Nini Curug

Kala Senja
Chapter #2

Aroma Amis

Rumah dengan papan kayu berdiri kokoh di tepi pemukiman, pemilik rumah itu rupanya sepasang suami istri dengan beda usia cukup jauh. Suka duka mereka lewati bersama di gubug kehangatan. Rasa sedih sudah tidak mampu menembus dinding hati yang telah kokoh, dari segala jenis cacian, makian, dan hinaan telah mereka berdua telan mentah-mentah. Setiap manusia yang hidup di dunia ini, tidak ada yang meminta untuk ditakdirkan menjadi miskin. Semua memang sudah ada jalannya masing-masing.

Sekuat terpaan angin badai menerpa, pohon dengan akar yang kokoh tidak akan mudah tumbang. Namun sekuat-kuatnya akar pohon mencengkram erat tanah dan batu, tidaklah daun, batang, dan ranting pohon itu sekuat akar yang terlindungi oleh dalamnya tanah yang menimbunnya. Ibarat hati, sekuat-kuatnya hati menjaga perasaan, pastilah raga tidak akan sanggup untuk menahannya.

Kehidupan sepasang suami istri itu nampak wajar, tanpa ada suatu hal yang terlihat janggal. Mereka berdua senantiasa bekerja disebuah ladang milik seorang warga. Mereka diperbolehkan menikmati hasil kebun yang mereka rawat, tidak harus membayar atau meminta izin. Memang begitulah kebiasaan warga desa itu. Dari awal kesepakatan, sang pemilik lahan memberikan kebebasan pasangan suami istri itu untuk menikmati hasil kerja keras mereka.

Setidaknya mereka tidak perlu meminta-minta untuk sekadar mengisi perut, masih diberi rezeki oleh sang kuasa lewat tangan manusia. Kebaikan yang orang itu berikan bukan semerta-merta untuk menolong pasangan itu, namun untuk membalas budi yang telah pasangan itu berikan padanya. Karena saat itu, pemilik lahan yang tidak sengaja terkena parang yang ia gunakan untuk menebang semak berduri, yang tumbuh subur dilahan perkebunannya.

Pada saat itu, tidak ada yang mengurus kebun miliknya, akhirnya sang pemilik membersihkan lahan itu sendiri, tanpa bantuan dari siapa-siapa. Karena saat itu, si pemilik lahan baru pindah dari desa seberang untuk mengurus lahan yang tak pernah ia lihat atau bahkan ia urus. Tanah warisan dari orang tuanya.

Pada saat itu cuaca sangat terik, si pemilik lahan rupanya sudah kelelahan dengan segala aktifitas yang ia sedang kerjakan. Dan disaat ia hendak menebang sebuah semak duri yang cukup besar, tak sengaja parang yang ia gunakan untuk menebang semak itu terpelanting ke arahnya. Dan benar, kaki sorang itu terkena parang, dengan luka cukup dalam darah yang keluar pun banyak. Karena cuaca panas pula yang menyebabkan darah lebih cepat keluar dan sulit dihentikan.

Tak ada seorang pun berda di sekitar sana, pria itu dengan sedikit tenaga, memaksa dirinya untuk berjalan menyeret kaki kirinya yang cidera. Dengan susah payah ia berjalan, tak kunjung seorangpun datang dan melihatnya. Pria itu sudah tak sanggup lagi dan akhirnya memutuskan untuk merobek bajunya dan menutupi lukanya dengan kain, supaya menahan keluar darah lebih banyak lagi.

Pucat, wajah pria itu semakin pucat seiring darah yang merembes keluar dari pori-pori kain yang ia gunkan untuk menutupi lukanya itu.

Masih tak seorang pun datang atau sekadar lewat dan melihat pria itu yang sedang sekarat dan mungkin akan segera kehabisan darah lalu meninggal. Pria yang tengah duduk di bawah pohon waru pasrah, dengan apa yang akan terjadi pada dirinya nanti, hari pun semakin sore.

Kebetulan ada sepasang suami istri yang tengah berjalan pulang dari alas wetan. Sang suami membawa dua ikat besar kayu bakar dipundak kanannya, sedangkan sang istri membawa kerindik berisikan daun talas muda, daun singkong, dan cabe rawit dari kebun yang mereka rawat. Dengan topi bambu yang menutupi mereka dari terik matahari sore, mereka berjalan dengan penuh peluh keringat namun tak ada keluh maupun kesah.

Setelah berjalan cukup jauh dari alas wetan, sepasang suami istri itu memutuskan untuk berhenti sejenak dan minum air yang mereka bawa. Mereka memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon bambu yang rimbun di tepi kiri jalan setapak, sang suami melepaskan beban yang berada dipundaknya dan kemudian turun kearah kalen (cabang aliran sungai) untuk membasuh wajahnya dengan air kalen itu.

Saat ia sedang berjalan menuju kalen, ia mencium bau amis yang entah dari mana asal-usulnya. Beriringan dengan embusan angin, aroma amis itu tercium semakin kencang dan sedikit mengganggu.

“Pak, kamu memncium bau amis itu tidak pak?” Tanya sang istri sambil berdiri melihat ke arah suaminya berada.

“Iya bu, tak kira cuman bapak tok yang mencium bau amis,” balas sang suami.

“Seperti bau amis darah bu,” imbuh sang suami.

“Iya pak, apa ada hewan mati dimakan macan lagi pak?”

“Ndak tau bu, coba aku cek dulu sekitar sini ya bu. Kamu disitu saja.” Ucap sang suami mencari kearah sumber bau amis itu.

Lihat selengkapnya