Perang yang terus menerus berkecamuk akibat proklamasi dan agresi militer menyebabkan kondisi perekonomian di Jawa termasuk Yogyakarta menjadi seret. Termasuk keluarga pemborong dan pengusaha seperti Pak Wangsa. Banyak proyek pembangunan dari Karisidenan yang tersendat dan berhenti karena gangguan akibat peperangan. Demikian pula dengan usaha meubelair yang ikut kembang kempis akibat peredaran uang yang lebih diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan pokok.
Satu-satunya yang menjadi andalan sekarang adalah usaha transportasi andong yang digeluti anak ketiga dari Pak Wangsa. Pagi sekali Langkung sudah janggol di pasar legi Kutogedhe menantikan penumpang yang berbelanja. Biasanya ia mendapat empat hingga lima penumpang sebelum bedug lohor. Namun hari ini agak berbeda, karena semalam terjadi baku tembak antara gerilyawan pro kemerdekaan melawan gabungan NICA, Sekutu, dan loyalis KNIL. Rupanya penduduk masih belum berani keluar dari rumahnya akibat kejadian semalam. Para warga justru khawatir dengan penyisiran oleh pasukan patroli yang mencari keberadaan gerilyawan di siang hari.
Hari semakin menuju siang, tak segera mendapat penumpang, Langkung pun beranjak meninggalkan pasar legi menuju pasar burung Ngasem. Sambil menunggu penumpang, ia bermaksud mencari hiburan yang menarik disana, apalagi kalau bukan burung kegemarannya, perkutut.
Sesampainya di pasar burung Ngasem, diparkirnya andongnya diantara beberapa andong lain yang lebih dulu datang. Ia lalu mendatangi kerumunan beberapa pengunjung pasar yang asyik mengomentari burung perkutut yang dipamerkan disana.
Perkutut bersuara merdu itu menurut pedagang yang menjualnya merupakan ciri perkutut Gendawa Sabda. Perkutut Gendawa Sabda dapat memikat perkutut lain dan mendatangkan rejeki bagi pemiliknya. Langkung tersenyum saja setelah melihat ciri dari perkutut itu. Adalagi yang lain, perkutut Mercuci, bermata kuning dan sipit, menurut penjualnya yang memilikinya bakal diakrabi banyak orang dan murah rejeki. Sekali lagi Langkung tersenyum saja ketika mendengar harga-harga yang ditawarkan sebagai penebus burung-burung itu. Mahal.
Langkung beralih dan melihat-lihat ke tempat kios yang lain, kali ini ia ditawari perkutut jenis Sangga Buwana, dengan ciri terdapat sehelai bulu putih dipunggungnya. Menurut penuturan sang pedagang, pemiliknya akan mendapat banyak rejeki. "Tanpo nyambut damel nggih mas?" tanya Langkung.
"Wah nggih mboten to mas..." jawab pedagang itu lirih.
"Eeee..." ucap Langkung sambil tersenyum.
Tak selang berapa lama kemudian, Langkung tanpa sengaja berdiri berjajar dengan dua orang asing yang tempo hari berkelahi dengannya gara-gara hal sepele, jamu super. Ketiganya asyik memandangi beberapa burung di depannya. Burung berparuh bengkok yang konon berasal dari Benua Australia, burung parket, Konon Kapten Cook lah yang melihatnya pertama kali. Kemudian setelahnya, penulis Zoologi of New Holland memberinya sebutan melopsittacus undulatus, yang artinya burung betet penyanyi dan bercorak gelombang. Kemudian di Hollandia dikenal dengan nama undulated grass parket, begitulah konon riwayatnya.
Ketiganya tanpa sadar dan saling mengenali asyik ngobrol seolah kawan lama yang saling mengenal, dunia burung memang seperti halnya rokok, persahabatan tanpa batas kawan dan lawan. Setidaknya untuk sementara waktu.
Hingga tibalah sebuah percakapan, "Ini burung bagus berwarna-warni asli burung dari Holand," ucap seorang diantara bule itu.
"Ya, tidak seperti burung Jawa yang hitam dan dekil," sahut rekannya yang juga asyik memandangi burung itu disebelahnya.
"Tapi suaranya tak kan semerdu burung Jawa macam perkutut, derkuku ataupun puter Tuan," sergah Langkung yang juga masih belum sadar wajah kedua orang itu.
"Ya, burung Jawa memang bersuara panjang karena mereka suka diminumi jamu oleh pemiliknya," berkata salah seorang bule itu.
"Mungkin, jika burung parkit ini diberi jamu kuat juga dapat bernyanyi panjang macam burung Jawa," jawab temannya.
"Bukan burung saja, di Jawa para pria dewasa yang telah beristri juga suka minum jamu kuat," ucap bule itu sambil tertawa.
"Asal bukan jamu daun kumis kucing Tuan," potong Langkung.
"He memangnya kenapa dengan kumis kucing atau remujung?" tanya orang bule itu polos.
"Kumis kucing atau remujung itu kaku dan tegang akan tetapi ketika disentuh ia langsung beringsut Tuan," jawab Langkung sambil tertawa geli. Kedua orang bule itu, dan juga beberapa pengunjung pasar Ngasem pun yang mendengarnya menjadi tertawa terbahak-bahak.
"Tapi bagaimana bisa menentukan burung mana yang lebih bagus kalau tidak diadu?" berkata orang lain yang ada diantara Langkung dan dua orang bule itu.
"Oh, ini bukanlah pelhoender ataupun ayam jago di arena kalangan sabung ayam, bagaimana bisa hendak diadu?" bertanya salah seorang bule itu.
"Ha, lagipula ayam jago dari Belgia itu takkan menang, jika diadu dengan ayam jago Jawa, sebab ayam Jawa selalu diberi minum jamu dan diberi mantra," berkata temannya.