“Rokok?” Ishana menawarkan sebatang rokok menyala di tangannya kepada Kaulana. Pria itu hanya mendecih, mungkin tak mengira Ishana merokok. “Aku sering diam-diam merokok, tanpa ketahuan Micela. Tapi, kamu tahu? Dia memberiku rokok ini sebagai hadiah perpisahan. Bisa bayangkan betapa kagetnya aku?” Ishana tertawa hambar dan menyeka sudut matanya yang basah.
“Jangan sok kuat,” ledek Kaulana, menghela napas dan menatap lautan beku di hadapan mereka lalu tiba-tiba terpikir sebuah ide. “Apa aku pergi saja biar kamu bisa menangis?”
“Siapa yang menangis, sih?” Ishana mengelak, menyusut hidung. “Lagipula, kenapa aku harus malu di depanmu?”
“Benar juga. Setelah bunga pansy mekar, kita bukan orang asing lagi.”
Wajah Ishana meruap. Bukan begitu maksudnya!
“B-bicara apa?” Wanita itu terbata. “Walaupun sudah menikah, suami-istri tetap orang lain yang tidak memiliki hubungan darah.”