Ishana siuman, dalam kamar Kaulana. Gaunnya sudah berganti menjadi terusan biru motif bunga-bunga kecil warna kuning. Dia berharap, yang melepas pakaiannya adalah seorang wanita karena walaupun sudah resmi menjadi bagian keluarga Finlay, tetap saja ... semua ini masih asing baginya. Selain itu, Kaulana ....
Ishana memejam. Hari ini kacau sekali. Baiklah, dia sudah menduga hal-hal seperti ini. Kendati pernikahan mereka cuma pura-pura dan Kaulana masih belum bisa melupakan Ari, dirinya harus rela menyerahkan segalanya.
Kakinya turun, menyentuh lantai yang hangat. Setelah membuka pintu, dia melongok keluar. Tiga-empat kerabat keluarga Finlay terlihat di ujung lorong, menuju ke sini. Ishana buru-buru masuk dan membiarkan pintu sedikit terbuka. Masalahnya, energinya benar-benar sudah habis. Dia malas berbasi basi. Untungnya, mereka cuma lewat depan kamar.
“Kasihan sekali, dia tidak bisa menyaksikan putra tunggalnya menikah.”
Ishana masih bersembunyi hingga suara cakap-cakap itu reda dan menghilang. Benjamin, ayah mertuanya. Dia bahkan belum sempat menyapanya, tapi kalaupun bisa, Benjamin tidak akan menyadarinya.
Wanita itu keluar dan melihat arah perginya orang-orang itu sampai memasuki kamar Benjamin di ujung sana. Penasaran, Ishana mengikuti mereka demi melihat Benjamin untuk kali pertama.
Di belakang para kerabat, Ishana berjinjit dan memanjangkan leher demi melihat ayah mertuanya. Pria berusia sekitar pertengahan 40 itu terbaring layu di ranjang, dengan alat-alat kesehatan memberinya kehidupan. Apa tanpa alat-alat itu dia akan mati?
“Nona,” sebuah suara berbisik memanggilnya. Ishana menengok. Hans memintanya menghadap Grey Finlay. “Tuan Besar ingin bertemu denganmu di ruangannya.”
Ishana melihat Benjamin sekali lagi sebelum patuh mengekori Hans bagai anak anjing. Bunga lili putih di atas nakas. Bukan bunga pansy?