Micela menarik Ishana duduk di depan perapian, menutupi kaki mereka dengan selimut tebal dari Grey Finlay, sebagai ganti ikan yang mereka tangkap sebelum sungai membeku. “Ceritakan padaku,” pinta Micela, penuh antusias. “Bagaimana bisa Grey Finlay mempunyai ide gila macam itu?”
Ishana memalingkan pandangan ke arah lain dan bergumam, mengingat-ingat awal mulanya. “Hmm ... karena jamur?”
“Jamur?” Micela memekik tak percaya
Ishana mengangguk. “Selama ini, pria tua itu memakai warna ungu dari jamur untuk rajutan-rajutannya.”
“Rajutan? Pria angkuh itu?”
Ishana tertawa. “Sangat tidak cocok, kan? Tapi, percaya padaku, rajutannya bagus-bagus. Aku menyukai syal ungu buatannya, tapi dia berjanji hanya akan memberinya setelah aku jadi menantunya.”
“Kamu menyetujuinya?” Micela berdiri, saking marah dan terkejut.
“Belum.” Ishana tertawa, menarik pelan adiknya itu untuk kembali duduk. “Aku pun meragukannya.”
“Memang, kenapa dia menyukaimu? Maksudku—tepatnya, dia bilang apa padamu?”
“Dia tidak pernah memasak jamurnya selama ini. Waktu itu, dia yang menerima langsung jamur itu dariku dan kubilang, jamur itu enak dimakan.”
“Kamu sengaja, ya?” desis Micela, mendesis curiga. “Kamu terdengar seperti sedang berusaha mengambil hatinya.”
“Aku hanya mengatakannya, karena kita juga menyukai jamur itu, kan? Tapi, kita tidak bisa memakannya terus-menerus dan harus menukarnya dengan makanan lain.”
Micela masih menatapnya penuh selidik, lalu bersedekap dan berdeham. “Baiklah, terus?”