"Apa? Program belajar gratis ini dihentikan?" Niskala tersentak kaget di ruangan kepala sekolah.
"Benar. Anda bisa berhenti mengajar mulai besok. Saya lihat anak-anak sudah mendapatkan banyak kesempatan belajar yang tentu saja mahal harganya jika itu bayar."
"Pak Helmy, mohon kebijaksanaan Anda untuk mempertimbangkan lagi. Anak-anak kelas sepuluh sudah sedemikian belajar keras dan berterima kasih mendapat kesempatan belajar melalui program baik ini. Mereka juga sudah menyumbang beberapa prestasi untuk sekolah. Jika dihentikan begitu saja, bukankah ini akan menghancurkan harapan dan kepercayaan mereka? Bukankah bapak melakukan ini untuk humas sekolah? Citra sekolah sudah meningkat dengan adanya kelas gratis ini. Masyarakat menilai positif. Tidak seharusnya dihentikan." Niskala yang merasa tidak terima akan keputusan kepala sekolah mencoba bernegosiasi.
"Benar itu, Pak. Mohon kebijaksanaannya." Pak Ardhan mendukung Niskala.
"Iya, Pak. Jika dihentikan saya khawatir akan penilaian negatif dari masyarakat." Beberapa guru mencoba membantu memperkuat argumen Niskala.
"Tidak bisa, Pak, kami--"
"Baik. Kalau begitu, mereka boleh lanjut belajar. Namun, biaya pendidikan selama 2 semester harus dibayar. Totalnya perorang 20 juta. Itu adalah harga beasiswa. Karena semua siswa di sini perdua semester mencapai 100 juta! Silakan ini kebijakan saya yang paling adil. Tidak usah diributkan lagi. Ini keputusan mutlak saya. Lagipula sekolah ini sudah mendapatkan akreditasi A. Jadi, silakan program ini dihentikan. Rapat hari ini saya tutup."
Dengan arogan Helmy Aditya Siregar menutup rapat. Para guru terutama Niskala merasa sangat kecewa. Betapa tidak, anak-anak itu sudah sangat belajar keras. Bahkan beberapa piala dari lomba video pendek dan olahraga sudah mereka sumbangkan. Nilai pun bisa menyamai kelas unggulan. Lantas, mengapa tiba-tiba berubah keputusan?
***
"Apa yang terjadi?" tanya Devan ketika melihat Niskala termenung di balkon kampus.