NIRMALA

Abdul Khalim
Chapter #2

2. Liontin Bercahaya Merah

LIONTIN BERCAHAYA MERAH

 

Bagai Cinderella, Nirmala berjalan menyusuri lorong-lorong SMA tempat Ranggas bersekolah. Sambil menyunggingkan senyum, Nirmala mendekap bucket besar berisikan kumpulan berbagai jenis bunga mawar dan sebuah hadiah yang ia bungkus dengan kertas warna-warni. Tampilannya kali ini lebih mencolok. Make-up nya ia pertebal, rambutnya ia gelung di bagian bawah, dan ada yang sedikit berbeda, ia kali ini memakai rok maksi, desain yang minimalis tapi tak menghilangkan keanggunan pemakainya. Di pinggangnya, pedang bersarung emas dan kotak lebah ia pakai juga. Sebenarnya ia ingin meninggalkan pedang itu, tapi ia yakin, bahaya akan selalu ada dan dia harus siap akan hal itu. Ia berjalan dengan langkah sempit karena ia sengaja memakai sepatu dengan hak yang lumayan tinggi.

 Berbekal peta yang terpampang di halaman sekolah, Nirmala berniat menuju sebuah gedung olahraga yang letaknya di belakang sekolah. Tak henti-hentinya ia melihat ke kaca-kaca jendela untuk mengecek penampilannya tetap pada taraf maksimalnya.

Tibalah Nirmala di muka gedung olahraga. Telinganya mendengar riuh tepuk tangan yang menggema dari dalam. Ia menghela nafas, merapikan poni lalu kembali melanjutkan langkah. Di depan gedung, berjajar stand-stand dan karya-karya para siswa. Beberapa kali ia ditawari berbagai produk oleh penjaga stand. Akan tetapi ia menolak karena memang ia tak memiliki uang sepeserpun. Ia sempat dihadang oleh seorang petugas di pintu masuk.

“Silahkan tulis nama di atas buku tamu ini.” Seorang penjaga wanita berumur kira-kira tiga puluh tahunan menyodorkan sebuah buku besar dengan sampul tebal bergambar batik parang.

Nirmala menyipitkan mata. Ia masih belum terbiasa dengan tatanan di kehidupan nyata. “Baiklah.” Katanya kemudian mengambilkan pulpen lalu menuliskan nama dan tanda tangannya di dalam buku.

Ketika Nirmala sedang menuliskan nama dan tanda tangannya, petugas di depannya terus mengamati penampilan Nirmala lalu celingukan seakan mencari sesuatu. “Apa yang anda cari?”

“Ah tidak.” Jawab petugas sambil senyum-senyum karena heran. “Anu… minta maaf….Saya cuma mau tanya, apakah anda datang bersama adik atau mungkin malah sudah memiliki anak?”

“Hah?!” Nirmala tercengang.

“Itu.” Petugas pintu masuk menunjuk ke arah pedang dan kotak lebah yang tergantung di pinggang Nirmala. “Bukankah itu mainan anak-anak?” imbuhnya.

“Heh?!” Kali ini Nirmala tampak kesal. “Memangnya ada mainan seperti ini?” Sriiing! Nirmala menarik pedang dari sarungnya dengan sangat cepat. Bilah pedang itu mengkilap terkena cahaya dari luar gedung. Ia juga menggesekkan ujung pedang ke lantai. Orang-orang di sekitarnya sontak terkejut dan menjauh darinya. Nirmala mencondongkan tubuhnya lalu mengarahkan ujung pedangnya ke depan muka petugas. Dengan alis teradu dan hembusan nafas berat, ia berkata dengan nada yang sangat rendah. “Masih mau bilang ini mainan?”

Petugas pintu masuk hanya bisa melongo karena ujung pedang milik Nirmala terlihat sangat tajam. “Maaf! Saya minta maaf….” Ia memelas.

Nirmala menyarungkan kembali pedangnya. Ia menghela nafas lalu menyunggingkan senyum yang dipaksakan. “Bolehkah saya masuk?” Ia menempelkan telapak tangannya di samping mulut. “Saya harus ketemu pacar saya.” Bisiknya.

Petugas pintu masuk itu hanya bisa mengangguk disertai kucuran keringat yang telah membasahi kerah bajunya.

“Terimakasih.” Kata Nirmala kembali berjalan sambil menyibak roknya. “Huh! Emangnya aku setua itu?” Bercampur rasa kesal, ia duduk membaur dengan para wali murid.

