Noir

Marindya
Chapter #1

PROLOGUE

Cuaca Senin pagi itu tampak mendung, dengan arak-arakan awan yang berwarna kelabu. Gerimis sudah turun sejak 30 menit yang lalu, tapi beberapa orang terlihat tidak peduli dan masih berkerumun pada sebuah halte bus. Beberapa orang di sana memasang wajah iba, beberapa lagi mengambil foto dan video. Aroma petrichor yang khas tercium begitu kuat, bercampur bau anyir dari darah seorang pria yang tergeletak di samping bangku halte bus yang berada di dekat sebuah pasar tradisional. Orang-orang terlihat berbisik-bisik, mencoba menerka apa alasan pria itu dibunuh, atau siapa kira-kira yang membunuhnya. Namun, ada satu hal yang membuat semua orang di sana makin heboh. Tidak jauh dari halte bus itu, seorang penyapu jalanan menemukan mayat lain yang berada di dalam sebuah mobil sedan berwarna biru muda. Kondisi mayat wanita itu tak kalah mengenaskan. Beberapa tusukan pada dadanya bahkan menyebabkan luka menganga yang sangat mengerikan.

Meski beberapa orang mulai pergi meninggalkan tempat itu karena ketakutan, beberapa orang lainnya memilih untuk tetap tinggal dan menunggu petugas kepolisian datang. Ini pertama kalinya ada kasus pembunuhan di sana. Padahal, tempat itu sebelumnya merupakan sebuah desa yang sangat tenteram. Desa yang cukup asri, yang terletak sekitar dua puluh kilometer dari kota kecil di bagian timur provinsi Jawa. Desa itu masih memiliki banyak lahan persawahan yang cukup luas, juga beberapa kebun tanaman cokelat. Kebanyakan penduduknya menggantungkan hidup dari berjualan di pasar, atau mengelola pertanian. Tidak banyak kejadian kriminal di desa itu, kecuali kasus kenakalan muda-mudi yang mabuk-mabukan, atau pria hidung belang yang berkelahi ketika ada pertunjukan musik dangdut di lapangan desa.

Suara sirine dari mobil polisi dan ambulans saling bersahutan, membuat orang-orang di sana menoleh dan sedikit menjauh dari tempat kejadian. Dengan sigap, petugas kepolisian memasang garis kuning dan meminta warga untuk menjauh dari sosok mayat itu. Setelah memindahkan kedua korban ke dalam ambulans, beberapa ahli forensik mulai memeriksa tempat kejadian. Sidik jari, rontokan rambut, atau apa saja DNA yang tertinggal di sana, tak luput dari pemeriksaan mereka.

“Harusnya desa ini mulai pasang CCTV,” bisik seorang tukang ojek pada teman yang duduk di atas motornya.

“Kira-kira dia dibunuh kenapa ya, Yo?”

Pemuda bernama Karyo itu mengendikkan bahu. “Nggak tahu. Mungkin aja mereka pasangan selingkuh yang dibunuh sama salah satu pasangannya.”

“Bisa jadi, sih. Cemburu emang kadang-kadang bikin gelap mata.”

“Dia bukannya politisi yang rumahnya di dekat puskesmas itu, ya?” tanya salah seorang pria yang baru saja bergabung dengan mereka.

“Heh, jangan sembarangan! Wajahnya aja nggak kelihatan gitu ketutupan darah. Ngeri banget tadi aku lihat luka di wajahnya.”

“Kamu nggak lihat mobilnya?” Pria itu menunjuk mobil sedan yang tadi berisi mayat seorang wanita dengan dagunya. “Aku pernah lihat tuh mobil diparkir di rumah itu beberapa kali.”

Lihat selengkapnya