Adora Rachita. Namanya artsy sekali. Seperti campuran Dewi Yunani dan selebriti mancanegara.
Orangnya juga demikian. Artis sekolah. Ketua klub modern dance dan perwakilan OSIS. Kepala geng dance di sekolahku. Bahkan nama geng modern dance-nya saja memakai namanya, “Adorables”. Membuatku kerap ingin berkata, “Oh Em Ji,” saking happening-nya Kak Adora ini. Orang tuanya jago banget ya cari nama yang bikin anaknya populer. Adora. Keren.
Dibanding Gisantia. Gisa. Biasa sekali.
Modern dance Adorables bukan sekadar jagoan kandang. Mereka populer sampai ke sekolah tetangga. Tidak hanya berisi lima perempuan cantik, kemampuan mereka melakukan gerakan tari juga sudah diakui. Terbukti dengan puluhan kejuaraan yang mereka menangkan. Mereka adalah kebanggan sekolah Global Academy dalam bidang seni.
Siapapun yang melihat Kak Adora pasti seperti terhipnotis, tidak peduli cowok atau cewek. Aku saja hanya bisa menganga saat melihatnya dari dekat. Apalagi para gerombolan populer yang biasa berkumpul di kantin saat jam istirahat.
Saking mencoloknya mereka, aku merasa kesulitan untuk menjauhi Kak Nico. Bagaimana mau menjauh, efek kilau kepopuleran mereka saja tersebar ke seluruh penjuru sekolah. Padahal sekolah ini terhitung cukup besar loh. Lapangan dalam sekolah ini saja ada tiga, lapangan baseball, lapangan bola, dan lapangan basket. Belum lagi gedung khusus untuk perpustakaan dan kegiatan ekstrakulikuler juga berdiri sendiri, tak heran masa orientasi berlangsung sampai lima hari.
Dulu, aku ingin masuk SMA yang sama dengan teman-teman SMP-ku. Sebuah SMA sederhana dekat rumah. Tapi orangtuaku memutuskan untuk menyekolahkanku di sini. Lingkungannya lebih baik katanya.
Apalah guna lingkungan yang lebih baik kalau tiap hari aku harus makan hati melihat Kak Nico dan Adora setiap hari. Beruntung aku menemukan tempat rahasia di kantin.
Kantin ini bentuknya memanjang. Bagian depan kantin diisi oleh orang-orang populer. Di tengah diisi oleh anak-anak pintar. Ada juga beberapa kelompok pertemanan yang kecil dan kelompok yang asyik sendiri dengan dunia mereka.
Sejak menghindari Kak Nico, aku selalu duduk di bagian paling belakang. Di sebuah kursi panjang dan meja panjang ala meja perjamuan ini, aku duduk sendiri. Tak terjangkau dan tak terlihat oleh siapapun. Orang-orang tak akan memperhatikan baris kursi paling ujung ini karena tidak ada yang mau repot-repot berjalan sampai sini. Mereka lebih memilih menunggu teman selesai makan di lima baris kursi yang ada di depanku.
Tapi aku merasa nyaman tiap ke sini. Teman-teman sekelasku selalu bertanya ke mana aku pergi tiap jam istirahat dan aku senang sekali melihat reaksi mereka saat kujawab ringan, “Ke kantin”.
Aku tidak anti-sosial. Aku hanya suka menyendiri di beberapa situasi. Apalagi dalam situasi yang memang butuh tempat persembunyian dari bahaya kilau mematikan Kak Nico dan Kak Adora.
Berlebihan? Mungkin.
Tapi sudah dua minggu aku resmi bersekolah sebagai siswi SMA Global Academy, selama itu pula aku merasa tak berdaya akan pesona Kak Nico yang ada dimana-mana.
Di kelas, setiap hari ada saja yang membicarakannya. Bukan hanya perempuan, laki-laki pun mengaguminya. Kak Nico itu jagoan basket sekolah. Selain itu dia juga sering membuat video lucu yang kerap menjadi topik teratas di media sosial. Tentu saja anak laki-laki banyak terinspirasi dari senior seperti itu.