Pagi itu masih seperti biasa tidak ada satu pun yang istimewa di Dukuh Dongkelan, sebuah padukuhan yang masuk dalam Pemerintahan Kabupaten Bantul. Namun, yang setiap harinya memang sudah menjadi hal istimewa adalah secangkir kopi buatan ibu tersayang. Segelas kopi hitam berwadah cangkir blirik besar di meja bundar yang terbuat dari kayu jati, lengkap dengan sepiring kudapan di sebelahnya, ketela kaspi. Setelah memandikan burung-burung perkutut kesayangan yang berharga mahal dan menjemurnya di gantangan, barulah Langkung duduk dan menuang secangkir kopinya. Ditemani lantunan tembang sinom parijata dari radio milik Mataramse Verniging Voor Radio Omroep (MAVRO) yang jadi satu-satunya saluran favorit di Yogyakarta. Sementara itu, dari salah satu senthong, seorang wanita cantik berusia paruh baya yang rambutnya telah sedikit beruban keluar dan memanggil sebuah nama, "Le Tole Langkung, kemarilah ibu ada perlu denganmu."
"Inggih Bu," jawab Langkung yang segera beranjak dari kursi jatinya dan keluar dari senthong tempatnya tidur, lalu bergegas menghampiri sang ibu.
"Ada apa Bu?" tanya Langkung setelah berada di muka ibunya.
"Le, anak perjaka sudah siang bolong begini masih belum keluar dari senthongmu, mau jadi apa kelak Kowe?"
"Semalam saya menonton pagelaran ringgit hingga subuh baru pulang bu, bersama Adi Langsam," jawabnya segera.
"Ya sudahlah, segeralah mandi lalu ikutlah ramamu, beliau hendak menengok cabang-cabang usaha meubel yang dikelola anak-anak asuhnya yang sekarang sudah mulai berjalan. Sudah sana bergegaslah, jadi anak kakung harus yang rikat biar jodohnya tidak kabur diambil pria lain," tutup sang ibu.
"Wah, lha kalau saya prinsipnya, alon-alon waton kelakon je bu," bantah Langkung.
"Wis sudah, ayo segera berangkat sana, jangan suka membantah orang tua," sergah ibunya.
Tanpa berani menjawab lagi Langkung hanya tersenyum lalu beranjak dari depan ibunya. Di halaman belakang samping kiri gandok, terdapat sebuah sumur. Setelah melongok sejenak ke dalam sumur yang tidak terlalu dalam yang hanya berkisar lima depa, ditimbanya beberapa batok air dengan menggunakan kerekan beroda. Setelah penuh wadah berisi air itu diangkatnya ke dalam pakiwan yang terletak di belakang pawon.
Setelah selesai mandi dan berpakaian rapi serta bersepatu, Langkung menuju halaman depan pendopo, disana nampak seorang supir yang sudah menunggu di depan sebuah mobil Chrysler Imperial E80 Phaeton dan di dalamnya nampak duduk seorang pria paruh baya bernama Wangsadiharja yang tak lain adalah bapak dari Langkung. Wangsadiharja nampak berulangkali melihat jam tangan rolex oyster yang dikenakannya, dan nampak tersenyum lega setelah melihat salah seorang putranya yang bernama Langkung itu telah muncul meskipun ia nampak berjalan santai dari arah pendopo. "Bergegaslah Gus..!" seru Pak Wangsa kepada Langkung, yang disambut dengan lari-lari kecil dari Langkung ke arah kendaraan itu.
Sesaat kemudian kendaraan itu melaju ke arah selatan menuju beberapa tempat di Kabupaten Bantul yang menjadi sentra industri meubel. Di depan salah satu sentra industri, mobil itu berhenti, dan kedua penumpangnya pun turun setelah pintu mobil dibukakan oleh Mas Tarjo, supir keluarga Pak Wangsa.
Begitu kedua bapak dan anak itu keluar dari mobilnya, nampak daun pintu kuputarung dari sebuah toko meubel terbuka dan seorang pria keluar menyambut tamunya sambil berujar, "Mari silahkan Ndara, sudah saya arep-arep kedatanganya."
"Ah Adi Atma, jangan panggil ndara-ndara begitu, risih kupingku mendengarnya, panggil namaku saja," berkata Wangsadiharja.
"Wah Panjenengan ini memang selain suka membantu sesama juga terkenal sosok yang lembah manah, dari dulu tidak suka membedakan status ekonomi dan sosial, menganggap setiap orang duduk sama rendah berdiri sama tinggi, benar-benar mirip tokoh Werkudara dalam Mahabarata," lanjut Atma memuji.
"Menolong sesama yang perlu pertolongan itu sudah semestinya dilakukan setiap orang. Semestinya jika sudah menjadi kebiasaan semua orang tentu bukan menjadi hal yang aneh lagi, bukan begitu Gus..Langkung?" tanya Pak Wangsa kepada anaknya tiba-tiba.
Langkung yang tiba-tiba saja merasa disisipkan ke dalam obrolan dua orang tua itu nampak terkejut, matanya sedang asik mengamati lukisan andong beserta kuda yang tergantung di tembok bata toko itu. Sesaat kemudian ia memalingkan wajahnya dan dengan tergagap ia pun menjawab, "Eh iya Rama..."
"Apanya yang iya? dari tadi kulihat sibuk sendiri memandangi lukisan, coba kemari beri salam paman Atma ini," berkata Pak Wangsa kepada anaknya.
"Sugeng enjang Paman Atma," ucap Langkung.
"Iya Nak Mas sugeng rawuh di gubuk kami, mari silahkan duduk Mas Wangsa, Nak Langkung," berkata Atma kepada tamu-tamunya.