.
Seluruh mata terfokus pada Niskala. Dunia gadis itu tak lagi sama. Ia bukan gadis desa yang polos lagi. Niskala seorang mahasiswa baru calon sarjana politik. Apa pun yang terjadi dia harus mampu dan sanggup menghadapinya.
Suara kakak tingkat--panitia orientasi mahasiswa baru--riuh bersahutan. Mereka meributkan hukuman apa yang pantas untuk mahasiswa yang belum sah: secara "de facto", meskipun secara "de jure" ia sudah sah, karena de facto mutlak di tangan panitia orientasi mahasiswa baru--begitu klaim para kakak kelas itu.
"Suruh nyanyi!"
"Terlalu ringan, kayak anak SD!"
"Bersihin toilet!"
"Ada petugasnya!"
"Suruh belanja ke bawah!"
"Kalau dia nyasar, elo, mau tanggung jawab?"
"Lari keliling kampus!"
"Anak orang bisa mati!"
"Suruh cium kakak panitia!"
"Sexual Harrasement, bodoh!"
"Ya, sudah suruh dia memilih hukumannya sendiri."
"Oke."
Niskala berdiri dengan tegar meski suara-suara itu mencoba menyudutkan nyalinya. Ia harus kuat. Harus berani. Harus melawan. Dia adalah calon manusia yang dididik untuk menjadi ahli politik bukan ahli dirundung. Kakak kelas itu manusia bermartabat yang diajarkan menjadi pengusaha dan ahli politik yang hebat.
"Oke, silakan pilih hukuman apa yang kamu inginkan, Maba Niskala!"
Niskala memandang tanpa rasa takut, kakak senior yang ia yakini sebagai ketua panitia. Saat ini, dia belum mengenal satu persatu dari mereka.
"Maaf, Kak. Saya punya alasan kenapa saya terlambat. Bukankah saya punya hak jawab dan hak untuk membela diri?"
"Hmm, pintar ngeles kamu!" Kakak kelas yang memiliki rambut gondrong itu menyeringai.