"Apa kamu yakin?" tanya Tasya dari balik pembicaraan mereka saat di telepon.
"Iya ... walau sebenarnya takut." Ratna memasang wajah khawatir.
"Jika takut, jangan kamu lakukan."
"Tapi, saya masih—"
"Kamu sendiri yang bilang kepada kami, bahwa kamu sudah berhenti memikirkannya. Kenapa kamu ingin kembali mendekatinya? Kamu sudah tahu, apa konsekuensinya?! " Nada suara Tasya mulai meninggi saat memotong pembicaraan.
"Saya tahu, tapi dia selalu memberi perhatian walau sering saya acuhkan. Mungkinkah dia masih menyukai saya?"
"Ratna ... sadarlah! Realitanya dia sudah bertunangan dengan Patricia. Kemana otakmu berpikir? Hentikan pembicaraan yang tidak masuk akal ini, saya mau tidur, besok jangan terlambat hadir untuk gladi bersih acara wisuda kita."
"Iya, " jawab Ratna.
Sejak itu telepon mereka selesai, Tori memanggil anaknya untuk duduk bersama di ruang tamu. Lalu Sari datang menemani, dengan membawa potongan buah apel sebagai kudapan, setelah makan malam.
"Ada apa, Pa?" Sari memandang khawatir pada anaknya, " apa mau membahas masa depan saya lagi?"
"Sebenarnya bukan membahas, nak. " Tori mengambil potongan buah lalu memakannya, "hanya ingin tahu rencanamu ke depan."
"Saya sudah cukup dewasa, kenapa saya harus memberitahu rencana masa depan pada Papa?"
"Kamu tetap anak di mata orang tuamu, jadi papa harus tahu kemana kamu akan bekerja nanti?"
Sambil menatap kedua orang tuanya, Ratna berkata, "saya sudah memberi dokumen data diri untuk melamar di suatu perusahaan."
"Tunggu sebentar, Pa." Ratna menahan Tori yang ingin memotong pembicaraan, " saya tidak akan memberitahu sampai saya telah diterima kerja di sana. Tolong menerimanya, Pa ... saya mau menunjukkan kemandirian. Jadi tolong, hargai keputusan saya kali ini."
"Baiklah. " Tori bangkit berdiri dan mengelus kepala Ratna, " papa percaya kepadamu."
"Terima kasih, Pa." Sari ikut tersenyum saat melihat anaknya memberinya senyum, lalu ia menyuapi potongan buah ke dalam mulutnya.
Pada keesokan harinya, persiapan terakhir sebelum memakai toga kehormatan. Setiap anak dari berbagai program studi hadir di ruangan yang akan menjadi saksi kelulusan mereka, dimana mereka sudah bekerja keras selama beberapa tahun belajar.
"Ratna belum datang?" tanya saudara kembarnya Yuni.
"Biasanya dia hadir lebih cepat," jawab Tasya.
"Jangan-jangan dia ketiduran?" ujar Yani menambahkan.
"Tidak mungkin, apa dia ketiduran?" kesal Joko sambil mencari keberadaan Bagas, dari ribuan anak yang sedang duduk.
"Joko!" seru Yani memanggil, dia sedang berdiri di sampingnya. " Dari mana kamu?"
"Dari rumah, saya kira sudah terlambat. Bersyukur, ternyata belum dimulai. Apa kalian melihat Bagas?"
"Melihat siapa? Yang kami cari saja, juga belum hadir. Apalagi dia, " jawab Tasya.
"Jangan-jangan Ratna dan Bagas datang terlambat?" tambah Yuni.
Mereka menganggukkan kepala bersamaan. " Kamu benar, tuh lihat, yang kita bicarakan sudah datang." Mereka menoleh ke arah belakang, dan menganggukkan kepala bersama.
"Jam berapa ini?" kesal Joko pada Bagas, saat mereka berdua hendak menyapa mereka.
"Datang di jam seperti ini, sungguh tidak menghargai pentingnya waktu. Generasi macam apa kalian?" Ratna memandang kesal pada Tasya yang terus mengomel, hingga mereka ikut bergabung duduk di samping mereka berempat.
"Kami hanya terlambat beberapa menit, kenapa kami seakan melakukan dosa selangit?" Saat Tasya mau menanggapi Ratna, pelantang suara sudah memperdengarkan suara pembawa acara di podium.
"Kita akan memulai saja acara persiapan wisuda tahun 1980. Tolong diharapkan para mahasiswa duduk sesuai program studi, dan saat pemanggilan nama dapat maju ke podium agar dapat memperagakan proses pemindahan tali toga."
Sorak tepukan tangan semua anak, menjadikan pembawa acara memulai acara. Berawal dari salam pembuka dari Rektor Universitas, lalu diteruskan dengan pemanggilan nama satu per satu. Pertama dari prodi kesenian, hingga yang terakhir prodi ekonomi.
