru Yani riang.

"Semoga matahari terlambat memancarkan sinarnya, " tambah Yuni yang membela ucapan Yani tadi.

Ratna menghela napas panjang, tidak menyangka akan turut serta dalam pembicaraan yang tidak berfaedah itu.

Pikirnya, hati yang sudah lama terobati, dan tidak ingin tahu tentang dirinya. Kini kembali dengan merusak tanda bekas luka itu, lewat pembicaraan tentang dia.

Kenapa Raka tidak bisa berada jauh darinya? Padahal waktu itu, Andre jelas memberitahu, bila Raka mendaftar ke universitas yang jauh berbeda dari Ratna. Tapi kenapa kenyataannya berbeda?

"Ratna?!" panggil Tasya yang kedua kali, "apa kamu mendengar pertanyaan kita?"

"Maaf, saya sedikit melamun tadi. Bisa diulang kembali?"

"Apa benar kamu dulu satu sekolah dengan Raka?" tanya Tasya lagi.

Semua pasang mata tidak lepas darinya, berharap jawaban yang benar dari mulut Ratna. "Tentu saja, " jawab Ratna. " Memang kenapa?"

"Pasti ... kamu mengenal dia?" tanya Tasya lagi.

"Iya, saya mengenal dia. Tapi mengenal belum tentu tahu tentang dia sepenuhnya, " balas jawabnya, yang membohongi kenyataan.

"Berarti?" tanya Yani, yang masih bingung dengan jawaban Ratna.

"Berarti ... hanya sebatas kenal siapa dia, tidak lebih seperti yang kalian pikirkan." Mereka mengangguk, dan menunggu lanjutan dari Ratna, " terus apa yang kalian inginkan dari saya?"

"Apa tidak ada yang spesial di matamu tentang dia?" Yuni melayangkan pertanyaan.

"Yang saya lihat, dia adalah seorang ketua organisasi siswa intra sekolah. Di samping itu, dia selalu mengisi acara dengan bacaan puisinya. Dan lagi ..." Ratna terdiam, memandangi si kembar yang sedang terpesona akan karakter Raka.

Dan Tasya sedang memandanginya curiga, "sepertinya kamu kenal betul siapa Raka."

"Ti–dak!" jawab Ratna terbata-bata.

"Terus selain dia seorang OSIS dan penyair puisi, apalagi?"

"Pujaan setiap wanita, seperti kalian." Ratna bangkit berdiri, membersihkan dirinya dari remahan kacang. Lalu pergi ke kain yang menjadi alasnya tidur, "Sudah, ya! Saya mau tidur, sudah mengantuk. Selamat malam!"

"Sepertinya ada yang aneh dari dia, " ujar Tasya pelan.

"Apa yang aneh?" tanya Yani.

Disusul Yuni, " perasaan Ratna memang selalu aneh."

"Aneh?"

"Iya, Tasya! Kamu tidak pernah memperhatikannya? Di kelas, dia selalu duduk di tempat yang sama. Tidak banyak ngomong, tapi sekali bicara, singkat dan jelas. Seperti tadi , " jelas Yuni.

"Hmm ... keanehannya itu pasti ada yang disembunyikan, " ucap Tasya sambil melihat punggung Ratna.

Dia tidur membelakangi mereka, dia sedang memarahi dirinya yang hampir ketahuan bahwa dirinya kenal betul siapa Raka.

Keesokkan paginya, perut Ratna mengeluh kesakitan. Dia memegang perut berkali-kali saat merombak tenda mereka, itu dilihat oleh Bagas.

"Apa perutmu sakit?" Pertanyaan Bagas menarik perhatian Tasya, dan si kembar.

"Kamu sakit?" tanya Yuni.

"Dia sakit, lihat wajahnya," jawab Yani yang melihat Ratna yang sedang menutupi rasa sakitnya dengan lambaian tangan berkali-kali kepada mereka berempat.

"Tidak, tidak. Saya baik-baik saja, ayo cepat bersiap, sebentar lagi bis kita akan datang."

"Benarkah?" tanya Bagas meyakinkan kembali.

"Saya sehat, dan jangan bertanya lagi!" Tatapan tajam Ratna pada Bagas, membuat yang mereka kembali ke aktivitas sebelumnya.

Setelah semua barang mereka sudah dimasukkan ke dalam bis, dan mereka berfoto bersama. Bis melaju kembali pulang, Ratna kembali mengeluhkan perutnya. Dia tahu, sudah melewati batas kemampuannya dalam menahan rasa sakit.

"Sudah saya duga, kamu datang bulan."

"Ssst!" Ratna menutup mulut Tasya yang bersuara cukup keras, hingga teman lain bisa mendengarnya.

"Lepaskan! Coba kamu gunakan ini, " ucapnya setelah memberikan minyak untuk dioleskan pada perutnya.

Dia melakukan apa yang disuruh oleh Tasya, dan caranya dikeluhkan oleh seseorang yang duduk di depannya, Joko. "Ih! Bau minyak."

