Ramalan Sri Jayabhaya yang dipercayai masyarakat saat kedatangan Nippon ke Jawa, "Akan datang bangsa berkulit kuning dari utara, berperawakan tidak tinggi, pendek pun juga tidak. Mereka itu nanti akan menduduki tanah Jawa, tetapi hanya seusia tanaman jagung. Dan akan kembali ke negerinya sendiri, sedangkan tanah Jawa akan kembali dikuasai anak negeri sendiri pula." Demikianlah isi perbincangan warga sehari-hari di warung dan kedai kopi pinggiran pojok benteng kulon dan timur Keraton Yogyakarta. Demikian pula dengan saluran radio Mataramse Verniging Voor Radio Omroep (MAVRO) yang sejak kedatangan Nippon selalu menyiarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya dengan bebas, membuat rakyat pribumi semakin percaya dengan kemerdekaan mereka yang akan segera menjadi kenyataan sesuai ramalan itu.
Namun, yang terjadi setelahnya di bulan September 1945, ternyata Jepang mengumumkan melalui saluran-saluran radio, bahwa mereka akan menyerahkan Jawa kembali kepada Hindia Belanda melalui NICA. Netherlands-Indies Civiele Administration sebuah organisasi semi-militer yang didirikan di Australia pada bulan April 1944, NICA bertugas mengembalikan pemerintahan sipil dan hukum yang sempat diduduki Jepang kepada pemerintahan Hindia-Belanda.
Akibatnya, masyarakat di segenap pelosok menjadi gaduh dan bersiap terhadap segala kemungkinan yang terburuk, agresi militer dan pertumpahan darah. Tak terkecuali keluarga besar Pak Wangsa yang anak pertamanya bernama Langgeng telah bergabung menjadi anggota PETA, Pasukan Pembela Tanah Air. Namun, berbeda dengan Langkung yang sibuk menekuni dunia usaha yang digelutinya dari bantuan Pak Wangsa. Usaha di bidang transportasi yang digelutinya itu, kini telah memiliki delapan unit andong dengan dua puluhan kuda yang dipelihara sebagai penggeraknya. Termasuk salah satu kudanya yang jago lari dan selalu menang taruhan balap kuda yang bernama Si Pelo. Pernah suatu ketika setelah dimandikan di pinggir sungai yang berdekatan dengan rel kereta api, Si Pelo yang asyik berjemur menunggui tuannya mencari rumput, tiba-tiba saja ia meloncat kabur dan lari ketakutan secepat tatit setelah mendengar suara sirene kereta api yang datang. Tali kekang Si Pelo yang dibuat panjang disampirkan dan diikat di kaki Langkung, supaya gampang menangkap kalau kudanya hendak lari pikirnya. Akibatnya Langkung justru terseret oleh kudanya hingga sarungnya pun tertinggal di tepian rel karena tersangkut pagar bambu dan ia pulang hanya mengenakan cawat.
Sementara itu, Langgeng saudara tertua dari Langkung yang kini telah menjadi prajurit reguler Tentara Keamanan Rakyat dan telah terlibat pula dengan berbagai pertempuran melawan Sekutu, Nica, dan anggota KNIL yang menolak bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat yang sebelumnya bernama Badan Keamanan Rakyat. Sedangkan adik laki-laki dari Langkung yaitu Langsam, dan Dalikin masih bersekolah di HIS. Langkung pun sebenarnya telah beberapa kali diajak untuk bergabung dan dilatih menjadi prajurit sandi yang kala itu di bawah komando Mayor Suharto. Namun, saat itu Langkung belumlah begitu berminat karena diberikan tanggungjawab mengurus usaha milik keluarganya. Sedangkan saudara perempuannya yang lebih tua bernama Langkep dan adik perempuan bungsunya yang bernama Dalinah masih balita.
Seperti biasanya, pada malam hari para laskar bergerilya dalam regunya dan menyerang pos-pos pertahanan NICA, menjelang subuh para laskar segera berpencar dan menyembunyikan senjata dan seragam mereka. Hingga pada suatu pagi menjelang siang, Langkung menemukan seragam tentara milik Langgeng yang direndam dan disembunyikan dalam blumbang di dekat rumahnya. Melihat baju yang basah kuyub itu, Langkung segera mengambil dan mengenakannya, "Lumayan dingin bisa buat ngarit di siang bolong," demikian pikirnya dalam hati. Maka berangkatlah Langkung mencari rumput untuk kuda-kudanya dengan mengenakan seragam tentara milik kakangnya itu. Gagah memang, tukang ngarit berseragam tentara.
Hari pun beranjak menjadi siang, ketika di tempat biasanya Langkung sedang asyik mengayunkan sabitnya, menebas rumput-rumput yang gemuk di pinggiran rel kereta api. Tanpa disadari olehnya, beberapa tentara NICA dan KNIL sedang beroperasi menyisir wilayah itu. Para tentara itu sedang dilanda kegusaran dan kekesalan akibat serangan para gerilyawan di malam sebelumnya yang banyak memberikan kerugian bagi mereka. Salah seorang dari mereka tanpa sengaja menemukan sosok Langkung yang sedang berjongkok mencari rumput. Mata para tentara itu seolah melotot keluar melihat pakaian yang digunakan oleh sosok yang dilihatnya itu, maka berteriaklah mereka, "Hé kijk, er zijn soldaten van mensen verstopt, we zullen ze snel vangen!"
