Cinta pertama kalian seperti apa sih?
Kalau cinta pertamaku bersemi saat orientasi SMA. Di tangga menuju kelas orientasi, aku yang terburu-buru menubruk seorang anak laki-laki.
Dia tinggi, tidak seperti anak laki-laki yang kukenal saat SMP dulu. Sudah pasti dia adalah senior yang sedang mengurus masa orientasi sekolah. Tubuhku yang mungil membuatku begitu terintimidasi ketika melihat seragamnya basah. Ternyata aku baru saja menubruknya ketika ia sedang minum dari sebuah botol minum.
“Maaf, Kak…” hanya itu yang bisa kuucapkan. Meskipun aku tahu bahwa orientasi sekarang tidak lagi mengadakan perploncoan, aku tetap takut mendapat hukuman karena saat ini aku terlambat datang.
Bukannya marah, dia tersenyum lebar dan berkata, “Santai! Udah sana masuk kelas. Nanti dimarahin kakak pembimbingnya loh.”
Senyumku terbit karena itu. Aku juga bisa masuk kelas tanpa mendapatkan masalah apapun. Semua karena kakak kelas yang belum kuketahui siapa namanya itu.
Setelah istirahat, aku baru tahu bahwa dia bernama Nico, senior kelas dua belas yang paling populer dan banyak disukai para siswi baru. Tidak heran. Tawa dan keceriaannya menular. Belum lagi penampilannya juga begitu menarik dengan tubuh yang tinggi, hidung mancung, bibir tebal, dan kulit yang cukup cerah untuk ukuran laki-laki. Aku rasa dia masih keturunan orang Eropa. Mungkin Inggris? Atau Jerman?
Yah, itu sebenarnya hanya sok tahu-nya aku saja. Jujur, aku sendiri tidak tahu apa beda ciri orang Inggris dan orang Jerman. Aku hanya tahu bahwa manusia berciri fisik kebule-bulean memiliki nilai tambah tersendiri di Negara ini. Hasil penjajahan bertahun-tahun masih mendarah daging sampai anak cucu sepertinya.
Aku juga terjajah oleh karisma si senior populer yang terlihat selalu menyenangkan dan ramah kepada orang lain. Ia seperti pandai menyenangkan hati orang lain. Jika ada dia dan teman-teman satu geng-nya di dekat kita saat istirahat, kita pun bisa ikut tertawa dan bahagia melihat kelakar mereka.
Hanya dengan itu, aku terpesona. Hanya dengan itu, aku jatuh cinta.
“Alah, paling cuma cinta monyet!” itu pikirku. Aku memang sering bicara sendiri dalam kepala. Seperti ada banyak sisi dari dalam diriku yang hobi berdebat, kadang sampai membuatku pusing sendiri. Tapi kali ini pikiran itu seperti tertepis berkali-kali oleh hati yang semakin lama semakin hebat debarannya tiap melihat Kak Nico.
Perasaan ini serius. Aku sadar ketika aku mulai ingin mencoba lebih dekat dengannya. Berusaha ada di dekat geng-nya tiap mereka makan di kantin. Kalau bisa mejaku dekat dengan mejanya. Pernah suatu hari meja kami berdekatan dan dia menyadari keberadaanku.