NIRMALA

Abdul Khalim
Chapter #3

3. Keduanya Punya Rahasia

KEDUANYA PUNYA RAHASIA


Ranggas mendapati Nirmala masih tertidur. Ia mendekati tempat tidur, mengambil kursi, lalu duduk di depan Nirmala. Ranggas tahu betul Nirmala pasti sangat marah karena masih dalam keadaan tidur pun, Nirmala masih saja menggenggam pecahan liontin miliknya. Di punggung telapak tangannya, ada tato bunga lily sepanjang dua ruas jari, kira-kira lima senti panjangnya jika diukur dengan penggaris. Kedua mata Nirmala tampak bengkak, make up di pipinya juga sedikit memudar.

Melihat keadaan Nirmala seperti itu, Ranggas jadi merasa bersalah sebab semalam ia sama sekali tak menghargai perjuangan Nirmala, sedikitpun. Ranggas mendekatkan wajahnya dengan wajah Nirmala sampai jaraknya tinggal sejengkal. Secara reflek, Ranggas ingin sekali merapikan poni Nirmala yang terurai menggunakan jemarinya. Belum sempat jari Ranggas bersentuhan dengan rambut, tubuh Nirmala bergerak. Sontak Ranggas menegakkan kembali posisi duduknya. Ia juga salah tingkah berusaha mencari sesuatu untuk ia kerjakan.

“Ranggas?” Kata Nirmala dengan suara sedikit serak. Ia bangkit lalu duduk menghadap Ranggas. “Maaf semalam aku capek banget, terpaksa deh nginep di sini.” Imbuhnya sambil mengucek kedua matanya.

Masih dalam salah tingkahnya, Ranggas gelagapan karena belum siap. “Nggak…nggak papa kok.” 

Nirmala mengerjapkan matanya berulang kali dengan ekspresi seperti orang yang masih menyimpan perasaan kesal. “Kenapa kemari? Bukannya kamu sudah tak mau melihatku ada di sini?”

“Bukan.” Jawab Ranggas sangat tegas. “A…aku…” ia memutar bola matanya kemudian mengarahkan pandangan ke arah jendela. Sambil menuding ke arah jendela, Ranggas melanjutkan perkataannya. “Aku…Cuma…mau tanya kenapa minuman itu kamu buang? Ya! itulah kenapa aku kemari.” Ranggas cengengesan menutup kalimatnya.

“Hmmm…..” Nirmala tersenyum. “Entahlah… Aku merasa tenggorokanku belum terbiasa dengan minuman seperti itu.”

Ranggas beranjak lalu berdiri. Nirmala memandangi gerak-gerik Ranggas yang terkesan aneh. “Ka..kalau kamu belum mau pulang ke Mitofia…” Kata Ranggas sambil menggaruk kepala yang sebenarnya tak gatal. “Mau nggak ku ajak jalan-jalan.”

Nirmala terbelalak. Raut wajahnya tiba-tiba saja berubah. Ia masih belum percaya sikap Ranggas pagi ini sangat berbeda dengan sikapnya semalam. Nirmala mengangguk cepat.

Ranggas celingukan seperti mencari sesuatu. Pandangannya terhenti kepada pedang milik Nirmala dan kotak lebah di atas meja belajarnya. “Tapi kumohon jangan bawa benda itu.” Katanya.

Senyum Nirmala tambah lebar, kali ini disertai tawa kecil. “Baiklah.”

Keduanya saling tatap. Nirmala di tempat tidur, sementara Ranggas masih saja berdiri mematung dengan tatapan kosong.

“Kita harus bersiap sekarang.” Nirmala memecah sunyi. Ia menyibak selimutnya.    

Ranggas tersadar dari lamunannya. Ia merapikan kembali rambutnya.

Melihat Ranggas yang masih tampak bingung, Nirmala melompat dari atas tempat tidur. Lumayan keras ia menapakkan kakinya. “Tunggu apa lagi? Mau di sini terus?”

“Ah iya.” Ranggas salah tingkah. Pikiranya tiba-tiba beku. “Aku ke bawah dulu. Bantu nenek bikin sarapan.” Ranggas mengambil langkah cepat segera keluar dari kamar. Saking groginya, Ranggas secara tak sengaja menutup pintu lumayan kencang.

Sementara itu, Nirmala membuang nafas disertai senyuman. “Apa sih… ga jelas.” Gumamnya.

              ***

“Kehidupan di duniamu ternyata tak buruk-buruk amat.” Ujar Nirmala membuka obrolan setelah dari tadi dirinya dan Ranggas kehabisan topik waktu duduk di depan swalayan yang mana di depannya berjajar kursi-kursi dan meja terbuat dari besi.

“Begitulah.”

Nirmala mengamati ke salah satu deret kursi yang diduduki oleh beberapa anak muda berpakaian serba putih. Sebagian besar dari mereka tengah membuka-buka lembar demi lembar stopmap berwarna merah.

“Itu para pelamar kerja.” Ungkap Ranggas yang juga melihat ke arah pandangan Nirmala.

“Melamar?”

Ranggas menyunggingkan senyum sebagai pengganti kata benar.

Nirmala memasang tatapan sinis. “Kaya mau nikah aja.” Ia menoleh ke arah Ranggas. “Masih lama nggak sih?”

“Bentar lagi mungkin.”

Karena buntu lagi, Nirmala menarik air mineral miliknya lalu meneguknya.

“Tatomu bagus. Aku baru menyadarinya.” Ungkap Ranggas ketika melihat tato bunga mawar yang tertancap sebilah belati. Hanya outline. Tapi justru dari outline itu lah terpampang nuansa simpel nan elegan.

Nirmala berhenti meneguk minumannya. Kedua matanya melebar. Sejenak ia pandangi bagian punggung telapak tangannya. Sesekali ia juga membolak-balikkannya. “Ini tanda pengenal setiap orang yang ber ras bunga. Ketika orang ras bunga telah mencapai usia remaja, para tetua akan membuatkannya tato sesuai dengan keinginan si anak.” Nirmala tersenyum ke arah Ranggas. “Bagus kan?”

“Bagus kok.” Jawab Ranggas singkat. Ia langsung menghela nafas dan membuang pandang ke sembarang arah. “Kenapa kamu memberikan kotak itu padaku?”

Lihat selengkapnya