“Hai!” sapaku pada si anak laki-laki yang duduk di kursi kantin paling belakang. Ini adalah hari ketiga kami duduk di meja yang sama. Kali ini, makan siangku adalah nasi uduk, sementara dia masih saja setia dengan bakso.
“Makan lo banyak ya?” tanya anak itu. Tanpa basa-basi.
“Kebiasaan dari kecil. Badan gue susah gede soalnya,” jawabku setengah curhat.
Curhat dengan seseorang yang belum kita ketahui namanya. Rasanya memang ganjil. Tapi anak ini sangat menyenangkan. Dia tidak terlalu ramah, tapi selalu menanggapi omonganku. Pendapatnya juga tidak selalu manis, tapi ia tak pernah mengabaikanku.
Ternyata tidak sendirian itu tidak buruk juga.
Dia sungguh orang yang menyenangkan untuk diajak berteman. Sayangnya, sampai sekarang aku belum punya nyali untuk mengajaknya berkenalan. Nanti kalau dia pikir aku naksir dia, aku bisa kesusahan sendiri. Tapi hari ini aku memutuskan untuk memakai strategi pancing-memancing agar bisa mendapatkan namanya tanpa harus bertanya.
“KYAHAHAHAAA!” suara lengkingan teriakan yang dilanjut tawa yang membahana di kantin membuatku mendongak ke arah keramaian. Lumayan terkejut juga dengarnya.
“Ada apaan sih?” tanyaku spontan, meskipun tidak begitu penasaran dengan apa yang terjadi.
“Paling Nico berulah,” anak laki-laki itu menyambar pertanyaanku dengan jawaban yang membuat dahiku berkerut.
“Kok sensi?” tanyaku dengan senyum curiga. Wajah anak itu terlihat malas, tapi lagi-lagi dia menjawab pertanyaanku.
“Lagian selain dia, siapa lagi yang bisa bikin kantin rame?”