Cinta itu seumpama pohon di dalam hati: akarnya adalah ketundukan (submission) kepada kekasih yang dicintai, dahannya adalah mengetahuinya (know), rantingnya adalah ketakutan kepadanya (beafraid), daunnya adalah rasa malu (shyness), buahnya adalah ketaatan (obedience), dan air penghidupannya adalah menyebut namanya. Hal ini menjadi satu karakter dan ciri dari cinta.
Akarnya Adalah Ketundukan (Submission)
Ketundukan berarti menyerahkan diri kepada subjek yang dicintai. Apa pun yang menjadi perintahnya akan selalu ditaati. Pada fase ini, akal sehat terkadang terkontaminasi oleh kekuatan emosional. Jika tidak memiliki keseimbangan antara keduanya, niscaya akan membawa dampak pada keletihan jiwa. Akal sehat yang diselimuti kekuatan emosional yang tinggi akan berujung menjadi pelayan atau budak cinta yang direfleksikan dalam cinta kepada makhluk.
Maka sering kita melihat kemurnian cinta yang hilang dan berganti dengan kepentingan dan asas manfaat dalam menjalani satu hubungan.
Sudut Cerita
Rasanya betapa sia-sia separuh waktu yang kuberikan untuknya. Hampir tak ada celah, sekadar merenggangkan saraf sekalipun. Mulai dari terbangun pagi karena suara pesan masuk di ponselku yang cukup mengusik, walau hanya sebaris pesan singkat dan mengingatkan kembali jadwalku hari ini bersamanya. Sepeda motor sudah kusiapkan. Karena tepat jam setengah delapan nanti mengantarkannya ke kampus. Ada dua mata kuliah yang harus diikutinya. Pikirku, akan cukup banyak menyita waktu andai harus balik lagi ke rumah yang memakan waktu dua jam perjalanan, maka kuputuskan untuk mencari tempat menunggu yang nyaman. Bukulah sahabat setia yang mampu membunuh kejenuhan.
Hanya sepuluh menit aku rasakan rimbun pepohonan dan sejuknya angin yang menghapus peluh di kulit, menjadi penawar teriknya sinar matahari yang menyengat. Lagi-lagi aku dikejutkan suara lagu Manusia Bodoh-nya Ada Band, yang sengaja kupasang sebagai ringtone panggilan masuk. Benar dugaanku. Display di LCD ponselku tertulis MY LOVELY INCOMING CALL.
“Sayaaang, kamu di mana?! Maaf, ya Beib, ngerepotin kamu. Boleh nggak aku minta tolong. Tugasku tertinggal di rumah, bisa anterin aku pulang sebentar, yaaa? Makaciii Cayangku.”
Ya ampuuun! Benar-benar tak ada waktu istirahat. Lagilagi aku mesti balik ke kampusnya yang tak jauh dari tempatku menunggu. Sampai di depan gerbang besar dan menjulang tinggi, gadis berwajah oriental berdiri menyambutku dengan senyuman. Hanya itu yang membuatku sejuk melihatnya.
“Yaaang, bawa motornya agak dipercepat, yaaa? Aku cuma dikasih waktu sepuluh menit.”
Satu tantangan yang menurut akal sehatku, sejago-jagonya Valentino Rossi tak akan bisa sampai ke rumahnya dengan memakan jarak hampir dua puluh kilometer. Belum lagi lalu-lalang angkutan umum dan kemacetan lalu lintas yang tidak bisa kita prediksikan seenak mulut kita berucap. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, TEPAT WAKTU. Mengingat keadaan darurat yang akan mengancam nilai akademik orang yang aku sayang.
Setelah tugasku selesai, hanya senyum dan sedikit canda terasa mengobati kepenatan lima belas menit yang lalu.
“Thanks, ya Pacarku.” Hanya itu yang ia berikan untukku, sudah cukup.
Dari sketsa cerita tadi sudah dapat kita simpulkan be-tapa letihnya menjadi si tokoh pria yang harus rela tunduk dan patuh kepada sang kekasih hati, walaupun harus mengorbankan dirinya sendiri. Inilah yang kadang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Bukankah dengan menjalin suatu hubungan, hakikatnya kita ingin mencari ketenangan dan saling membutuhkan satu sama lain? Ilustrasi tadi dapat kita jadikan satu pembelajaran, mana yang disebut CINTA dan mana yang CINTA BUTA.
Seharusnya ada batasan toleransi akal untuk segera mengatasi keadaan yang dinilai tidak sesuai dengan kemampuan diri. Namun, arti tunduk dalam nalar kehambaan memiliki definisi dan dimensi yang berbeda.
“... bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya.” (QS Al-Baqarah [2]: 116)
Seiring itu pula, Imam Ibn Taimiyah berkata, “Mereka tunduk, menyerah, pasrah, dan terpaksa dari berbagai segi, di antaranya:
1. Keyakinan bahwa mereka sangat membutuhkan-Nya.
2. Kepatuhan mereka kepada qadha, qadar, dan kehendak Allah yang ditulis atas mereka.
3. Permohonan mereka kepadaNya ketika dalam keadaan darurat atau terjepit.
Jadi, seluruh makhluk, baik yang berbicara maupun yang tidak, yang hidup maupun yang mati, semuanya tunduk kepada perintah Allah. Semuanya menyucikan Allah dari segala kekurangan dan kelemahan, baik secara keadaan maupun ucapan. Bahwasanya ia diatur dan tidak ada pengaturan yang keluar dari aturan Penciptanya. Semua meyakini Sang Pencipta dengan fitrahnya.
Seorang mukmin tunduk kepada perintah Allah dengan penuh ridha dan ikhlas. Begitu pula ketika mendapatkan cobaan, ia sabar menerimanya. Jadi, ia tunduk dan patuh dengan ridha dan ikhlas.”
Ketika kita tunduk pada satu materi yang bersifat fana, bersiap-siaplah untuk direnggut kegelisahan. Ikuti kelanjutan ceritanya: