Jakarta, Februari 1998
Hari itu, di tengah bulan Februari yang sejuk, Indonesia terengah-engah di bawah tekanan krisis yang tak henti-hentinya mengoyak jiwa. Dunia tercemar oleh beban moneter yang membelit sejak tahun lalu. Kesusahan telah menjadi sahabat harian, dan perekonomian pun terkulai lemah. Tetapi tidak hanya itu, kabar tentang rencana pelantikan kembali Soeharto sebagai presiden membuat situasi semakin memanas, mengundang bara kegelisahan yang tak terpadamkan di hati masyarakat.
Namun, dalam riuhnya kekacauan itu, Renjana Wiraatmadja tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia tak memiliki waktu untuk memikirkan masa depan negara, sebab masa depannya sendiri pun masih samar tak terlihat.
Di masa-masa seperti ini, semua orang kehilangan setidaknya satu hal dalam hidup mereka. Krisis moneter juga berdampak terhadap bisnis ibu Renjana. Tetapi itu adalah urusan orang dewasa yang tak ada hubungannya dengan Renjana. Usianya yang baru menginjak 18 tahun, masih terlalu muda untuk merasakan kehilangan. Semua hal yang dia miliki saat ini tidak boleh hilang, termasuk mimpi dan rasa kagumnya.
Namun, tentunya hidup tidak pernah begitu sederhana seperti saat membeli pentol Kang Ujang yang ambil sepuluh bilangnya lima. Renjana telah bertarung dengan kerasnya dalam kompetisi yang menentukan nasibnya, berharap terpilih menjadi bagian dari kontingen besar untuk Asian Games yang akan digelar di Bangkok, Thailand, menjelang akhir tahun ini.
Renjana mengayunkan kaki di udara pagi yang masih menembus kaos kaki sebawah lutut sembari menyenandungkan lagu baru favoritnya, "Kala Cinta Menggoda" milik Chrisye. Sambil memperagakan syllabus yang diajarkan oleh pelatihnya dalam gerakan dansa Waltz, perlahan tapi pasti Renjana semakin dekat dengan sekolahnya, SMA Dharma Jaya.
Walaupun sepanjang perjalanan orang-orang memperhatikan keanehan dari perilaku gadis itu, tak ada seorangpun dari mereka yang ingin menegurnya karena semua sibuk dengan urusannya masing-masing. Renjana juga tak peduli dengan tatapan orang-orang yang dia lewati.
Ibu Renjana bilang, Renjana tidak harus menjadi atlet, karena prospek karirnya kurang menjanjikan. Lebih-lebih Renjana juga bukan yang paling hebat. Lebih baik kamu meneruskan bisnis Mama aja. Udah jelas, kata sang ibu. Namun, bukan Renjana namanya jika menyerah begitu saja. Dia tetap melakukan olahraga itu, meskipun tahu bahwa sang ibu tidak menyukainya.
Pintu gerbang sekolah hampir tertutup ketika Renjana tiba di sana. Menyadari hal itu, ia berhenti menari Waltz dalam dan berlari, berhasil masuk tepat pada detik-detik terakhir.
Saat ini, sebagai siswa kelas tiga SMA, saat yang tepat bagi mereka untuk memikirkan masa depan, apakah mereka akan melanjutkan kuliah atau memilih bekerja. Dan jujur, Renjana masih terhanyut dalam kebingungan. Ia belum bisa memutuskan apakah akan melanjutkan kuliah atau fokus pada karier sebagai seorang atlet.
***
Setelah upacara Senin pagi berakhir, para siswa dan siswi kelas tiga diarahkan menuju aula sekolah karena akan ada kampanye dari organisasi BEM Universitas Trisakti untuk mempromosikan kampus mereka.