Ruangan kelas itu kosong tanpa bangku dan meja yang lengkap. Hanya ada lima pasang kursi dan meja. Sementara murid berjumlah 15 orang. Papan tulis hitam yang terpasang pun sudah rusak. Meja guru dan kursinya begitu buruk. Beberapa paku tampak mencuat di sana sini. Akan membahayakan jika tidak segera diperbaiki. Dinding pun tidak terlalu menarik.
Niskala memandang ruang kelas 10 yang ia pegang. Untuk solidaritas mereka duduk di lantai yang dingin. Lusuh, tanpa fasilitas, sementara mata mereka memandang penuh harapan. Lusuh dan kumuh. Sangat kontras dengan cahaya harapan yang bersinar dalam tatapan mereka dan senyum-senyum kebahagiaan. Hanya ada 7 buah buku paket. Mereka memegangnya secara bergantian. Keterbatasan tak mampu mengalahkan semangat belajar mereka.
Untuk mengejar ketinggalan, selesai mengajari mereka materi sebelumnya ia langsung memberikan pembahasan 3 materi secara singkat dan menugaskan agar mereka membaca di rumah dan mengerjakan PR.
"Mereka harus menang. Mereka lulus agar program untuk mereka bisa dilanjutkan," batin Niskala.
Nata, salah satu anak lelaki yang paling menonjol sudah menunjukkan kepemimpinan dan kecerdasannya. Niskala melihatnya. Ia mampu melihat potensi besar itu. Dalam hal ini ia manfaatkan untuk membantunya. Membimbing teman-teman dan sekiranya dia ada halangan tak bisa mengajar.
Menjadi mahasiswa yang terikat beasiswa, dia tak bisa bebas begitu saja mengajar magang. Sementara dia berkewajiban mengajar 4-5 jam selama 5 hari. Sabtu adalah hari ekstrakulikuler dan olahraga. Kecuali pelajaran agama dan olahraga, semua mata pelajaran dipegangnya.
Sementara tugas-tugas kuliah dan pekerjaannya sebagai penerjemah dan membantu tugas-tugas teman untuk mendapatkan uang makan tambahan membutuhkan waktu yang lebih banyak.
Niskala harus belajar 4 jam tiap hari di kelas, dan berkegiatan sisanya untuk mengajar kelas di sore hari. Malam ia gunakan mengerjakan tugas dan pekerjaan sampingan.
Meski lelah dan ngantuk ia terus berusaha tak mengeluh. Beruntungnya nyaris semua teman sekelasnya sangat peduli padanya. Mereka banyak membantu dalam banyak hal. Membawakan buah-buahan, cokelat, kue, membayarkan uang seminar, dan biaya praktek, adalah bantuan yang tak terduga. Niskala tak dapat menolak karena memang membutuhkannya. Sebagai gantinya ia membalas dengan membantu mengerjakan tugas di luar tugas pesanan. Tentu karena ia tak mau berhutang budi.
Anak-anak pengusaha itu sesungguhnya anak yang lebih senang berhura-hura dan menghamburkan uang. Bagi mereka uang yang diberikan pada Niskala hanya recehan. Mereka menghabiskan uang ratusan juta hingga miliaran, bahkan, hanya untuk bersenang-senang belaka.
Niskala adalah perempuan bunga satu-satunya di Kampus Kencana Wungu tempat para calon pengusaha itu belajar. Di sana kebanyakan murid lelaki, terutama di fakultas ilmu politik tempat Niskala belajar. Jika pun ada perempuan lebih banyak dihitung dengan jari. Gadis-gadis lebih memilih jurusan etiket kepribadian, sekretaris, dan permodelan. Tujuannya selain menjadi artis mereka bisa menjadi nona dan nyonya para pengusaha dan penguasa yang cerdas.
Sementara Niskala selain mahasiswa putri satu-satunya--selain nona Paulina Geraldine yang kabarnya sepupu dari Pak Devan--Ia juga hanya mahasiswa beasiswa dan berasal dari desa bukan kalangan pengusaha atau pejabat politik. Namun, prestasinya sangat membanggakan almamaternya sehingga menjadi mahasiswa kesayangan.
Atas semua kemudahan-kemudahan yang didapat, Niskala berjanji akan terus memanfaatkan sebaik mungkin waktunya. Ia mengajar dengan sungguh-sungguh di kelas 10. Jika mereka bisa lulus UTS dengan nilai bagus mereka bisa lebih lama belajar.