"Masalah?" tegur Tasya pada Joko.

"Oh jadi, kamu yang pakai?"

"Iya, lalu kenapa? Mengganggu banget? Tidak bisa iba melihat temanmu sakit. Tahan napasmu, bila tidak suka!" Marah Tasya sambil berdiri berhadapan dengan Joko. Bagas menyadari bukan Tasya yang memakai minyak itu, tapi Ratna. Dia terbaring lesu di samping Tasya, menyendarkan tubuhnya ke jendela bis itu, dan menutup mata. Berharap sakitnya mereda, saat mereka sampai di kampus.

Harapannya jauh dari yang diinginkan, rasa sakit semakin menjadi, dan tubuhnya sudah tidak kuat untuk menopang. Akhirnya Ratna pingsan saat menapakkan kakinya di tanah, ketika dia turun dari bis. Syukurnya, Bagas berada tepat di depannya, sehingga berhasil meraihnya. Tasya yang berada di belakangnya, turut memposisikan tubuh Ratna agar mudah untuk dibopong oleh Bagas.

Bagas dan Tasya mengantarkan Ratna ke ruang kesehatan, dan dokter yang bertugas di saat itu langsung menanyakan keadaannya pada kedua temannya. Tentu sebelum Tasya yang menjelaskan keadaan temannya, Bagas sudah terlebih dahulu memberitahu, dia tahu karena dia memiliki seorang adik perempuan. Itu membuat Tasya dan dokter takjub mendengar penjelasan Bagas.

"Kayaknya kamu yang lebih layak menjaga Ratna, daripada saya, " kata Tasya, saat memberi tas milik Ratna kepada Bagas.

"Saya mengerti karena memiliki seorang adik perempuan," jawabnya. "Tapi kamu yang lebih pantas untuk menjaganya dan menemaninya."

"Maaf, Bagas. Bukan melarikan diri dari tanggung jawab, tapi bisakah kamu yang menjaga Ratna, saya harus berganti jaga di Rumah Sakit. Kakak saya sudah menjaga Ayah dari 2 hari yang lalu, dan hari ini adalah giliran saya, tolong ya."

"Baiklah. Sampai jumpa, " balas Bagas. Tasya mengangguk dan beranjak pergi dan Bagas kembali masuk dan duduk di samping Ratna.

Ayara histeris mendengar cerita Ratna, "Ah! terus, terus ... lanjutkan ceritanya, Nenek."

Saat Bagas duduk di samping tempat tidur Ratna, dia mendekatkan diri ke arah wajahnya. Dia seakan tersihir oleh keelokan bulu matanya, " bulu matamu lebih lentik dari milik saya. Sungguh indah."

Keinginan untuk menyentuhnya terhenti dengan aksi Ratna, yang tiba-tiba mengigau. Jarak antara kedua wajah mereka begitu dekat, dan Bagas tidak dapat berkutik sedikit pun. Ratna tiba-tiba membuka matanya, mereka saling beradu pandang. Mata berwarna coklat brownis miliknya, menyadarkan Bagas hingga dirinya berdiri tegak.

Ratna melirik lembut ke arah Bagas yang telah duduk tegak dan mematung, bahkan dia bisa mendengar irama jantung yang tidak beraturan.

"Kamu sungguh ada di sini? Saya pikir, saya tidak akan pernah bertemu denganmu, " ujarnya yang terlihat masih mengantuk.

"Sepertinya kamu masih belum sadar sepenuhnya, " kata Bagas yang khawatir memandang Ratna yang masih terus meracau.

"Kamu tahu ... di dalam mimpi saya, kamu pun hadir. " Pandangan Bagas tidak lepas daripada dia, "Kita bersenang-senang."

"Apa yang kita lakukan bersama?"

"Mungkin ... kamu akan merasa aneh saat mendengarnya." Kebingungan menyerang Bagas, sehingga dia tidak dapat membalas perkataan Ratna. "Kita melihat kupu-kupu bersama di taman."

"Kupu-kupu?" gumam Bagas. "Kenapa?"

"Karena saya menyukainya."

"Kenapa?!"

"Kamu tahu, " ujarnya disertai dengan tawa simpul. "Mereka suka menari di udara. Dan saya melihat, kamu juga menyukainya ... dan sekarang kamu berada di hadapan saya."

"Tidurlah kembali," ajak Bagas.

Ratna memandangnya sedikit lebih lama dari sebelumnya, dan mata mereka kembali beradu. "Kemudian ... kita bersama selamanya. Entah itu, saya sudah bangun atau belum."

Ratna kembali menutup matanya, dan tertidur. Bagas menunggunya hingga dia sadar dari tidurnya.

"Dia masih dalam efek obat, " ujar dokter setelah membangunkan Bagas.

Dia melihat ke arah jam tangannya, " Anda benar, dan ruang kesehatan sudah waktunya tutup."

Lihat selengkapnya