Hujan sejak semalam tidak kunjung reda, kebanyakan orang enggan untuk pergi keluar. Namun untuk kelompok perjalanan Davi tidak bisa terus menetap di Wilayah Orte karena jadwal acara di Ibukota.
“Kita harus tetap berangkat Tuan muda, meski cuaca hari ini tidak mendukung,” ujar Baneta.
Kepala Pelayan Baneta berseru di balik pintu kamar Davi di Penginapan. Pagi itu, semua Anggota Kelompok Perjalanan sudah bersiap untuk keberangkatan. Hanya Davi yang tersisa, ia tengah duduk santai di kursi kamarnya setelah sarapannya.
“Yak terserahlah,” ujar Davi singkat.
Dia kini tengah berdiri dan menatap jendela kamarnya yang basah terguyur hujan deras. Tidak ada Protes apapun yang bisa dilakukan karena cuaca buruk. Davi pun akhirnya keluar pergi dari Penginapan. Mineva menatap lurus ke arah Davi yang tengah memasang wajah tabah. Dia tak mengatakan apapun dan hanya naik Keretanya dengan santai. Perjalanan kali ini mungkin tidak akan semulus sebelumnya.
Drassss.
Kriek.. Kriek... Kriek.
Hujan malah semakin deras Kereta dari kelompok Davi berjalan perlahan dengan kuda yang sudah basah kuyup terguyur air hujan. Bahkan kini kaca jendela dalam Kereta Davi mulai berembun. Pemandangan di luar sekarang sulit untuk dilihat. Davi meringkuk bersama Mineva di dalam Kereta menggunakan selimut yang disediakan oleh Baneta.
“Hujan nya malah semakin deras,” ujar Mineva yang meringkuk di pangkuan paha Davi.
“Hujan bukanlah hal buruk, sebenarnya Aku tidak membenci situasi seperti ini,” balas Davi yang duduk dengan nyaman dalam kursi Kereta, ia bahkan mulai duduk selonjor.
“Hal apa yang mungkin Anda sukai tentang hujan? Aku malah tidak suka hujan karena membuatku tak bisa pergi ke manapun,” begitu yang dikatakan oleh Mineva bertanya pada Davi dengan hidung berkedut.
“Aku suka bau tanah saat hujan pertama kali turun dan Bukannya, hujan adalah berkah yang turun ke Bumi untuk membuat makhluk hidup bisa tetap hidup? Air adalah salah satu hal yang dibutuhkan makhluk hidup. Meski kadang hujan dapat menggagu bahkan berbahaya tapi itulah yang namanya keadilan alam,” begitu yang dikatakan oleh Davi.
“Ooh, bau tanah saat hujan? Mengatakan hal itu tentang alam, Anda terlihat seperti kakekku saat menggurui,” ujar Mineva.
“Hey, bisakah Kau berhenti berkata Formal? Itu terdengar kaku. Bicara biasa saja tanpa berkata ANDA,” begitu yang dikatakan oleh Davi yang menggerutu.
“Haruskah Aku memanggilmu Tuan muda atau memanggil Davi juga?” tanya Mineva kepada Davi.
“Terserah. Formalitas itu menyusahkan dan menyebalkan. Santai saja, itu yang terpenting,” ujar Davi.
“Tapi itu akan tidak sopan jika memanggil hanya Davi, jika Anda lebih tua,” begitu yang dikatakan oleh Mineva.
“Apa? Tua? Usiaku baru 19 tahun,” gerutu Davi yang sedikit kesal dianggap tua.
“Aku sekarang 10 tahun ujar Mineva menyebutkan usianya kepada Davi.
“Hanya beda 9 tahun saja. Kau bisa anggap Aku kenalanmu, maka panggil Aku dengan nama tidak masalah. Aku yang mengizinkannya maka lakukan,” ujar Davi kepada Mineva dengan tegas. Begitulah percakapan antara Putra Bangsawan muda dan seekor Anak Kelinci yang mengisi suara dalam Kereta selain suara hujan yang deras.
PRALAK... JDUAAARRR!
Suara petir bergemuruh dan kilat menyambar. Cahaya terang menyilaukan terlihat, menerangi daerah sekitar yang berkabut. Pandangan di depan jalan sulit untuk dilihat, bahkan jarak penglihatan hanya1 meter. Kusir yang merasakan kesulitan akhirnya memberhentikan laju Kereta.
“Hm, kenapa berhenti?” ujar Davi yang sempat terlelap dalam posisi duduk selonjornya karena nyaman, terpaksa terbangun karena laju Kereta yang berhenti.
Tok tok tok.
Ketukan pelan pada pintu Kereta terdengar oleh Davi. itu adalah ketukan dari Kepala Pelayan Baneta.
“Tuan muda, maaf mengganggumu. Sepertinya Kita harus berhenti sejenak. Hujan ini menyebabkan kabut dan sepertinya jalanan didepan terjadi longsor,” ujar Baneta menjelaskan dengan jelas situasi kelompok Mereka saat ini pada Davi.
“Baiklah,” ujar Davi santai tanpa mengubah posisi duduknya dan mendengarkan Baneta yang tengah melapor.
“Kami akan menyuruh beberapa Penyihir dan prajurit untuk membersihkan jalan didepan, mohon Anda menunggu dengan sabar,” begitu yang dikatakan oleh Baneta kepada Davi.
“BAIKLAH LAKUKAN APAPUN MAU KALIAN!” ujar Davi berseru keras, agar terdengar oleh Baneta karena gemuruh hujan cukup keras saat itu.
***
Hujan akhirnya reda, namun terlihat jelas bahwa jalur di depan yang akan Mereka lalui kini masih dibersihkan dari tanah longsor dan bebatuan besar. Ada beberapa Penyihir yang membentuk formasi barisan dan merentangkan tangan sambil merapalkan mantra, membentuk tanah longsor menjadi sebuah balok.
Balok itu terlihat seperti Balok Batu Bata yang biasa dilihat oleh Davi di Bumi. Lalu balok-balok tanah itu melayang dan disusun di pinggiran jalur. Selain Penyihir, para prajurit menyekop tanah, untuk dikumpulkan dalam 1 tempat agar Penyihir dapat dengan cepat membereskannya.