Sejenak kemudian terdengar letupan senapan ke arah atas, rupanya sengaja mereka lakukan agar orang yang diduga gerilyawan itu tidak kabur. Namun, bukannya menyerah, Langkung justru berlari kabur dengan cara zig-zag diantara pohon dan semak yang dilaluinya demi menghindari tembakan-tembakan peluru ke arahnya. Bahkan masih juga sempat sesekali Langkung mengejek dan mempermainkan orang-orang bule itu dengan gestur badan bawahnya yang digoyang-goyangkan sedemikian rupa seperti seekor menthog betina.
Para serdadu NICA itu benar-benar menjadi jengkel karena bidikannya yang meleset. Mereka pun berteriak dengan segenap kemarahan yang dimilikinya. Para serdadu itu terus mengejar hingga masuk sebuah padukuhan. Langkung akhirnya berhasil mencapai halaman rumah yang luas, ketika ditemuinya sebuah blumbang, ia pun meloncat dan menyeburkan diri kedalamnya. Sementara para serdadu itu, berulang kali mengaduk-aduk blumbang tempat Langkung menyelam dan bersembunyi di dalamnya.
Para serdadu itu tadinya merasa yakin bahwa Langkung menyeburkan diri ke dalam sana, namun setelah tiga puluh menit tak kunjung muncul mengambil nafas, mereka dengan raut muka jengkel meninggalkan tempat itu. Bahkan sebelum pergi, para serdadu itu memberondong blumbang itu dengan tembakan berkali-kali. Tak mendapatkan buruannya yang selicin belut itu, mereka menyerah dan beranjak pergi. "Er is niemand in Blumbang, laten we ergens anders kijken," berkata pimpinan regu kepada anak buahnya.
Tak selang berapa lama setelah kepergian para serdadu itu, Langkung muncul dengan basah kuyub dari dalam blumbang itu. Untunglah Langkung sering melatih dirinya menyelam di sungai untuk mencari udang atau sekedar berpura-pura menjadi ular sungai untuk menjahili teman-temanya gadis desa yang sedang mandi atau mencuci di sungai. Sehingga ia memiliki kemampuan menahan nafas di dalam air dengan cukup kuat dan tahan lama.
Penduduk padukuhan begitu gempar mendengar berita dari mulut ke mulut, tentang kabar Langkung yang dikejar dan ditembaki oleh para serdadu. Kabar yang beredar pun, Langkung telah mati di tembak NICA. Bahkan Langgeng langsung keluar dari persembunyiannya demi mencari adiknya itu. Ketika ditemuinya Langkung dalam kondisi selamat, legalah hati Langgeng.
"Kowe ini bagaimana, seragamku tak sembunyikan di blumbang kok malah kamu pakai ngarit mencari rumput?" tanya Langgeng.
"Lha tak kira, lha wong baju masih bagus kok tidak dipakai malah direndam. Lha apalagi panas-panas begini kan adem to ngarit memakai baju dingin Kang," jawab Langkung.
"Wah, lha Kowe memang sembrono kok Le, untung tidak sampai tertangkap. Seumpama tertangkap bisa tidak pulang kamu. Sudahlah ayo ikut aku pulang jangan buat khawatir orang di rumah," lanjut Langgeng.
Sesampainya di rumah, Langgeng segera meminta baju yang dipakai Langkung. Segera dilepasnya baju itu dan diberikan kepada kakangnya. Namun sejenak kemudian keduanya nampak terkejut melihat banyaknya orang di sekitar rumahnya. Mungkin mereka terlampau mengkhawatirkan Langkung pikir Langgeng.
Ketika langkah kakinya semakin dalam dan melewati pendopo, semakin terasa berdebar hati mereka berdua. Sejenak kemudian seorang anak perempuan kecil berlari ke arah mereka. Anak itu sambil menangis berkata, "Kang..ibu kang..ibu sedha."
"Heh kenapa tiba-tiba ibu meninggal?" bertanya Langgeng.
"Ibu sakit jantung, kaget mendengar suara tembakan dan kabar Kakang Langkung ditembak orang Belanda, Ibu mengira Kakang sudah mati ditembak," sambung seorang gadis lain yang berdiri di belakang bocah itu.
Betapa sedihnya Langkung dan Langgeng yang kehilangan ibu yang disayanginya itu. Begitu mendadak dan tidak disangka-sangka. Kemarin sore, di pringgitan rumah mereka masih sempat bercengkerama dan bercanda. Sungguh tidak disangka begitu singkat kebersamaan itu.
"Masuklah, Rama menunggu kalian berdua di dalam senthongnya," tiba-tiba gadis yang tadi bicara di belakang bocah itu menegur dan menghentikan lamunan mereka. Gadis itu ialah adik dari Langgeng dan Kakak dari Langkung, ia bernama bernama Langkep. Lebih tepatnya ia adalah anak nomor dua dari keluarga Wangsadiharja.
Segera keempat kakak beradik itu menuju senthong tempat bapak dan ibu mereka beristirahat. Sementara di dalam senthong telah menunggu Pak Wangsa dan anaknya yang lain yaitu Langsam adik dari Langkung.
Nampak raut wajah yang penuh dengan duka dari Pak Wangsa, yang ditinggalkan istri tercintanya secara mendadak.