"Ratna Sucipto," ucap Pembawa Acara memanggil. Ratna bangkit berdiri dan berjalan menuju podium, seiring itu juga setiap mata tertuju padanya. Tentu ada pandangan yang tidak lepas darinya, seakan menghipnotis mereka agar tidak memandang ke arah lain, padahal ada orang lain yang ikut berjalan beberapa langkah di belakang Ratna.
Dia terlihat bersinar di mata Raka, masih belum bisa melupakan kebersamaan yang pernah terjadi di antara mereka. Tidak sengaja, kedua mata Ratna dan Raka bertemu dalam satu titik. Ujung bibir Raka terangkat sedikit, senyuman manis dia layangkan padanya, lalu dibalas tatapan dingin dari Ratna. Dia tertunduk kecewa, sedang Patricia yang berada di sebelahnya memukul lengannya. Itulah rasa cemburu Patricia, yang tentunya tidak dipedulikan oleh Raka.
Raka kembali melihat prosesi gladi bersih yang sedang dilakukan, dia melihat ada yang aneh dengan gaya jalan Ratna. Seperti perkiraan, Ratna terjatuh dari atas podium, saat turun dari tangga.
Semua orang yang terdekat langsung datang menolongnya, Ratna melambaikan tangannya pada mereka. Bahwa dirinya dalam kondisi yang baik, dan tidak perlu khawatir. Tapi tidak saat dia berusaha bangkit berdiri, kaki kanannya terasa sakit.
Semua orang terkejut, melihat aksi Raka yang sigap membopong Ratna. Lalu membawanya ke unit kesehatan kampus. Ketiga sahabatnya dan Bagas hanya memandang kepergian mereka, sedangkan Patricia sedang menggerutu marah di tempat dia duduk. Kejadian itu tidak menghentikan acara gladi bersih, pembawa acara kembali memanggil nama anak dari setiap prodi yang akan diundang maju ke depan.
"Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya Raka khawatir saat melihat tungkai kaki kanan Ratna membengkak kemerahan. "Apa dia bisa berjalan?"
"Jangan khawatir, kakinya cukup dikompres dengan air dingin." Jawaban dokter tersebut meringankan rasa khawatir Raka. "Saya akan memberikan krim pereda rasa nyeri, agar kamu bisa berjalan dengan nyaman di atas podium saat hari wisudamu."
"Terima kasih, " balas Ratna pada dokter tersebut. Belum juga ada pembicaraan di antara mereka, Raka pergi mengambil handuk untuk mengompres kaki Ratna.
Tidak berselang lama, dia sudah berada di depan Ratna. Membungkus es batu dengan handuk, lalu menaruhnya di kakinya yang memerah. Rintihan sakit keluar dari mulutnya, hingga Raka menarik kembali handuk tersebut, "maaf."
Keheningan sesaat meliputi mereka, hingga Ratna berbicara, "kenapa kamu melakukannya?"
"Apa maksudmu?"
"Yang kamu lakukan sekarang ini."
"Saya menyukainya, maka saya melakukannya."
"Kamu sudah memiliki seseorang yang harus diprioritaskan."
Tatapan tajam Raka, membuat Ratna terdiam sejenak, " Tidak ... kamu yang menjadi prioritas saya, saat ini. Tunggu sebentar, saya mencuci ini."
Saat Raka pergi, Bagas datang menjenguk. "Ratna? Bagaimana dengan kakimu?" tanyanya saat membuka tirai penutup.
"Bagas?"
Dia melihat kaki Ratna, " kelihatan kemerahan."
"Jangan khawatir, besok pasti akan lebih baik."
"Tanganmu ... tunggu sebentar, " Bagas pergi meminta obat luka dan cairan pembersih.
"Sini, tanganmu." Ratna mengulurkan tangannya, dan Bagas mulai membersihkan dan mengobatinya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Raka ketika dia hadir di antara mereka.
"Apa tidak salah? Seharusnya pertanyaan itu buatmu," jawabnya ketus terhadap Raka.
"Baiklah. Kalau begitu, saya permisi."
"Tunggu!" Ratna menahan kepergiannya. "Ada hal yang mau saya bicarakan pada Raka, apa kamu bisa tinggalkan kami berdua?"
Bagas memandang mereka berdua bergantian, lalu bangkit berdiri dan pergi meninggalkan mereka.
"Apa yang ingin kamu bicarakan?"
"Saya ingin kamu berhenti, perhatian dan sebagainya. Dan fokus saja terhadap Patricia, dengan begitu kita bahagia."
"Apa kamu bahagia?" tatapannya begitu mendalam terhadap Ratna. Waktu terasa berhenti sesaat, Ratna tahu Raka masih menyukainya, dan begitu sebaliknya.
Dia menyadari bila dia kembali bersama Raka, dirinya akan mempersulit kehidupan Raka. Terlebih lagi sekarang keadaan perusahaan milih Ayahnya sudah stabil, dan sebentar juga dia akan menikahi Patricia. Itu tidak akan berhasil merubah keadaan.
"Saya bahagia." Dia tersenyum melihat Raka, "sangat bahagia."