Nineteen point Ten

Ropha Locera
Chapter #13

Seandainya jika bisa memilih

"Saya pikir kamu sudah pulang, " ucap Ratna memandang Bagas khawatir. Bagas langsung memeluknya, dan kemudian menangis. "Kenapa kamu menangis?" Ratna menepuk bahu dan mengelusnya beberapa kali.

"Maafkan saya ... saya yang bersikap tidak baik terhadap Raka, " ucapnya setelah melepas pelukannya.

Ratna melihat wajah Bagas yang terluka, "tunggu di sini." Dia bangkit berdiri dan kembali masuk ke dalam. Tidak lama dari itu, dia keluar dengan membawakan kasa, cairan pembersih luka, dan obat luka. "Jika tidak dibersihkan, lukamu bisa infeksi."

Bagas menahan perlakuannya, "bagaimana dengan Raka?"

"Keluarganya sudah datang."

"Tapi ..."

"Sekarang dia bukan prioritas utama saya, " jelas Ratna, "dekatkan wajahmu."

Bagas dengan patuh melakukan apa yang diminta oleh Ratna. Tidak ada komplain dari mulutnya, tapi ada rasa sakit yang ditahan olehnya. Dia berfokus pada luka yang diobati, sedangkan Bagas memberi pandangan penuh arti padanya.

Setelah merawat lukanya, Ratna diantar pulang oleh Bagas. Sesampai di rumah, Tori dan Sari berharap mendapat penjelasan yang jelas dari Ratna. Tapi Bagas bersikeras menggantikan dia, dalam memberitahu duduk persoalannya.

Penjelasan demi penjelasan, orang tua Ratna sudah cukup puas, dan Bagas bisa pulang kembali ke rumah.

"Ini terakhir kalinya, kamu berhubungan dengan Raka. Jika kamu masih melakukannya, Papa tidak segan-segan mengirim kamu ke luar negeri." Tori terlihat sangat marah melihat perbuatan anaknya yang sudah kelewatan. Sari menemani hingga Ratna selesai menangis dan beranjak tidur.

"Apa kamu tidak terlalu kasar sama anakmu?" tanya Sari, saat masuk ke dalam kamar mereka.

"Bukan kasar tapi tegas. Saya tidak mau berurusan dengan keluarga orang itu."

"Saya mengerti, tapi janganlah masalah kalian membuat anak kita jadi korban."

"Korban? Apa maksudmu?"

"Apa kamu tidak lihat, dia terus menangis?"

"Lama-lama juga, dia bisa menerima kenyataan ini. Sudahlah, saya mengantuk. Kita bahas lagi besok, " ujar Tori sambil menutup matanya.

Keesokkan harinya, saat Tori menikmati sarapannya, Ratna datang dan duduk di depannya. Mereka menyelesaikan sarapan dalam keheningan, tanpa ada argumentasi.

Patricia mengejutkan kelas Ratna dengan kedatangannya yang mengganggu, "apa yang kamu lakukan pada Raka?! Apa hebatmu? Ingat kamu hanya cerita masa lalunya, sudah tidak layak."

"Lalu siapa kamu? Hanya sebatas teman yang berharap lebih tapi tidak diakui."

"Teman katamu? Oh iya, kemarin kamu tidak diundang ke acara ulang tahun Raka. Maaf, ya. Soalnya tidak ada tempat buat kehadiranmu."

"Patricia, ayo keluar!" teriak Andre sambil menarik tangan Patricia.

"Masih ada hal yang ingin saya beritahu padanya, " ucapnya. Andre melepas tarikannya, " yang perlu kamu tahu, kalau saya adalah tunangan Raka. Jadi jangan mengganggu Raka lagi, kalau tidak, kamu akan merasakan akibatnya."

"Akibat apa yang ingin kamu lakukan? Jangan cari masalah dengan Ratna, tapi cari masalah dengan saya. Seharusnya kamu bersyukur, ada Ratna di sana. Bila tidak, mungkin tunanganmu sudah mati dipukul oleh saya."

"Jadi kamu yang memukulnya?"

"Iya, memang. Dia salah dan patut dihukum, makanya saya juga laporkan ke polisi. Tinggal ditunggu saja panggilan dari polisi, maka dari itu tolong dirawat tunanganmu baik-baik. Agar kuat menghadiri sidang."

Patricia pergi dengan wajah kesal, dan setiap orang di kelas mulai berbisik, membicarakan tentang mereka.

"Apa benar perkataanmu tadi?" tanya Ratna saat Bagas duduk di sampingnya.

"Tentu saja, tidak ... saya cuma menakuti dia." Ratna memandanginya khawatir, " jujur! Saya tidak melakukannya."

Ratna tersenyum, " terima kasih sudah membantu."

"Sama-sama." Ratna mengangguk.

Kelas mereka berakhir hingga sore hari, Bagas memberi kertas yang menuliskan ajakan minum kopi di kafe. Tentu saja kali ini, Ratna menerima ajakan Bagas.

"Kamu pilih teh atau kopi?"

"Teh saja."

"Tunggu sebentar, saya pergi memesan dahulu."

Setelah pesanan mereka datang, mereka duduk saling menatap ke arah matahari yang malu-malu berpulang ke peraduannya. Menitipkan salam perpisahan pada rembulan dan bintang, hingga langit memberi warna kelam. Menunjukkan sang malam pun tiba, dan lampu jalanan mulai dinyalakan.

"Indah, ya?" tanya Bagas

"Iya, indah."

"Kamu tahu, kenapa warna langit saat matahari terbenam jauh lebih berwarna dari matahari terbit?"

"Tidak tahu."

"Cepat sekali menyerah?"

"Biar cepat tahu jawabannya, lagipula saya tidak suka menunggu."

Bagas tertawa, " kenapa lebih berwarna? Karena ironis sekali, kalau kehidupan mengatakan, 'ada hal baik terjadi dalam perpisahan.' begitu?"

"Hal baik? Hmm ... seandainya perpisahan itu baik, mungkin tidak ada yang kecewa dan mudah melepaskannya."

"Itulah mengapa, saya tidak menyukai perpisahan. Hal itu menjadikan kita merasakan kesendirian, yang tidak mungkin orang lain bisa gantikan dengan mudah."

"Yah," ucap Ratna. Dia kembali menangis. " Saya tidak tahu ... apa bisa melepaskannya atau mempertahankannya?" Ratna menerima sapu tangan milik Bagas, baru kali ini dia menangis di hadapan Bagas.

"Hati saya terus merasa sakit, berulang kali." Bagas terus mendengar ucapan Ratna, dia bisa merasakan apa yang di alami olehnya.

Setelah dirasa selesai curahan hati, Bagas bangkit berdiri dan mengajaknya pergi mengelilingi kota dengan berkendara sepeda motor. Menikmati waktu bersama sesaat, lalu memulangkannya.

"Terima kasih buat hari ini, " ujar Ratna sambil membenarkan rambutnya.

"Bukankah itu gunanya kawan ... " Mereka saling tersenyum.

"Ratna, saya senang akan hari ini. Apakah akan ada hari yang sama di hari esok?" Bagas kembali bertanya.

"Akan selalu ada hari yang menyenangkan setiap harinya, dengan begitu kamu tidak akan bosan."

Lihat selengkapnya