***

Berulangkali Nirmala menguap karena bosan dengan rentetan acara pada hari itu. Sebernarnya pentas seni dan berbagai ucapan tak begitu buruk, hanya saja kedatangan Nirmala bukan untuk itu, melainkan ia ingin bertemu dengan Ranggas. Sampai ketika kepala sekolah mengumumkan beberapa murid yang masuk jajaran lulusan terbaik dan nama Ranggas ikut disebut, Nirmala beberapa kali mengerjapkan mata.

Dari tempatnya duduk, Nirmala bisa melihat Ranggas dan beberapa murid pilihan telah berdiri di samping panggung.

“Ranggas!” Teriak Nirmala membuat wali murid di sekitarnya seketika menoleh ke arahnya. Ia melambaikan tangannya berharap Ranggas meliriknya. “Halo nek.” Kata Nirmala ketika melihat nenek Ranggas yang duduk di barisan depan juga ikut bingung dengan kehebohan Nirmala.

Pada akhirnya Ranggas bisa beradu tatap dengan Nirmala dari jarak yang lumayan jauh. Ia sempat bingung kenapa Nirmala bisa ada di situ. Akan tetapi ia buru-buru memberi peringatan ke Nirmala karena menjadi pusat perhatian. Sambil menyeringai, mulutnya komat-kamit seperti mengucapkan kalimat peringatan, “Jangan ribut. Malu-maluin.”

Beruntung Nirmala langsung paham. Ia kembali duduk manis sambil terus menyunggingkan senyum.

Sampai ujung acara perpisahan, Nirmala masih saja tak melepas pandangan dari Ranggas. Alhasil Ranggas jadi kikuk ketika berdiri di panggung. Setelah turun dari panggung dan acara ditutup, Nirmala dengan penuh semangat mendekati Ranggas. Ternyata di samping Ranggas telah berdiri nenek Ranggas. Nirmala memberi hormat karena ia tahu betul Nenek Ranggas adalah orang terpandang Mitofia. Nenek Ranggas membalasnya.

“Selamat Ranggas!” Nirmala memberikan bucket bunganya kepada Ranggas.

“Ini terlalu besar Nir. Lagian yang lain juga hanya bucket biasa.” Ujar Ranggas setelah menerimanya. “Bucket buatanmu terlalu romantis. Mana pakai bunga mawar segala.” Ternyata ucapan yang tiba-tiba mengalir begitu saja membuat Nirmala sedikit kecewa. Nirmala cemberut ketika bucketnya tak begitu disukai oleh Ranggas. “Tapi aku suka kok. Pasti bunga-bunga ini kamu ambil langsung dari suku daun kan?”

“Hehe…” Raut wajah Nirmala seketika berubah. Ia cengengesan karena ternyata ada sisi yang Ranggas sukai dari pemberiannya.

Nenek Ranggas mendekati Nirmala. “Ngomong-ngomong, kenapa dirimu sampai ke sini?”

“Jadi begini nek.” Nirmala menjeda, ia menghela nafas dan sempat menatap Ranggas lekat-lekat. “Aku diberi tugas oleh Ibu Suri untuk mengantar kado darinya.” Nirmala menunjuk kado berbentuk kotak yang ia bungkus dengan kertas warna-warni dan ia letakkan di tengah-tengah karangan bunga. “Tapi bukan untuk kelulusan Ranggas, melainkan kata Ibu Suri kado itu untuk ulang tahun Ranggas yang ke-17.” Nirmala terdiam mencoba mengingat-ingat sesuatu. “Oh ya, Ibu Suri juga meminta maaf karena telat memberikan kado ulang tahun untuk Ranggas.”

Nenek mengangguk pelan kemudian melirik ke arah Ranggas yang kini termenung memandangi kado yang kini dalam rengkuhannya.

“Terimakasih banyak karena rela ke sini untuk mengantarnya.” Kata Ranggas dibalas senyum dari Nirmala. “Boleh ku buka?”

“Jangan sekarang!” Cegah Nirmala.

“Kenapa?”

“Gapapa. Cuma…” Nirmala tampak bingung untuk menjawabnya. “Anu… buka di rumah saja. Ma…maksudku biar kamu lebih puas ketika memandanginya.” Ia menatap ke sekitar. Tampak ramai orang-orang yang masih sibuk berfoto untuk mengabadikan momen. “Tuh lihat, rame banget. Takutnya keistimewaan hadiah Ibu Suri terdistraki…hehe.”

“Halah.” Nenek Ranggas mengibaskan tangan di depan muka Nirmala. “Sok-sokan pakai bahasa aneh.”

“Namanya juga masih belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, Nek.” Timpal Nirmala sambil memanyunkan bibir.

“Iya iya aku paham.” Ranggas kembali mengambil arah pembicaraan. “Sekali lagi terimakasih.”

You’re welcome!” Nirmala melebarkan senyumnya sambil sedikit memiringkan wajah.

Lihat selengkapnya