Pada dua minggu pernikahan, Ishana meminta Kaulana tidur di paviliun, bukan di studio. Pria itu kemudian datang pukul sepuluh malam, duduk di samping Ishana, di ruang tengah. Dia menatap Ishana yang menonton televisi tanpa suara. Wanita itu tak menoleh, tapi berkata padanya, “Aku tahu kamu tidak ingin tinggal di paviliun ini, karena Ari mati di sini, kan?”
Mungkin, Kaulana sedang menatapnya. Ishana tahu itu. Kaulana pasti tak menduga, Ishana akan membahas Ari.
“Dia bunuh diri di balkon itu.” Ishana menunjuk balkon dengan dagunya, lalu menoleh menatap suaminya itu. “Tapi ... tahukah kamu? Dia tidak bisa pergi. Dia ada di sini, bersama kita.”
Ishana menatap satu kursi kosong di antara mereka. Kaulana juga melihat kursi itu sebentar, lalu kembali pada Ishana. “Kamu—“
Ishana menghela napas, memotong ucapan Kaulana. “Bagaimana bisa pergi? Dia menyimpan banyak dendam pada kakekmu.”
Kaulana mendelik. Dia menarik lengan Ishana dengan kasar, agar wanita itu tahu kemarahannya. “Kamu tahu akibatnya jika bicara sembarangan, kan?”
Ishana balas menatap sinis, kesal karena Kaulana tidak mempercayainya. Dilepaskannya tangan yang mengcengkeram itu, lalu membiarkan suasana menjadi hening agar Kaulana bisa berpikir.