"Maryam Azalea : Tidak Naik Kelas."
Abah mengeja nilai ujian kenaikan kelas Ning Tengil dengan sangat jelas. Aku hanya bisa meneguk sisa ludah yang belum sepenuhnya kutelan. Yang ada dalam benakku saat ini adalah, hukuman menanti.
Tidak! Aku tidak begitu takut dengan bentuk hukuman yang ditetapkan untuk para santri yang melanggar aturan di pesantren ini. Aku takut, sebab hukuman untukku berbeda. Jika melakukan kesalahan, hukumanku adalah tidak boleh mendampingi Abah menemui tamu. Aku diharuskan fokus mengasuh Ning Tengil. Itu petaka.
Sebenarnya, aku sudah cukup kebal dengan tabiatnya. Kusebut petaka terlebih karena menemani Abah menemui tamu seperti hadiah teladan akhlak mulia.
Bagi santri biasa sepertiku, sering bertemu kiai-kiai seperti oase jiwa. Aku tidak masalah direpotkan oleh Ning kapanpun, selagi tidak mendapatkan hukuman.
Kulihat Abah menutup buku rapor itu, kemudian mengatur napas yang mungkin baginya terasa berat.
"Kang Bimo, tolong jelaskan pada Abah. Kenapa nilai Ning Maryam sangat cantik?"
Aku kembali menunduk dalam, menerkuri lantai tak berani menatap sosok di hadapanku ini. Meski ucapan seorang panutan para santri ini selalu lembut. Bahkan, ketika kecewa seperti sekarang ini, nada bicaranya tidak terdengar seperti orang yang sedang marah.
"Em. Anu ... itu, Bah." Aku tergagap.
Belum sempat aku menjawab, terdengar bunyi pletok amat keras yang memekakkan telinga. Bunyi yang sedikit mirip dengan tembak-tembakan itu sangat mengagetkan. Bahkan, Kiai di hadapanku ini sampai mengelus dada.
Sebenarnya, itu bunyi mainan yang terbuat dari bambu, dengan pluru biji-bijian, atau kertas yang digulung padat. Sebuah mainan tradisional bernama pletokan. Santri dari daerahlah yang seringkali mengajari putri Abah membuat mainan tanpa harus mengeluarkan uang.
Ning Tengil mulai berulah, itu pasti karena tidak ada teman bermain. Ini masih jam para santri di sekolah, asrama sudah jelas kosong.
Santri yang masih duduk di bangku SMP dan SMA baru akan menerima rapor minggu depan. Hari ini sepertinya banyak yang memiliki jadwal remedial.
"Kang Bimo, sudah tiga kali Ning Maryam tidak naik kelas. Kang Bimo betul-betul mengantar Ning sampai sekolah, bukan?"
Untuk pertama kali, selain di jam mengaji, kudengar Abah berbicara panjang lebar. Kedua mata ini meliriknya sekilas. Abah memejamkan mata.
Aku tertunduk semakin dalam, tidak berani menjawab.
"Kang Bimo! Ayo bermain," ajaknya antusias. "Pletokan Ning Tengil sudah jadi. Ning membuat dua, satu untuk Kang Bimo."
Kali ini aku yang memejamkan mata. Ning betul-betul tidak mengerti situasi dan posisiku yang terancam dihukum.